Berita Budaya, Senin 10 Desember 2007
Pada hari Senin, 10 Desember 2007, Bidang Daya Saing dan Kemandirian Masyarakat, BAPEDA mengadakan seminar lanjutan tentang Strategi Peningkatan Daya Saing Kebudayaan Yogyakarta (DIY). Seminar ini diadakan dalam rangka menjaring masukan dan saran terhadap Draft Strategi Peningkatan Daya Saing Kebudayaan Yogyakarta (DIY).
Dalam sambutan dan pengarahannya, Ir Azharudin AR, Kepala Daya Saing dan Kemandirian Masyarakat, BAPEDA Provinsi DIY memberikan pernyataan bahwa secara teoritis, kondisi masyarakat DIY dapat digambarkan dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu : Pertama, masyarakat yang memiliki daya saing, yakni masyarakat yang bergerak dibidang Pendidikan, Budaya dan Pariwisata (termasuk industri kecil kerajinan) dan kedua, masyarakat yang belum memiliki dayasaing, yakni masyarakat di sektor lainnya.
Beliau juga menambahkan bahwa untuk mendorong investasi ke DIY, diperlukan strategi yang adil dalam penanganan kedua kelompok tersebut. Untuk kelompok yang berdaya saing memerlukan fasilitasi, sedangkan kelompok yang tidak berdaya saing harus diberdayakan. Melihat situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, tantangan ke depan dalam meningkatkan dayasaing kebudayaan DIY sangatlah berat. Proses pengikisan ketahanan budaya Jogja berjalan sangat cepat, sehingga diperlukan kepedulian semua pihak untuk mempertahankannya, bahkan mencari jalan keluar untuk meningkatkan ketahanannya, sekaligus daya saingnya.
Sambutan dan pengarahan tersebut mengawali serangkaian acara Seminar hari tersebut. Dalam kesempatan tersebut BAPEDA menghadirkan Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Si., Romo Ir. Yuwono Sri Suwito, M.M., dan seorang pemerhati kebudayaan yang sudah tidak asing lagi, Indra Tranggono.
Bapak Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Si. menyampaikan bahwa industri kebudayaan merupakan industri kreatif, industri yang berorientasi masa depan yang secara umum meliputi cetakan (termasuk batik), percetakan dan multimedia, audio-visual dan produksi sinematografis, kerajinan tangan dan disain, kemudian arsitektur bangunan, seni visual dan pertunjukan, olah-raga, musik, pabrikan alat musik, periklanan dan pariwisata budaya. Industri kebudayaan memberikan tambahan dan menghasilkan nilai terhadap individu dan masyarakat. Industri ini padat karya dan pengetahuan, menciptakan kesejahteran dan mendorong inovasi dalam produksi dan proses komersialisasi. Selain itu juga sebagai sarana untuk meningkatkan keunggulan kompetitif, pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kemiskinan.
Dua belas faktor yang berhubungan dengan fisik kebudayaan yang harus diperhatikan dalam peningkatan daya saing kebudayaan Yogyakarta, yaitu antara lain:
Pertama, menyampaikan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalam kesenian (wayang, kerawitan, tembang, tari dan kethoprak) kepada masyarakat. Kedua, menciptakan tampilan seni pertunjukan yang tidak ketinggalan jaman melalui inovasi baik teknologi maupun sumberdaya manusianya. Ketiga, pelestarian kesenian sebagai nilai warisan bagi generasi di masa depan. Keempat, melakukan modifikasi terhadap performace seni pertunjukan (bukan dalam pakemnya). Kelima, pelestarian heritage (tangible dan intangible) baik melalui retrofit, rehabilitasi, restorasi, renovasi dan sebagainya. Keenam, memperhatikan kelaikan infrastruktur pendukung budaya baik sarana dan prasarananya juga mendorong kepedulian semua pihak membantu pusat-pusat seni dan budaya untuk tampil di berbagai kancah internasional. Ketujuh, mempertahankan penggunaan busana dengan motif batik dan lurik. Kedelapan, menjaga keanekaragaman kerajinan yang cukup diperhitungkan di mancanegara. Kesembilan, menumbuhkan kembali kebanggaan berbusana tradisional Jawa melalui pemakaian tersebut bukan hanya seremonial pada hari atau peringatan tertentu tetapi lebih intensif lagi. Kesepuluh, menjaga budaya kedisplinan baik ketertiban dan keteraturan. Kesebelas, meningkatkan kualitas dan model tembikar Kasongan agar tidak ketinggalan jaman. Keduabelas, menjaga Kraton tetap sebagai pusat budaya Jawa.
Sementara itu Romo Ir Yuwono Sri Suwito, M.M., M.Si. menggagas bahwa dalam Strategi Daya Saing Bidang Kebudayaan Jawa-Yogyakarta diperlukan langkah strategis sebagai berikut :
Lahirnya strategi sebagai komparasi antara yang diharapkan dengan realita
Karena banyaknya jenis dan nilai yang dikandung di dalam budaya Jawa Yogyakarta, maka perlu dilakukan :
a. Pemilahan dan pemilihan
b. Dilakukan reinventarisasi, reinterpretasi, pemberian ruh baru terhadap jenis dan nilai budaya tertentu baru kemudian dilakukan reaktualisasi dan transformasi
Pemahaman dan penanaman kebudayaan Jawa-Yogyakarta melalui jalur tri pusat pendidikan : keluarga, sekolah dan lingkungan
Perlunya mencetak aparat pemerintah dari jajaran atas sampai Ketua RW dan RT menjadi pamong budaya. Untuk ini diperlukan penataran dan sosialisasi khusus dalam jangka waktu tertentu
Target keuntungan yang utama adalah keuntungan budaya baru keuntungan yang lain mengikuti, misal keuntungan ekonomi.
Acara tersebut menjadi semakin gayeng dengan kehadiran seorang pemerhati dan budayawan, Drs Indra Tranggono. Dia melihat segi kreatifitas masayarakat Yogyakarta yang sebenarnya bisa didaya saingkan, tetapi justru terpinggirkan. Beliau mencontohkan saja dengan budaya kuliner, kenapa makanan gudeg lebih enak dibungkus dengan daun pisang, bagaimana makan dengan pincuk dan suru.
Ditambahkan olehnya bahwa tema Strategi Peningkatan Daya Saing Kebudayaan DIY, memunculkan beberapa persoalan.
Pertama, frase “peningkatan daya saing kebudayaan DIY” berasosiasi kepada makna, bahwa berbagai potensi kebudayaan DIY membutuhkan upaya strategis agar mampu bicara dan beraktualisasi secara optimal serta bersaing dengan nilai-nilai lain, Kedua, frase di atas juga memunculkan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat modern merupakan ruang perebutan makna dari berbagai nilai.
Ketiga, frase di atas mengandung horison harapan atau cita-cita kolektif, “DIY sebagai pusat budaya tahun 2020”, sehingga perlu pemetaan kekuatan potensi nilai-nilai DIY sekaligus upaya aktualisasinya.
Secara kultural DIY sering disebut dengan Yogyakarta. Menurut Umar Kayam, Yogyakarta adalah kota yang unik. Ia adalah satu kota tradisional Jawa yang pernah menjadi ibukota suatu kerajaan (Ngayogyakarta Hadiningrat—pen) dan menjadi ibukota republik (Indonesia). Dalam kedudukan ini, kota yang secara budaya berorientasi pada nilai-nilai kebudayaan Jawa ini, mengalami suatu dialog nilai budaya dengan nilai-nilai lain secara gencar. Pada konteks Yogyakarta, ambivalensi itu mewujud pada ekspresi dan perilaku warga masyarakatnya yang lentur, plastis menyikapi nilai-nilai budaya lama dan nilai-nilai budaya baru. Tantangan serius kita sekarang adalah: kebudayaan pop atau kebudayaan massa yang telah merebut dan menguasai ruang sosial, ruang budaya dan ruang psikologi masyarakat.
Kenapa kebudayaan pop cenderung dominan dan hegemonik?
Pertama, paradigma pembangunan negara kita menggunakan ekonomi sebagai panglima. Kedua, politik kebudayaan negara (pemerintah) cenderung kurang memproteksi kebudayaan lokal/tradisional. Maka jika DIY ingin ke depan ingin meningkatan daya saing kebudayaan untuk menjadi “Pusat Budaya Tahun 2020”, perlu melakukan beberapa langkah stategis.
Pertama, keberanian dan kecerdasan untuk menggunakan kebudayaan sebagai orientasi nilai atau paradigma pembangunan.
Kedua, perlu identivikasi dan pementaan potensi kebudayaan DIY
Ketiga, meningkatkan daya saing kebudayaan di DIY baik terhadap nilai-nilai global/modern atau nilai-nilai etnis lain membutuhkan ketajaman visi kebudayaan untuk membaca perubahan.
Dalam kesempatan tersebut ada beberapa saran dan masukan yang sangat menarik, salah satunya dari Ibu Larasati Suliantoro yang diantaranya menyampaikan ketidakpuasannya terhadap situasi dunia kebudayaan. Dalam perkembangan kebudayaan lokal ditemukan ketimpangan. Kebudayaan tanpa perempuan tidak ada. BAPEDA semestinya menyoroti perempuan, karena perempuan merupakan pengemban kebudayaan. Revolusi damai. Wanita harus kembali pada busana Jawa. Perkara kuliner bukan masalah sepele, bukan hanya sajian, tetapi menyangkut lingkungan. Perkuliahan kebudayaan harus dikaji menurut Ilmu Filsafat untuk para aparatur. Di DIY harus ada keteladanan, yang harus dikikis kasus yang kelihatan dulu. Dia juga menyatakan tidak setuju kalau falsafah wanita sebagai konco wingking dihilangkan oleh emansipasi, sehingga perlu revitalisasi dan reinterpretasi nilai-nilai lokal.
Demikian yang bisa kami laporkan dari ruang Seminar Peningkatan Daya Saing kebudayaan DIY.
No comments:
Post a Comment