Masih ingat dulu waktu masih kanak-kanak dikejar-kejar orang Batak, takutnya bukan main, sampai sembunyi di belakang rumah. Bahkan kalau Bulik marah, kesannya seperti ketemu orang Batak, apalagi kalau rambutnya dikeriting.
Kemudian ketika di kampus ketemu dosen orang Batak. Dosen ini apa adanya kalau bicara, tidak suka menutup-nutupi apa yang tidak berkenan. Lama-lama yang dosen yang killer sering diidentikkan dengan dosen Batak, mana dia sendiri bicara,"Ha lah gadis Jawa itu kurang makan, kalau jalan lemas, bukannya lemah gemulai, tetapi kayak kurang makan..............". Beberapa mahasiswa tersenyum dan tertawa. Pernah ke luar kota, masuk ke terminal, bertemu dengan orang Batak, dia marah-marah.
Ketika masuk ke dunia kerja, sempat bertemu orang Batak, orangnya cantik, tetapi suka komplain. Dia itu sangat terbuka, segalanya harus diperhitungkan, apalagi arsitek, bagaimana tata ruang kerja itu menjadi nyaman. Entah kenapa setelah saya bertemu orang ini, pandangan tentang orang Batak sangat berbeda. Dulu saya berpandangan bahwa diam itu emas, jadi apa-apa diam, jarang berpendapat, kalau tidak penting banget tidak bicara, yang penting bekerja. Akhirnya aku merasa bahwa tata cara orang Batak tadi menyampaikan sesuatu perlu saya contoh. Saya harus aktif dalam setiap pertemuan, bahkan saya juga harus pandai menyanyi seperti orang Batak, walaupun bukan penyanyi. Pertemuan saya dengan orang Batak telah merubah image tentang orang Batak, saya harus belajar akan kesuksesan orang Batak. Ternyata untuk urusan penarikan sumbangan sosial di kampung, orang Batak lebih berani mengetuk pintu orang kaya, kepeduliannya menjadikannya tidak malu untuk urusan sosial. Kemudian saya bertemu profesor perempuan, orang Batak juga. Orangnya halus, ramah. Saya harus merubah image orang Batak di mata saya, ternyata di dalam diri orang Batak tidak dikenal klemah-klemeh, leda-lede, kamoflase.
No comments:
Post a Comment