Gaung Hari Perempuan Sedunia 8 Maret lalu, terus berlanjut hingga 21 April mendatang pada peringatan Hari Kartini.
Ada sebuah buku yang mengungkapkan perjuangan melawan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, pendidikan yang dikarenakan perbedaan gender. Buku ini dieditori tiga perempuan : Arimbi, Sri Sulistyani, Indriaswati Dyah Saptaningrum dengan gawang 4 penulis pejuang hak-hak kaum perempuan di negeri ini, Rudiah Primariantari, Alberta Rika Pratiwi, Ilsa Nelwan, Gail Maria Hardy.
Sepanjang sejarah peradaban dan kebudayaan manusia banyak sekali kasusu tentang keberdayaan dan ketidakberdayaan perempuan. Dari keratuan Ratu Simha, Ratu Elizabeth I, TribhuwanaTunggadewi, Margareth Tatcher yang menjadi adidaya pada zamannya, hingga ketidakberdayaan para TKW (pejuang devisa) yang nasibnya untung-untungan, para Jugun Ianfu yang menjadi budah kolonial, wanita-wanita di daerah jajahan Palestina, Bosnia dan sebagainya. Manusia yang tidak berhati adalah yang tidak terpanggil nuraninya.
Buku setebal 148 halaman, terbagi dalam 6 bab pokok pembicaraan, secara penampilan memang sangat menarik untuk dibaca. Pasti menjadi konotasi yang positif maupun negatif bagi para pembacanya.
Persoalan gender memang sangat menarik untuk dibahas dari sudut manapun, sosial, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Perbedaan gender tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis, tetapi juga faktor sosio kultural yang dalam hal ini meliputi lingkungan, adat istiadat, kondisi ekonomi, kondisi politik.
Faktor-faktor tersebut menjadikan pemilik tubuh dan sensualitas bukan laki-laki menjadi terbelenggu dan tereksploitasi oleh kepentingan pribadi maupun yang lain. Masyarakat modern menuntut tubuh sebagai mesin produksi.
Penulis buku ini menggunakan pendekatan sejarah- kultural. Rudiah Primariantari dalam “Negara Birokrat dan Ibu (Bapak) Pejabat” berpendapat bahwa usaha perempuan untuk berperan dalam lingkungan publik dimulai pada awal abad 20 dengan berdirinya putri mardiko tahun 1912, disusul oleh organisasi-organisasi yang lain. Usaha emansipasi itu terbias oleh kelompok politik. Mereka pada awalnya menjadi organisasi independent, tetapi lama-lama menjadi organisasi bayangan organisasi politik pria.
Alberta Rika Pratiwi mengungkapkan tentang kemungkinan pemberdayaan wanita melalui konsep kultural 3M (macak, manak, masak). Bagaimana agar konsep tersebut menjadi produktif dan menghasilkan keuntungan ekonomi. Keahlian masak seorang perempuan harus dijadikan alat untuk meningkatkan pendapatan negara dengan industri pangan, industri kuliner. Produksi makanan memberi untung yang lumayan. Keahlian merias harus dijadikan alat untuk menghasilkan uang. Kursus rias, kursus menjahit, kursus foto model telah terbukti mampu mengangkat harkat martabat orang. Lihat saja nasib para foto model dan peragawati semacam Thomas Djorghi, Gunawan, Nadhine Chandrawinata, Marchel Chandrawinata, Mischa Candrawinata, Ivan Gunawan, ratih sanggarwati, keluarga Haque, dan sebagainya. Lapangan ekonomi mereka semakin luas saja. Konsep manak juga harus dihubungkan dengan usaha kesehatan dalam keluarga. Dalam film Korea ditanyakan siapakah sebenarnya tabib paling hebat, pelayan paling hebat, ternyata jawabannya “Ibu”. Wanita sangat berperan dalam kesehatan keluarga.
Sementara itu Rudiah Primariantari cenderung melihat perempuan di lapangan publik. Pada masa pergerakan nasional muncul banyak organisasi wanita yang bersifat agamis dan nasionalis. Akhirnya organisasi-organisasi perempuan cenderung menjadi bias politik para pria.
Alberta Rika Pratiwi memberikan kritikan terhadap perilaku pola makan Ibu-Ibu yang tidak memperhatikan kebutuhan tubuhnya, padahal semakin industries seorang wanita, semakin banyak tuntutan akan makanan sehat. Mereka lebih suka fast food yang diolah dengan peralatan modern dan ditambah zat adiktif. Padahal mesin produksi wanita modern membutuhkan banyak makanan bergizi untuk menunjang vitalitas kerja.
Menurut Ilsa Nelwan, pengaruh adat tradisional dan situasi ekonomi mengakibatkan kesehatan para wanita ketika melahirkan berkurang. Ekonomi ini juga berpengaruh pada kesempatan para wanita dalam mengakses pengetahuan dengan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Bias gender telah menyebabkan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi para wanita. “Surga di telapak kaki Ibu, mungkin….Tingginya angka kematian Ibu ketika melahirkan. kematian tersebut telah diakibatkan oleh keterbatasan informasi, pengetahuan, teknologi dan ekonomi modern dari warga yang bersangkutan. Rendahnya angka kesehatan reproduksi diakibatkan oleh rendahnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pengetahuan. Hal tersebut terjadi turun temurun.
Perpaduan antara pengaruh adat tradisional dengan kondisi ekonomi telah berakibat pada rendahnya tingkat kesehatan Ibu dan anak, walaupun pemerintah telah mengambil kebijakan politis untuk mengantisipasi rendahnya angka kematian mereka, selain dengan peningkatan pelayanan kesehatan. Terjadi gab (jurang) antara petugas kesehatan dengan rendahnya kesadaran masyarakat dan wanita dalam persepsi dan intepretasi mereka tentang kesehatan masyarakat. Masyarakat biasanya kurang terkonstruk untuk menyiapkan kelahiran baik dari segi materi maupun non materi. Pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan tanpa diimbangi kesadaran pola hidup yang terkonstruk dari masyarakat karena bias gender.
Gail Maria Hardy dalam urainnya “Ketubuhan Perempuan dalam interaksi Sosial: Suatu Masalah dalam heterogenitas Kelomponkya” mengungkapkan kompleksitas masalah perempuan yang diakibatkan oleh heterogenitas kelompok. Di Indonesia permasalahan perempuan tidak lepas dari heterogenitas kelompok. Di Indonesia masalah tersebut diakibatkan oleh hubungan antara laki-laki dan perempuan yang lebih merupakan suatu hubungan hegemoni yang kurang seimbang dan tidak setara. Pihak yang satu berusaha mengubah kualitas hubungan dengan meningkatkan keberdayaannya, sedangkan pihak yang lain justru ingin mempertahankan status quonya agar hegemoni kekuasaan tetap berada di tangannya. Perbedaan gender antara lelaki dan perempuan tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik dan biologis, tetapi juga psikologis/persepsi (menimbulkan karakter feminin dan maskulin). Feminitas sebagai pemegang hegemoni belum tentu tidak sukses. Perbedaan gender telah terkonstruk dalam masyarakat me4lalui sosialisasi dan enkulturasi, sehingga mengakibatkan diskriminasi dalam pembagian pekerjaan. dalam sektor domestik kecantikan dijadikan hadiah bagi seorang lelaki, tetapi sekarang kecantikan menjadi simbol aktualisasi diri, alat pertahanan diri, alat meningkatkan prestise sosial dan ekonomi. Jadi tidak benar juga kalau ada yang bilang Cantik itu luka. Karena dengan hanya kecantikan ternyata banyak orang lebih diterima dalam masyarakat. Banyak perempuan terpedaya oleh kelakuannya sendiri maupun diskriminasi gender itu sendiri. Banyak perempuan terpedaya oleh mitos kecantikan, sehingga rela membuang materi untuk beli produk kosmetik, menjadi korban promosi industri kecantikan.
Semakin rendahnya tingkat ekonomi dan status sosial masyarakat wanita, semakin rentan terhadap eksploitasi ketubuhan dan seksualitasnya. Mereka akan terkungkung dalam tugas-tugas domestik. suatu saat akan menjadikan seksualitas dan ketubuhan menjadi modal bisnis industri, jika dia berada dalam tingkat ketidakberdayaannya. Tingkat pemahaman perempuan terhadap jatidirinya, ketubuhannya, seksualitas berbeda-beda, sehingga jalannya pemberdayaan perempuan bersifat heterogen. Kontrol perempuan terhadap kapasitas dirinya tersebut akan menjadi alat pengendali untuk memperoleh otoritas dalam interaksi sosial dan otonomisasi dirinya.
Dengan membaca buku ini, kita akan terbuka terhadap kasus-kasus diskriminasi gender di dalam masayarakat. Dalam kasus pemberdayaan wanita harus ada kemitraan antara pemerintah, lingkungan masyarakat, dan yang bersangkutan. jangan-jangan yang diperjuangkan malah tidak mau tahu.
Pemerintah perlu memberi kesempatan kepada para wanita untuk maju dan membebaskan diri dari prasangka-prasangka yang justru menjerumuskan wanita dalam isolasi gender. Pihak perempuan sendiri harus memahami dan menyadari kapasitas dan kekuatanya sehingga tidak menjadi alat. Peran wanita di tengah-tengah publik dan dalam tugas domestik harus seimbang.
No comments:
Post a Comment