Mungkin ada beberapa orangtua yang menganggap sinetron/film sebagai perusak generasi muda karena telah menularkan anti kearifan, semuanya serba instant, lahirlah generasi-generasi mall, membodohi dan membingungkan masayarakat Indonesia. Semuanya mengikuti pasaran. Nilai jual sinetron biasanya dilihat juga oleh pemainnya, mungkin tampangnya dan mungkin pula karena aktingnya. Namun kalau dilihat dari industri seni, maka sinetron/film yang akhir-akhir ini booming sebagai pertanda majunya industri seni di Indonesia, walau tidak sedikit dalam proses kreatif ada kemiripan dengan film/sinema negara lain, apakah ini memang sama atau memang ada unsur plagiat. Tanya saja ke rumput yang bergoyang atau pada buaya yang sedang mandi di kali.
Seorang tukang kayu dilihat dari hasil kerajinannya, seorang pandai besi dilihat dari pedang atau karyanya yang lain, seorang tukang batu dilihat dari daya tahan bangunan yang dibangunnya, seorang dosen dilihat dari bagusnya cara mengajar, tukang becak dilihat dari kehati-hatian dan kecepatan mengayuh, lalu seorang artis penyanyi atau sinetron dilihat dari apanya? Kalau penyanyi ya suaranya, kalau pemain film/sinetron ya aktingnya, tetapi itu menjadi faktor 20 % keberuntungannya tanpa ditunjang penampilan fisik atau nama keluarga.
Baru saja film Dae Jang Geum selesai disiarkan kembali oleh Indosiar. Film itu dimainkan oleh Ms. Lee Young Ae, yang waktu shuting usianya melebihi 30 tahun, padahal Jang Geum di situ berumur 18-25 tahun, hingga dewasa. Saya tidak melihat dia canggung memerankan gadis yang masih remaja. Apakah itu make up atau memang pendalaman karakter Ms Lee yang baik atau memang dia awet muda. Padahal saya melihat sinetron-sinetron/film Indonesia itu kebanyakan perempuan di aats 28 tahun sudah dipasang menjadi Ibu-Ibu yang memiliki anak remaja. Seolah-olah artis-artis Indonesia itu apabila sudah berumur di atas 28 tahun pantasnya jadi Simbok-Simbok, dan yang menjadi anaknya, yang disitu remaja dimainkan anak SD kelas V atau VI. Apakah ini juga profesionalisme atau memamng karir film di Indonesia bagi seorang artis itu terbatas pada umur, karena di Barat, banyak artis-artis yang tua justru dipajang di sana menjadi pemain utama. Dan memang mereka semakin tua semakin matang dalam aktingnya.
Saya melihat film Hareem di Indosiar, di situ saya melihat pemainnya berakting dengan baik, walaupun ceritanya tidak dapat dicontoh banyak kaum lelaki di Indonesia, yaitu kehidupan poligami. Di situ seorang suami sampai tidak tahu isterinya selama itu melakukan kekerasan terhadap isteri yang lainnya. Salah satu isterinya adalah Innayah, gadis remaja yang dipaksa kawin dengan Kanjeng Dasa, seorang juragan kaya raya yang suka poligami. Innayah bersaing dengan isteri yang lain, dia paling lemah dan mudah berdaya. Innayah ini berhasil dimainkan oleh Shandy Aulia. Setahu saya dia itu seorang Kristiani, tapi dia mampu memainkan seorang gadis muslimah dengan baik.
Demikian juga dengan seorang Shandy Nayoan yang memainkan Midun dalam sinetron Sengsara Membawa NIkmat. Dia berhasil memainkan seorang muslim hingga tak seorangpun mengira kalau dia itu Kristen.
Kemudian Pak Benyamin Suaib yang suka main di film-film Betawi, betul-betul dia berakting, bahkan temannya mengatakan kalau dirinya berakting tanpa naskah. Dia pun berakting dengan ciri khas Betawi. Sampai saat ini masih sulit dicari artis-artis yang mampu bermain dengan karakter Betawi itu, dia sulit tergantikan.
Ariel Peter Pan memiliki kans untuk menjadi penyanyi legendaris, tetapi apakah dia mam[u bertahan dengan sebuah permainan besar, yaitu perempuan. Suaranya khas, lagunya hits, disukai penggemar, lalu apakah dia bisa full tnapa permainan dengan perempuan?
No comments:
Post a Comment