Sunday, 20 January 2008

Hubungan Indonesia dan Yogyakarta

Republik Indonesia memiliki hubungan historis dengan Yogyakarta. Apalagi bila dilihat peranan Sri Sultan Hamengku Buwana dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan RI. Tulisan saya ini hanyalah ulasan singkat dan ringkasan dari orasi Bapak Prof. Dr. Suhartono Wiryopranoto dalam rangka sarasehan dan pagelaran wayang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 29 Desember 2007. Kalau kita baca dan dengarkan orasi tersebut kita akan menarik kesimpulan sebuah hubungan kemesraan antara Republik Indonesia - Kraton Ngayogyakarta - Yogyakarta - UGM. Di sinilah salahsatu sudut dari kesemestaan Yogyakarta bagi Indonesia.


Pak Prof. Dr. Hartono mengawali orasi hari tersebut dengan mengingatkan kita kembali kepada masyarakat tentang Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Beliau telah berperan besar dalam mengelola Republik Yogyakarta (RI di Yogyakarta, 4 Januari 1946 sampai dengan 27 Desember 1949), sehingga semuanya berjalan lancar dan cita-cita republik menuju persatuan bangsa dan pengakuan kedaulatan dapat terlaksana dengan baik.


Pada tanggal 18 Maret 1940 G.R.M. Dorojatun dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Beliau merupakan pemimpin yang sangat dekat dengan rakyat. Kejujuran dan kesederhanaannya telah mendekatkan dirinya dengan kawulanya. Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa beliau sangat lihai menyamar agar bisa membaur dengan rakyatnya. Ceritanya kurang lebih demikian, waktu itu beliau baru menaiki mobilnya melewati sebuah jalan, di jalan ada seorang Ibu yang hendak ke pasar, kebetulan sedang menunggu angkutan, tetapi sampai lama belum ada angkutan, kemudian Ibu menghentikan mobil Pak Sultan atau memang Pak Sultan berkenan berhenti untuk menolong Ibu tersebut, sesampainya di pasar, orang-orang di pasar memberi tahu kalau itu tadi Pak Sultan, saat itu juga si Ibu pingsan.

Walaupun beliau berlatarbelakang pendidikan Barat, tetapi nilai-nilai ke-Jawaannya tidak hilang dalam dirinya. Kombinasi pendidikan tradisional Keraton dengan pendidikan Belanda menghasilkan pemikiran yang rasional dan berpihak pada rakyat.

Demokratisasi Sri Sultan dilakukan dengan reorganisasi birokrasi di Pusat Pemerintahan di Kepatihan. Beliau tidak mengangkat Pepatih Dalem lagi dan kemudian berkantor di Kepatihan sejak tanggal 1 Agustus 1945. Kharisma beliau telah dipandang oleh di belahan dunia lain.

Berita telah dibacakannya naskah Proklamasi di halaman rumah Soekarno, pegangsaan Timur 56 pukul 10.00 segera diterima di Yogyakarta siang harinya. Siang itu umat muslim sedang sholat Jumat di Mesjid Besar, Alun-Alun Utara Utara Yogyakarta. Sore harinya Ki Hajar Dewantoro dan murid-murid Perguruan Taman Siswo pawai keliling kota dengan bersepeda untuk menyebarkan berita proklamasi kepada masyarakat.

Reaksi pertama yang diambil oleh Sultan Hamengku Buwana IX adalah mengirim telegram kepada Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan mengucapkan selamat atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Hal serupa juga diikuti oleh Paku Alam VIII. Kemudian ditindaklanjuti dengan memanggil kelompok-kelompok pemuda di Kepatihan Yogyakarta pada hari Minggu tanggal 19 Agustus 1945 itu agar mereka menjaga keamanan masyarakat. Unsur-unsur feodal mulai dihilangkan oleh kedua pimpinan Yogyakarta tersebut. Beliau berdua pada tanggal 30 Oktober 1945, yang isinya sebagai berikut :

1. Ke dua Kepala Daerah merupakan Dwitunggal

2. Ke dua pemerintah DIY bekerja bersama rakyat yang diwakili oleh BP KNID Yogyakarta

3. Menghilangkan dualisme dalam pemerintahan DIY

Pasca kemerdekaan situasi ibukota Jakarta semakin genting, di sanalah terjadi bentrokan antar kepentingan, Jepang masih berkeliaran, Sekutu yang datang akan melucuti senjata tentara Jepang, kelompok revolusioner pemuda yang membuat onar. Segera saja Sri Sultan, Paku Alam dan KNID Yogyakarta mengirim kawat kepada Sutan Syahrir atas terhindarnya dari percobaan pembunuhan. Tanggal 2 Januari 11946 Sultan mengirim kurir ke Jakarta minta agar pemerintah pusat menyingkir ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 januari 1946 ibukota RI Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Masyarakat Belanda tidak rela kalau RI memiliki kekuasaan lebih atas wilayah jajahannya. Belanda mengisolasi hubungan internasional RI. Pembentukan negara-negara federal berarti mempersempit wilayah RI. Blokade Belanda menyulitkan RI melakukan perdagangan beras dan transportasi ke daerah lain.
Untuk menghadapi Agresi Belanda I, TNI melakukan pertahanan linier yang ternyata kurang efektif, karena peralatan perangnya sangat terbatas. Itulah sebabnya dalam Agresi II TNI kemudian meninggalkan kota-kota dan melakukan gerilya semesta yang berbasis pedesaan.
Melalui siaran RRI, Panglima Besar Sudirman meeemerintahkan pada segenap jajaran Angkatan Perang RI agar tetap bersatu dan berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Muhibah Sutan Syahrir ke Amerika Serikat, Inggris, dan India dilakukan dengan maksud untuk memberitahukan tentang keadaan sebenarnya di Indonesia.
Respon TNI Udara terhadap Agresi Belanda I adalah serangan balik terhadap pertahanan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga.
Pada masa Agresi Militer II, para petinggi negeri seperti Presiden dan Wapres, beberapa menterinya ditawan Belanda.
Fenomena terbaru dekolonisasi telah mendorong USA dan Inggris berpihak kepada Indonesia.
Keberhasilan Serangan Umum merupakan berkat kerjasama yang serasi antara Sri Sultan Hamengku Buwana IX dengan Letkol Soeharto. DK PBB menjadi mediator khususnya wakil dari USA, setelah melihat realitas eksistensi RI. Oleh karena itu, dicarikan jalan terbaik untuk mengatasi konflik itu lewat perundingan.
Setelah tahap-tahap diplomasi dan perang fisik pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Penandatanganan naskah tersebut dilakukan di Belanda dan Jakarta. Di Amsterdam (Belanda) berlangsung Penyerahan Kedaulatan dari PM Drees kepada RIS, diterima oleh Drs. Moammad Hatta. Di Jakarta berlangsung penyerahan pemerintahan HB, Dr. Lovink, kepada RIS diwakili oleh Sultan Hamengku Buwana IX.
Ketika UGM mulai dirintis, Sri Sultan meminjamkan Siti Hinggil, Pagelaran Kraton, nDalem Mangkubumen, dan Wijilan untuk kegiatan kuliah.
Dalam perjalanan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwana IX telah memegang berbagai peranan/status. Selain sebagai Raja, Kepala Daerah, Menteri Pertahanan / Negara. Sultan adalah key person dan juru runding dengan Belanda maupun dengan KTN/UNCI. Berdasarkan CMI (Intelijen Militer Belanda) adalah figur kunci birokrasi sipil. Beliau memiliki pandangan ke depan dan bersifat world oriented. Sultan telah menyelamatkan Republik.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan