Hari Sabtu, 15 Maret 2008, Pusat Studi Kebudayaan UGM berkolaborasi dengan PT Gramedia Pustaka Utama dengan bangga menyelenggarakan Peluncuran buku karya Sri Sultan Hamengku Buwono X yang berjudul "Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita". Acara ini dibuka langsung oleh Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. Hadir juga dalam acara tersebut Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan, Ibu Meutia Hatta dan suaminya.
Kemudian Pak Sultan berkenan menyampaikan sebuah pengantar. Beliau juga membagikan bukunya kepada tokoh-tokoh mewakili profesinya serta orang-orang yang punya andil dalam penerbitan buku tersebut.
Sebenarnya buku ini lebih pantas diberi judul,"Dari Yogya untuk masa depan Indonesia". Buku ini hadir sebagai buah pemikiran Pak Sultan yang selalu gelisah menyaksikan kehidupan bangsa. Konstruksi masyarakat Indonesia saat ini memang sudah menuju pada neopluralisme, kemajemukannya lebih spesifik, keberagaman yang mengkristal dalam kelompok sehingga menunjukkan semakin kompleksnya Indonesia. Selama ini rajutan historis - idealisme tidak tumbuh dengan baik, identitas ke-Indonesia-an terkesan rapuh, masih dalam bayangan. Mimpi bersama tentang Indonesia harus dipikirkan bersama, historical being, pendekatan kebudayaan untuk menentukan policy. Berikut ini saya kutip dari pengantar buku tersebut yang merupakan sebuah latarbelakang permasalahan dan tantangan bangsa Indonesia:
1) menguatnya budaya konsumerisme dan kekerasan
2) menipisnya kesadaran pluralisme dan semangat kebangsaan
3) tingginya kemiskinan dan pengangguran
4) ketertinggalan dalam membaca dinamika geeopolitik yang terjadi di Pasifik Rim.
Semestinya tantangan yang luar biasa tersebut dihadapi dengan mengkapitalisasi seluruh sumber daya yang ada, termasuk di dalamnya modal sosial. Ironisnya kondisi Republik sampai saat ini masih dililit kemiskinan, pengangguran, masalah pendidikan, kesehatan, keamanan dan kedaulatan wilayah. Ke-Indonesia-an kita mesti dirajut lagi, rajut kembali kebudayaan, kebangsaan, ekonomi, politik, hukum dan pertahanan-keamanan yang kita miliki.
Buku ini beliau dedikasikan bagi generasi muda, calon-calon pemimpin bangsa di masa depan agar menjadi pemimpin yang berkarakter kuat dan menjalankan darmanya sebagai seorang ksatria dengan cara :
a) Mengabdi untuk kesejahteraan rakyat
b) Tidak berambisi kecuali untuk kesejahteraan rakyat
c) Berani mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah
Dalam kesempatan tersebut Franky Sahilatua ikut serta menyumbangkan lagu yang dapat membangun suasana ke-Indonesiaan para hadirin dengan dua tembangnya yang berjudul "Di bawah Tiang Bendera" dan "Gendhing Kraton Yogyakarta". Menurut Bung Franky Sahilatua, istrinya merupakan orang Jawa, ketika Franky menciptakan lagu Gendhing Kraton Yogyakarta, keningnya langsung dicium oleh isterinya. Lagu inilah yang membuatnya dicium isterinya. Siapapun pasti akan terbangun dalam suasana ke-Indonesia-an bila mendengar lagu tersebut. Mungkin tepukan tangan para hadirin telah menggantikan kecupan isterinya. Semoga.
Sebelum menyanyikan lagu tersebut, sewaktu menyetel nada-nada gitar yang dibawanya, dia sempat nyeletuk,"Wah, gitar Yogya masih fals ya, mestinya disetel dulu biar nggak fals lagi....."
Garin Nugroho (budayawan) mendapat sampur untuk memberikan prolog dalam acara tersebut, baru kemudian buku tersebut dikupas oleh beberapa pembicara, yaitu Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. dr. Soetaryo, Sp.A. (Ketua Senat UGM), Maria Ulfah (Ketua Fatayat NU), Mira Lesmana (masyarakat Perfilman) dan Franciscus Welirang (Pengusaha). Acara tersebut dimoderatori oleh Bapak Dr. Moeslim Abdurahman.
Garin Nugroho dalam prolognya mengungkapkan tentang membangun ke-Indonesiaan dari ke-Yogyakarta-an. Basis multikulturalism mendasari hubungan antara unsur masyarakat. Agama dipandang sebagai rahmah bukan sebagai ummah. Ummaah bukan sebagai kompetitif.
Menurut Prof. Dr Qomaruddin Hidayat semestinya pembangunan Indonesia didasarkan perencanaan yang matang yang berbasiskan strategi kebudayaan.
Pendekatan budaya berbeda dengan yang lainnya yang berbasis pada kuantitif. Kalau merajut kembali ke-Indonesia-an kita, apa yang kita rajut ? Semestinya merajut pada komitmen, cita-cita, local wisdom yang berserakan. Mengapa Indonesia dream tidak dimiliki lagi oleh bangsa seperti halnya dimiliki oleh para Bapak pendiri bangsa. Sekarang kita lebih menjadi sebagai warga komunal, bukan citizen lagi. Pendidikan SDM semestinya menjadi panglima sehingga memperkuat perekonomian kebangsaan. Indonesia juga memiliki budaya ormas yang umatnya sangat besar yang tidak ditemui di negara lain. Bagaimana kekayaan budaya ormas dipandang dalam bingkai kenegaraan.
Ibu Maria Ulfa berpendapat kalau buku ini merupakan hasil perenungan dari realitas kekinian, pengalaman fakta empiris, ekspresi keprihatinan dan kegalauan. Cocok dengan realita. Kekerasan terhadap para TKW sring terjadi sejak di Indonesia, tempat penampungan. Muncul perdagangan anak dan perempuan. Kasus terjadi terus menerus. Kebudayaan dan peradaban belum mendapat perhatian. Konteks Indonesia yang nyaris terkoyak merekonstruksi kembali.
Mbak Mira Lesmana berpandangan kalau buku ini merupakan sebuah kerinduan untuk menjadi manusia Indonesia. Pentingnya strategi kebudayaan di bidang perfilman. Komunitas perfilman menjadi aajang pertukaran budaya. Kenapa Hollywood menjadi penentu selera dalam gaya hidup anak muda. Film-film Indonesia tumbuh dengan menawarkan hal-hal yang beragam. Di negara seperti Iran dan Korea, film menjadi media literacy, sebagai alat untuk bicara kebudayaan. Tetapi kenapa di Indonesia semua stasiun radio selalu menggunakan bahasa gaul Betawi, tidak memberikan jatidiri/ciri khas budaya lokal. Film budaya terbentur biaya.
Prof Sutaryo memberikan pandangannya tentang Bhinneka Tunggal Ika yang berbeda dengan yang ada di negara lain. Bhinneka Tunggal Ika selama ini belum dijabarkan.
Menurutnya juga Pendidikan dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan, keduanya bukan komoditas perdagangan. Pembangunan keduanya harus saling kait mengkait. Dalam pembangunan perekonomian ada teknologi ekonomi kerakyatan, ada pemberdayaan kemandirian kerakyatan, reformasi perekonomian bahari bisnis yang belum tertangani.
Pembahas berikutnya, Franciscus Welirang, memberikan pandangannya tentang ke Indonesiaan ke depan yang disejajarkan atas dasar kebudayaan dan kemajuan teknologi ke depan. Kehidupan sehari-hari dijumpa eksploitasi dan diskriminasi. Dia juga belum menemukan adanya UU hak usaha perorangan dan keluarga.
Suasana dalam acara tersebut kelihatan santai, kekeluargaan, walaupun ilmiah, karena memang moderatornya pandai membuat joke-joke kritis. Dari pembicara satu dengan yang lain selalu diselingi joke-joke.
Pak Muslim sebagai moderator dengan santainya berbicara kurang lebih demikian,"Begini, Pak, daerah saya di Lumajang sana, sumbernya TKI/TKW, maka wajah-wajah generasi mudanya multikultural.............karena mereka rata-rata berhubungan dengan orang-orang di negara tempat bekerja."
Ada lagi joke-joke beliau,"Pak, Tegal itu daerah pesisir, kenapa kehidupannya tidak bahari, tetapi justru jualan batik dan usaha warteg........."
Ada joke lagi yang dia tujukan kepada Mbak Mira Lesmana setelah Mbak Mira membahas buku Sultan,".......siapa tahu nanti dipilih jadi Menteri Kebudayaan," Mbak Mira hanya senyum-senyum, kemudian Pak Muslim celoteh lagi, ".......siapa akan yang milih,......ge-err nih......."
Pak Muslim juga mengungkapkan joke, "...kalau nonton sinetron-sinetron di tv itu, setelah menghadapi masalah apapun, ustadz akhirnya yang selalu jadi end solution. Inilah the power of ustadz. ..........." Hadirin hanya tertawa..."senengnya nonton acara mengejar hantu,.....senangnya nunggunya...lama sekali............."
Selain pembedahan atas buku tersebut oleh beberapa tokoh di atas yang dimoderatori Bapak Moeslim, ada beberapa tokoh lain yang dimintai pandangannya tentang buku tersebut.
Setelah itu Surya Paloh menge-gong-i acara tersebut dalam sebuah epilog yang sangat puitis dan berapi-api.
Negeri kita kaya raya, tetapi kenapa kemiskinan masih merajalela di mana-mana
Negeri kita terkenal sopan santun dan lembut, tetapi kenapa kekerasan dan kerusuhan merjalela di mana-mana
Negeri kita terkenal beragama, tetapi kenapa korupsi di mana-mana ada
Yah, memang ke-Indonesia-an kita harus dirajut kembali. Jadi terbayang ketika seorang anak yang memiliki seuntai kalung manik-manik, karena direbut oleh teman-temannya, kalung tersebut putus dan manik-maniknya terlepas. Ibunya kemdian marah-marah, sambil merangkai kalung tersebut, sedangkan anaknya hanya menangis karena kalungnya rusak dan dimarahi Ibunya.
Siapa lagi kalau bukan teman-teman muda yang merealisasikan dream of Indonesia ini. Generasi muda memiliki mega proyek merajut kembali ke-Indonesia-an yang terkoyak........
No comments:
Post a Comment