Monday, 7 July 2008

Ratu Simha, Peletak Dasar Hukum di Kalingga

(Tulisan ini merupakan sambungan fragmen-fragmen sejarah yang saya dramatisasi/prosa-kan menjadi cerita bebas, saya mencoba meraba, merangkai potongan-potongan fakta, karena memang sumber sejarah Kalingga ini tidak banyak, hanya bagian dari Sejarah Mataram Kuno, bukti-bukti materinya mungkin sudah ditelan bumi atau tertiup angin, yang jelas Ratu Simha, penegak hukum itu pernah ada di Jawa)
Pertengahan abad 7 M, di Cho-po (Jawa) ketika itu Merapi menawarkan hawa damai bagi penghuninya. Hanya puncaknya yang selalu mengepulkan asap lembut ke angkasa. Merapi bisa terlihat dari arah manapun. Di sekitarnya berdirilah istana dengan pagar kayu, istana itu dibuat tinggi sehingga Raja bisa melihat pemandangan di sekitarnya, sejauh mata memandang, dalam kesaujanaannya. Komunitas ini telah lahir sudah sejak tahun 500-an, karena lukisan hidup itu telah tertuang jelas dalam prasasti TukMas.
Persawahan yang hijau, panen, gading-gading, emas, merupakan simbol kemakmuran negeri itu. Daerah yang sangat makmur, gemah ripah loh jinawi. Raja tinggal di istana yang singgasananya tinggi. Dia bercengkerama di atas pegunungan sambil melihat pemandangan di sekitarnya. Banyak utusan Kerajaan ini yang berlayar, menyusuri Laut Cina Selatan untuk menemui Kaisar sejak sebelum zaman Dinasti Tang di daratan Cina. Holing atau Kalingga namanya. Setelah Sanaha meninggal, kekuasaan Kalingga dikuasai oleh seorang Raja Perempuan yang dinamai Ratu Simha, atau Si-mo.
Kalingga waktu merupakan tempat para biksu Cina belajar agama Budha, tukar menukar ilmu agama, ilmu perdagangan. Telah lama Kalingga terbebas dari pencurian dan cerita-cerita kejahatan yang lainnya. Oleh karena setiap kejahatan pasti langsung diambil tindakan. Bagi yang berbuat tidak sesuai dengan dharma kebaikan maka ancamannya bisa dipancung, atau dipotong anggota badannya.
Sebagai seorang perempuan, Ratu Simha tidak suka perkosaan terhadap rakyatnya, dilarang ingin memiliki perempuan yang sudah punya isteri, dilarang mengambil barang yang bukan miliknya, bahkan menyentuhnya, dilarang menipu, dilarang mengkhianati negara. Siapapun yang melanggar akan dihukum potong anggota badan, cambuk atau pancung. Setelah hukum itu betul-betul ditegakkan, tak seorangpun berani mengganggu keamanan dan ketertiban. Semuanya berjalan damai dan rakyatpun bisa makan dengan nyaman, walaupun makan dengan tangan, duduk lesehan.
Saat itu rakyat betul-betul merasakan kehidupan yang aman dan tentram, tidak ada kejahatan. Kabar tentang penegakan hukum di Kalingga itu mendapat cibiran dari Raja Ta-che,"Beeh, seorang Raja Perempuan bisa menegakkan hukum di negerinya, tidak ada kejahatan sekecil apapun, wah ini perlu kucobain, aku tidak percaya kalau tidak seorang wargapun yang tidak ngiler dengan emas permata, harta benda, pasti rajanya munafik, demikian juga rakyatnya, tidak mungkin lah, jambret, kecu, pencopet, rompak hilang, apalagi oleh raja perempuan, ndak percaya................."umpat Raja Ta-che."Tetapi itu kenyataannya Tuan, di sana tidak ada perampok, pencuri sekalipun, semuanya berjalan damai...............", jawab utusannya. Raja Tache berkata,"Aku punya rencana, apakah rakyat Kalingga dan Ratunya tidak ngiler lihat pundi-pundi emas yang kupasang...........jangan-jangan karena saking kerenya mereka, jadi tidak tahu uang...munafik, akan kita cobain, .....besok, ada di antara kalian yang memasang pundi-pundi emas di tengah jalan, di setiap mereka lewat pasang tuh pundi-pundi uang....jangan sampai mereka tahu, pura-pura kalian juga dagang di sana".
Betul lain hari ada pundi-pundi emas berada di tengah jalan. Tidak satupun rakyat yang menyentuh pundi-pundi emas itu. Mereka selalu ingat pesan Ratunya agar tidak ingin memiliki apa yang tidak dimilikinya. Tiga tahun lamanya pundi-pundi itu dibiarkan ada di jalanan tanpa ada yang menyentuhnya.
Raja Ta-che meremas-remas tangannya tidak sabar dengan hasil percobaannya,"Kapan aku melihat Raja Perempuan itu kena batunya.........kapan ya..........kemunafikannya mana......."
Pada suatu hari, Putra Mahkota berjalan di kota untuk melihat keramaian. Dia tidak suka ada barang yang mengganggu di tengah jalan, maka ditendangnya pundi-pundi itu, betapa terkejutnya orang-orang di sekitarnya, timbul banyak spekulasi terhadap kejadian itu, pasti dia dianggap mau mencuri atau apa, yang jelas Ratu Simha sangat murka mendengar hal itu. Segera saja semua saksi dan para menteri diundang untuk bersidang.
"Apa benar Putra Mahkota menyentuh dan menendang pundi-pundi emas milik orang lain, ada yang melihatnya........"
"Ya, kami melihat sendiri Putra Mahkota telah menyentuh, tidak hanya itu bahkan menendangnya......"kata para saksi.
"Benar begitu Putra Mahkota, Ananda telah menendang pundi-pundi itu, Ananda tahu apa akibatnya, siapapun yang menyentuh barang orang lain harus dihukum tidak terkecuali kerabat kerajaan sekalipun....................." tanya Ratu Simha kepada pangeran.
"Ya, Ananda mengakui Bunda, hanya saja saya merasa risih melihat ada barang di tengah jalan, menghalangi kereta lewat, gerobag rakyat yang lewat jadi terganggu.............." jawab Putra Mahkota.
"Apapun alasannya, hukum berlaku bagi siapapun, para menteri, kita akan menyiapkan hukum pancung untuk Putraku.........................." kata Ratu Simha dengan tegas.
"Jangan Ratu, kami akan merapatkan dulu proses penghukuman terhadap Pangeran............."
Hari berikutnya para menteri mempersiapkan berkas pembelaan terhadap Putra Mahkota,"Ratu Simha yang kami hormati, sesungguhnya tiada yang salah dalam diri Putra Mahkota, kalau beliau ingin mencuri tidak mungkin menendangnya, jelas-jelas barang itu menghalangi jalan dan selama tiga tahun berada di situ, tidak ada yang mengaku, milik siapa, tidak ada yang tahu, kalau itu ada yang punya, pasti juga diambil, ini sudah tiga tahun tidak ada yang mengambil, mungkin ini ulah musuh Ratu Simha yang ingin menguji sejauh mana hukum di Kalingga ditegakkan.........."
"Maka dari itu Para Menteriku, Pangeran harus dipancung............................" kata Ratu Simha.
"Dalam hal ini tidak ada yang patut dipersalahkan untuk barang yang sengaja diumpankan oleh Raja Musuh."
"Ya, Ratu Simha, ampunilah Pangeran, dia masih muda, tidak bersalah, tiada mungkin orang semulia Pangeran akan mencuri........................................ini baru nasib apesnya Pangeran saja.................." bela Menteri yang lain.
"Kalaupun harus dihukum ya, mohon jangan pancung, atau yang justru mematikan masa depannya, dia calon raja, Ratu, mohon diampuni kesalahannya...."
"Baiklah, hukuman harus tetap dilaksanakan, potong jari kakinya yang telah nakal itu, menendang pundi-pundi itu...............dan tidak mau mendengar nasehat Bunda" perintah Ratu Simha.
Jari kaki Pangeranpun dipotong. Hal ini menunjukkan betapa tegasnya Ratu Simha. Akan tetapi Putra Mahkota ini jarang diceritakan siapa namanya setelah jadi Raja.
Selain berita tentang tegaknya hukum di Kalingga, juga diceritakan tentang seorang biksu Tionghoa yang suka mengunjungi teman sejawatnya yang orang Jawa tulen, Djnanabadra. Mereka bekerjasama untuk menterjemahkan kitab Budha Hinayana dalam bahasa Tionghoa.
Kisah tentang pemerintahan Ratu Sima di Cho-po (Jawa) ini kemudian dilanjutkan oleh Dinasti baru, yaitu Dinasti Sanjaya.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan