Oleh : Romo H.R.M. Tirun Marwito Jatiningrat, S.H.
(Artikel ini telah disampaikan dalam Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh BAPEDA Provinsi DIY, 15 September 2005)
Kalau kita membicarakan soal budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebenarnya kita pertama-tama harus menyamakan kesamaan pandangan kita bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sudah menjadi kodrat sesuai dengan jalannya sejarah. Budaya Ngayogyakarta Hadiningrat adalah budaya Jawa dimana Kraton sebagai pusatnya. Budaya Ngayogyakarta Hadiningrat yang sebenarnya tidak dibatasi dengan Ngayogyakarta secara administrasi seperti sekarang ini, sebagai batas pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang malahan mungkin dianggap tidak termasuk daerah otonomi kabupaten atau kota seperti Bantul, Kulon Progo, Sleman, Gunung Kidul serta Kota Yogyakarta, akan tetapi Ngayogyakarta secara budaya adalah sampai pada daerah-daerah yang budayanya mengikuti budaya Ngayogyakarta.
Perlu diketahui menurut administrasi pada tahun 1755 (Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755) wilayah Ngayogyakarta itu termasuk Sokawati, Pajang, Bagelen, Kedu, Madiun, Magetan Grobogan, Caruban, Palitan, Tulung Agung, Mojokerto, Bojonegoro, Kalangbret, Selo Bumi gede, Wirosari. Tetapi oleh karena akibat penjajahan serta kesalahan kita sendiri, wilayah Ngayogyakarta secara administrasi tinggal Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk 4 kabupaten dan 1 kota seperti tersebut di atas.
Sebenarnya budaya Ngayogyakarta itu tersebar dimana saja ada orang Ngayogyakarta (Yogyakarta) sebagai pendukung / penganutnya. Budaya Ngayogyakarta ada yang fisik (tangible culture) dan ada yang non fisik (intangible culture). Selanjutnya yang akan kita bicarakan lebih mendalam adalah yang non fisik (intangible) yang mempunyai nilai filosofi, kearifan tradisional, moral serta etika.
Hamemayu hayuning bawana adalah suatu visi (impian) local yang mempunyai wawasan global yang bersifat universal, dalam bahasa Jawa yang merupakan angan-angan yang ditujui atau diimpikan (ideal) dalam bahasa kekinian berarti memelihara keselmatan dunia atau memelihara kelestarian bumi sebagai satu ekosistem, maka manusia sebagai khalifah pengemban amanah Allah SWT (Khalifatullah) wajib menjaga keseimbangan hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan penciptanya.
Untuk mewujudkan visi hamemayu hayuning bawana tersebut di atas dilakukan dengan misi local yang mempunyai wawasan global yang bersifat universal yaitu Hamengku Buwana yang merupakan nama Dinasti yang memerintah di Kerajaan Mataram Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat). Nama Hamengku Buwana dalam Bahasa Jawa terdiri dari kata-kata :
Hamengku yang berarti mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan yang dalam bahasa kekinian berarti memberdayakan SDM dan menjunjung tinggi HAM.
Hamangku yang berarti adil, memelihara, melandasi, memberi dorongan atau menjiwai dan mengayomi yang dalam bahasa kekinian berarti memberlakukan azas keadilan, mengayom dan penegakan hokum (law enforcement).
Hamengkoni yang berarti frame work (kuidance) keteladanan pemimpin dan bertanggung jawab yang dalam bahasa kekinian berarti memberi contoh atau teladan dan bertanggung jawab. Bawana yang berarti dunia atau jagad/bawana.
Selanjutnya tugas dan kewajiban para raja-raja Mataram Yogyakarta (Hamengku Buwana) dalam mewujudkan impian, angan-angan atau cita-cita hamemayu hayuning bawana menjadi Hamengku Buwana (Hamengku, Hamangku dan Hamangkoni) yang selanjutnya akan membentuk jiwa satriya yang terpersonifikasikan (terlihat ujudnya) pada sesosok figur perorangan yang mempunyai sikap :
Nyawiji : memposisikan dirinya yang tidak terpisah dari kelompok lingkungannya atau dan memposisikan dirinya yang tidak terpisah dengan Allah SWT Tuhan Yang maha Esa.
Greget : semangat, tidak lemah, dinamis.
Sengguh : jatidiri, percaya diri tetapi tidak sombong dan arogan.
Ora mingkuh : tidak kecil hati, tidak takut menghadapi kesukaran dan penuh tanggung jawab.
Ajaran Sri Sultan Hamengku Buwana I tersebut di atas agar bisa dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau ajarkan lewat gerak tari gaya Mataram Yogyakarta yang sampai saat ini bisa kita saksikan sebagai seni tari yang adiluhung. Arah ajaran Sri Sultan Hamengku Buwana I ini sebenarnya adalah bagian pokok dari ilmu kepemimpinan yaitu jiwa satriya yang bisa terbentuk figur seorang satriya yang digambarkan sebagai pembela kebenaran, pembela kaum dan golongan yang lemah serta bersifat lemah lembut tetapi tegas.
Yang perlu dihayati dan disadari bahwa seorang satriya bukanlah seorang pedagang yang mungkin orientasinya hanya pada untung dan rugi saja. Seorang satriya pengabdiannya hanya pada nusa, bangsa dan negaranya saja. Sikap tersebut bisa membentuk jiwa atau watak satriya, apabila kita mempunyai idealisme, komitmen yang tinggi, integritas moral, serta nurani yang bersih. Figur seorang satriya yang secara batin dibentuk dengan sifat nyawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh tersebut, oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I masih perlu dilengkapi dengan pakaian taqwa (yang benar-benar berujud pakaian sering disebut Mataraman/surjan).
Hal ini tersebut dalam Surat Al a’Raaf ayat 26 yang berbunyi : ”Hai Anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” Diceritakan bahwa sesudah Perjanjian Giyanti 1755, Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwana I) dan Paku Buwana III memandang perlu membedakan pakaian Surakarta dan pakaian Ngayogyakarta. Karena sudah siap dengan konsep pakaian tersebut, Sri Sultan HB I menawarkan konsep tersebut kepada Susuhunan PB III. Susushunan PB III memilih menggunakan konsep Sri Sultan HB I tersebut. Oleh karenanya Sri Sultan HB I memilih pakaian untuk Ngayogyakarta adalah pakaian yang sudah ada pada waktu itu yaitu Pakaian Mataram atau disebut pakaian taqwa yang dasar hukumnya tersebut pada Surat Al A’raaf ayat 26.
Perlu diketahui bahwa ternyata Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1757 M telah mendirikan sekolah dengan bangunannya yang dinamakan, Sekolah Tamanan di dalam Kraton. Adapun pelajaran yang diberikan di Sekolah Tamanan tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Bahasa dan Kesusastraan Jawa Baru dan Jawi
2. Sejarah Kraton di Tanah Jawa
3. Menyanyi Mocopat, Tengan, Gedhe
4. Tata Negara5. UU Sepuluh
6. Angger Predata, Pidana (Hukum Perdata, Hukum Pidana)
7. Mengaji : -Kitab Turutan -Quran dan hadist -Hukum Agama -Tradisi dari Mataram sampai Ngayogyakarta yang berhubungan dengan agama - Parail- Perkawinan dan talak
Di samping itu, ada pelajaran yang bersifat ketentaraan, pertanian dan kebudayaan, yaitu sebagai berikut : 1. Menari (Tarian Putri) 2. Menari (Tarian Putra) 3. Memilih dan menunggang Kuda 4. Latihan berperang (setiap Sabtu di Alun-Alun Utara Jam 16.00 -18.00) 5. Latihan memanah 6. Menatah dan menyungging wayang 7. Membuat dan melaras gamelan 8. Seni bangunan 9. Memelihara segala tanam-tanaman pekarangan, ladang, sawah, perkebunan. 10. Saluran pengairan dan bendungan untuk pertanian rakyat. Apabila kita lihat dengan kaca mata kemajuan pelajaran Sekolah Tamanan ini sudah sangat bagus.
Oleh karena satu dan lain sebab sekolah ini mulai tahun 1830 dikurangi mata pelajarannya. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII pelajarannya tinggal membaca huruf Jawa dan mengaji (membaca huruf Arab). Pada tahun 1954 ada kerjasama antara Kraton dengan Korem 072 Pamungkas (Uril = Urusan Moril Korem 072) dalam rangka melatih menari bagi para anggota Korem 072.
Latihan diadakan di nDalem Purwodiningratan (Kaneman) dan nDalem Purbonegaran. Pimpinan antara lain : KRT. Joyowinoto, R.M. Salikun. Di sini kelihatan bahwa sebenarnya pihak militer dalam hal ini Korem 072 Pamungkas menyadari pembentukan jiwa/mentaal ksatria pada para anggota militer, seperti yang dimaksudkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I waktu itu.
Sebagai generasi penerus di NKRI yang kita cintai ini dan khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan memantapkan diri sebagai Pusat Budaya Tahun 2020 mau tidak mau harus mengatur strateginya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan sejarah kepemimpinan terutama di DIY sendiri. Sri Sultan HB I merupakan pendiri Ngayogyakarta dengan langkah-langkah serta cita-cita ajaran yang sangat mendasar dalam membentuk jiwa dan watak bangsanya. Kemudian cita-cita tersebut dilanjutkan oleh para Hamengku Buwana yang menggantikannya, tentunya segala variasi kepemimpinannya disesuaikan dengan zamannya. Tetapi kalau kita perhatikan ada hal yang sama pada kepemimpinan dari zaman ke zaman tersebut, sehingga bisa bertahan sampai sekarang, yaitu mempertahankan jiwa satriya itu. Kalau kita menyadari sebenarnya dengan adanya penjajahan dari bangsa asing kepada bangsa kita, hikmahnya adalah terbentuknya jiwa satriya tersebut yang tetap membekas sampai akhir zaman. Tanpa kesadaran dari kita semua, jiwa satriya akan menghilang dan tinggal kenangan saja, maka tinggal menunggu ”hancurnya bangsa ini”. Oleh karenanya semestinya seluruh lapisan masyarakat di Indonesia pada umumnya, dan DIY pada khususnya dapat mengaplikasikan nilai-nilai jiwa satriya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Documentation : ekosuryanti@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment