Wednesday, 20 February 2008

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-7


Aktualisasi Filosofi Kepemimpinan Jawa
dari Serat Piwulang & Gelar Seni
“Sawiji, Greget, Sengguh, Ora-Mingkuh”
--Sri Sultan HB I
MERUJUK pandangan Pangeran Suryodiningrat, seorang empu senitari Kraton, yang ditulis seniman tari Ben Suharto, definisi Tari Gaya Yogyakarta terangkum dalam tiga konsep inti, yaitu wiraga, wirama dan wirasa, di mana dua aspek yang pertama lebih bersifat lahiriah, sementara unsur yang terakhir: wirasa, lebih pada makna batiniah.
Oleh sebab itu ada pembedaan antara Tari Yogyakarta dengan Joged Mataram, yang mengibaratkan wadah dan isi --berbeda namun saling melengkapi dalam satu kesatuan harmoni. Tari Yogyakarta lebih bertumpu pada olah-tubuh menyesuaikan ritme irama gamelan, sedangkan Joged Mataram merupakan olah-batin yang wholistic sekaligus holistic[1]--menyangkut dimensi yang luas dan adiluhung.
Konsekuensinya, selain menuntut kemampuan teknik menari yang prima dan utuh, juga mensyaratkan penguasaan total pada aspek batiniahnya. Pencapaian tataran tertinggi ini hanya dapat diraih melalui kerja keras dan ketekunan, yang juga dapat dijadikan rujukan etos kerja dalam usaha meningkatkan kualitas budaya bangsa [2].
Filosofi Joged Mataram
Joged Mataram sebagai aspek batiniah Tari Gaya Yogyakarta, memiliki makna yang paradoksal, sebagaimana umumnya idiom-idiom Jawa.
Dengan menggali konsep aselinya yang diciptakan oleh Sri Sultan HB I, Pangeran Suryobrongto, seorang pujangga tari yang lain, mengungkapkan bahwa pada intinya Joged Mataram mengandung empat unsur, yang masing-masing unsurnya memuat makna yang dualistis. Ke empat unsur itu adalah, ”sawiji” --konsentrasi atau penjiwaan total tanpa menjadi tak sadarkan diri atau in-trance, “greget” --semangat atau dinamika batin tanpa menjadi kasar, “sengguh” --penuh percaya diri namun low profile, tanpa menjadi sombong, dan “ora mingkuh”--pantang mundur dengan tetap menjaga disiplin diri. Mengapa disebut paradoksal, karena jika salah dalam mengekspresikan ”sengguh”, misalnya, seorang penari bisa terkesan tinggi hati, yang tidak mencirikan karakter khas Joged Mataram.
Seorang penari yang mampu menguasai empat baku senitari itu dengan sempurna, dapat dikatakan secara kultural-spiritual dia sudah mencapai pada tataran ”manunggaling kawula-Gusti” --manembah-nya insan kepada Sang Khalik, oleh menyatunya penguasaan lahir-batin, karakter yang juga dipersyaratkan bagi seorang Pemimpin
Filosofi Kepemimpinan Jawa
Betapa sentral dimensi kepemimpinan dalam khasanah budaya Jawa, sastra piwulang banyak menulis tentang ajaran kepemimpinan, yang sering diekspresikan dalam gelar seni tari.
Sultan Agung
Prinsip-prinsip keagung-binatharaan dalam sosok kepemimpinan Jawa, sesungguhnya juga bersumber dari ajaran-ajaran sebelumnya sejak zaman Singasari. Mengutip salah satu paparan Ngarsa Dalem [3], dikatakan bahwa Sultan Agung Hanyokrokusumo mengembangkan konsep kepemimpinan dalam: “Sang Aji Bathara Buwana” lewat: “Serat Sastra-Gendhing”, yang memuat Tujuh Amanah.
Butir pertama, “Swadana Maharjeng-tursita”, seorang pemimpin haruslah seorang intelektual, berilmu, jujur dan pandai menjaga nama, mampu menjalin komunikasi dengan pihak lain atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, “Bahni-bahna Amurbeng-jurit”, selalu berada di depan asung tuladha dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, “Rukti-setya Garba-rukmi”, bertekad bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian martabat bangsa.
Keempat, “Sripandayasih-Krami”, bertekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, “Galugana-Hasta”, mengembangkan seni-sastra, seni-suara dan seni-tari guna mengisi peradaban bangsa. Keenam, “Stiranggana-Cita”, sebagai pelestari dan pengembang budaya, pencetus sinar pencerahan ilmu dan pembawa obor kebahagiaan ummat manusia. Dan yang terakhir, butir ketujuh, “Smara-bhumi Adi-manggala”, tekad juang lestari untuk menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di mayapada.
Sri Sultan HB I
Selain konsep Sultan Agungan, Sri Sultan HB I, pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, juga mewariskan pelajaran kepemimpinan kepada kita tentang “Astha-wilapa-sari”, yakni: delapan denyut kebajikan insani yang membatasi kekuasaan, sekali pun seorang Raja [4].

Pertama, “Redi-tinamping”, pola pikir filosofis seorang Raja merupakan cerminan pribadinya. Maka yang wigati, setiap saat harus mau melakukan introspeksi di tengah-tengah kawula-alit sebagai pendukung kekuasaannya. Kedua, “Jiwan-danarta”, seorang Raja besar hakikatnya juga seorang interpretator dan visioner besar, maka wajib menafsirkan fenomena apa pun yang terlihat di depan mata.

Ketiga, “Lir-ginelar”, patron kebijakan seorang Raja hendaknya selalu disentuh oleh sistem mufakat di antara kerabat besar pendukung tahta.
Keempat, “Pitraya-inyika”, sebagai seorang Raja yang Gung Binathara hendaknya lebih banyak mendermakan harta-benda untuk kawula yang papa dan renta di dusun-dusun, sebagai wujud amal dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kelima, “Andaya-wilang”, harus tanggap ing sasmita terhadap pergolakan “lati” dan rasa “ewuh-pakewuh”-nya para sarjana dan kaum ulama terhadap tindakan Sang Raja.
Keenam, “Surya-sribhawanti”, hendaknya menjadi tokoh pelindung budaya, adab, agama, persaudaraan ummat dan cita-cita kemerdekaan. Ketujuh, “Rohartaya”, hendaknya selalu insyaf, bagaimana memanfaatkan peradaban Barat bagi kepentingan bangsa dan negara, dan kedelapan, “Traju-trisna”, seorang Raja hendaknya berlaku adil, arif-bijaksana dan tidak mabuk sanjung-puji.
Sang Amurwabumi
Jika mencermati gelar tari Bedhaya Sang Amurwabumi, di sana juga tersirat pesan yang mensimbolisasikan spirit patriotisme dan filosofi kepemimpinan yang mengekspresikan watak ”setia pada janji, tabah dan kokoh namun toleran, selalu berbuat baik dan sosial”.
Dalam Serat Pararaton dari pernikahan Sang Amurwabumi dengan Prajnaparamita dapat kita tangkap isyarat, bahwa garis kesinambungan kepemimpinan tidak cukup dengan hanya mengandalkan kelangsungan darah, melainkan masih diperlukan syarat rumasuk-nya wahyu sebagai bukti lulusnya laku. Keturunan bukan semata-mata dipahami secara biologis atas dasar pewarisan, namun lebih berdimensi kultural-spiritual yang intinya tekad nyawiji. Secara lebih kongkrit, kelestarian eksistensi suatu bangsa dalam proses suksesi atau pun regenerasi, bukan sekadar demi menjunjung prestise, namun harus dibuktikan dengan kadar kualitas budaya bangsa itu sendiri dalam berprestasi.
Ajaran Hasta Karma Pratama yang diturunkan kepada Sang Prajnaparamita oleh Mpu Parwa merupakan kerangka acuan seorang Pemimpin dalam melakukan apa saja yang harus sejatinya benar, terdiri atas delapan langkah, yaitu: (1) Pandangan yang benar, (2) pikiran yang benar, (3) bicara yang benar, (4) tingkah-laku yang benar, (5) kehidupan yang benar, (6) usaha yang benar, (7) ingatan yang benar, dan (8) samadi.
Sedangkan untuk mendukung kualitas kepemimpinan, seorang Pemimpin harus mengamalkan ajaran ”Dasa Paramita”, yaitu: (1) Dhana --kemurahan hati, (2) Sila --laku utama, (3) Ksanti --ketenangan dan kesabaran, (4) Virya --keberanian, (5) Dhyana --samadi, agar selalu tunduk-patuh kepada Sang Pencipta, (6) Prajnya --kewaspadaan, (7) Upaya-kausalya --usaha dan sarana, (8) Pranidhana --ketetapan hati, (9) Bala --kewibawaan kekuasaan, dan (10) Juana --ilmu pengetahuan.
Ajaran Lainnya
Ajaran kepemimpinan lain, misalnya “Serat Wulang Jayalengkara” menyebutkan, seorang penguasa haruslah memiliki watak “Wong Catur”, yakni: retna, estri, curiga dan paksi.
Retna atau permata, wataknya adalah pengayom dan pengayem, karena khasiat batu-permata adalah untuk memberikan ketenteraman dan melindungi diri. Watak estri atau wanita, adalah berbudi luhur, bersifat sabar, bersikap santun, mengalahkan tanpa kekerasan atau pandai berdiplomasi. Sedangkan curiga atau keris, seorang pemimpin haruslah memiliki ketajaman olah-pikir.
Dalam menetapkan policy dan strategi di bidang apa pun harus mendasarkannya atas data dan informasi yang benar. Terakhir simbol paksi atau burung, mengisyaratkan watak yang bebas terbang kemana pun, serta dapat bertindak independen tidak terikat oleh kepentingan satu golongan, sehingga pendapatnya pun bisa menyejukkan semua lapisan masyarakat.
Ini sekadar menunjukkan contoh, betapa kayanya piwulang para leluhur, selain yang sudah teramat masyhur, yang termuat dalam ajaran Astha-Brata. Atau kepemimpinan ideal yang berwatak Pandawa-Lima, yang dikawal dengan kesetiaan dan keikhlasan sosok Semar beserta anak-anaknya Di mana deskripsi, derivasi dan penjabaran serta aplikasinya dalam suatu kepemimpinan aktual mengundang kajian para budayawan dan cendekiawan kita.
Pepeling bagi Pemimpin
Dalam hal ini, menarik untuk dikaji ulasan lakon: “Petruk Dadi Ratu” [5]. Berbeda dengan pemahaman umum, bahwa lakon itu mengibaratkan seorang “kere munggah bale” yang ber- “aji-mumpung”, atau sebuah dagelan satire, tetapi sesungguhnya adalah skenario “mencoke wahyu marang kawula”. Di saat Abimanyu sakit, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya: wahyu-maningrat –yang menebarkan benih keratuan—wahyu-cakraningrat –yang menjaga keberadaannya sebagai ratu—dan wahyu-widayat –yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.
Ketiga wahyu itu hinggap pada diri Petruk, yang menamakan dirinya sebagai Sang Prabu Wel-Geduwel-Beh yang bertahta di kerajaan Lojitengara. Untuk mengukuhkan diri sebagai raja, ia masih membutuhkan dampar Astina, warisan Palasara, pendiri Astina. Konon, ia tidak akan terjungkal dan dapat menduduki dampar, setelah Petruk memangku Abimanyu, yang bersamaan dengan itu Abimanyu pun sembuh dari sakit yang dideritanya. Dalam episode Bharatayudha: “Abimanyu Gugur”, Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu, dan Petruk pulalah yang membakar mayatnya menuju alam kasampurnan.
Kedua lakon itu mengandung makna sekaligus pepeling, bahwa:
1. Seorang Raja yang ingin tetap kedunungan (dihinggapi) wahyu, haruslah berada dipangkuan (didukung) Rakyat. Tidak seperti Dasamuka yang lalim, dan Duryudana yang serakah, kendati pun berkuasa, namun sesungguhnya mereka tidaklah pernah berhasil bertahta di dampar yang sebenar-benarnya, yakni dampar Rakyat itu! Karena hanya ada satu tahta Palasara: ”Tahta Rakyat”.
2. Sampai moksha pun, Raja tergantung Kawula. Hanya Rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup Raja dan menuliskan sejarahnya. Memang, yang namanya Rakyat itu ada di sepanjang zaman. Sementara Raja, tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Sedangkan Rakyat terus ada. Buktinya, Semar dan Petruk serta panakawan lainnya tetap ada sepanjang zaman, ikut menjaga penguasa dari masa ke masa. “Kawula iku ana tanpa wates, Ratu kuwi anane mung winates”.
Jika membuka serat: “Niti Raja Sasana”, untuk mempertahankan kewibawaan di mata rakyat, setiap pemegang kekuasaan haruslah “satya-wacana” atau “satunya kata dengan perbuatan”. Apalagi karena sekarang ini, terlalu banyak keteladanan verbal ketimbang keteladanan aktual. Demikian juga, lebih sering kita mendengar ungkapan simbolik daripada transparansi informasi.
Karena sekarang ini banyak dari kita, baik penguasa maupun masyarakat, senantiasa mencari makna-makna simbolik di hampir segala peristiwa. Sampai batas tertentu simbolisme itu perlu dan baik, asal tidak over-simbolisasi yang tidak mengakar pada realitas. Karena hal ini tidak akan melahirkan tindakan guna mencapai makna yang nyata dari simbol-simbol yang kita ciptakan sendiri itu. Kita menaruh kekhawatiran besar, jika kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan-ungkapan simbolik itu sendiri, terutama dari pemimpin yang menjadi panutan perilaku budaya masyarakat.
Dialog Budaya & Gelar Seni
Dalam kerangka pikir seperti itu, bertepatan dengan suasana Peringatan Hari Pahlawan, maka Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-7 akan mengangkat tema “Kepemimpinan” (yang implisit di dalamnya terkandung aspek “Kepahlawanan”), dengan menghadirkan narasumber Sardono W. Kusumo, Rektor Institut Kesenian Jakarta, Kyai HM Nasruddin Anshoriy, Pengasuh PesanTrend “Ilmu Giri”, RM Dinu Satomo, BA, Pengageng II “Sri Wandawa” Kraton Yogyakarta yang menekuni Tari Gaya Yogyakarta & Joged Mataram.
Dialog dipandu oleh Indra Tranggono, Penulis & Kritikus Seni, bersama Hari Dendi. Gelar Seni berupa “Guntur Segara” (ciptaan Sri Sultan HB I), yang menggambarkan etos keprajuritan Mataram-Yogya, diselingi Seni Akapela Mataraman, musik mulut karya Pardiman Jayanegara, dengan Stage Manager Bondan Nusantara & Drs. Sumaryono, MA dan latar “gamelan ringkes” dari siswa-siswi SMKI Yogyakarta. Secara rutin setiap selapanan digelar di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY pada malam Slasa Wage, 13 November 2007, jam 19.00-22.00.
Renungan Kita
Sejalan dengan proses dialektika, di mana selalu terjadi pergeseran nilai-nilai zaman, maka apa yang terungkap pada masa-masa yang kemudian, adalah terbentuknya sintesa-sintesa baru tentang konsep kepemimpinan dalam suatu setting sistem kenegaraan yang amat berbeda dengan jagat pewayangan atau pun masa Mataram dulu.
Meski demikian, kita tetap mendambakan sosok kepemimpinan ”Sang-Aji” yang melekat pada dirinya kesempurnaan karakter seorang ”Satriya-Pinandhita”, yang mungkin hanya dapat kita raih melalui mimpi-mimpi kita. Dan memang, sungguh kita sedang berada di ujung jalan, atau di permulaan jalan baru, yang mungkin saja masih panjang ...

Yogyakarta, 5 November 2007
Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,

Hari Dendi

[1] Ben Suharto, "Tari Dalam Pandangan Kebudayaan", Jurnal Seni, BP ISI Yogyakarta,
No. I/01, Mei 1991.
[2] Sri Sultan HB X, ”Sang Amurwabumi: Sosok Kepemimpinan Patriotik”, Orasi Budaya, Gelar Budaya Yogya, Jakarta Hilton, 24 November 2000.
[3] Sri Sultan HB X, ”Pengembangan Makna Budaya Kraton & Ajaran Kepemimpinan Tradisional”, Pekan Temu Budaya 1997 dalam rangka Akhir Dasa Warsa Kebudayaan 1988-1997, Yogyakarta,
4 November 1997.
[4] Suryanto Sastroatmodjo, ”Di Riak Ombak Laut Selatan: Sri Sultan HB X Seorang Budayawan”, Serangkum Percik-Percik Renungan, Naskah belum diterbitkan.
[5] I Kuntara Wiryamartana & Sindhunata, “Tahta Raja di Pangkuan Rakyat”, Majalah BASIS,
Januari-Februari, 1996.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan