Monday, 8 October 2007

Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-1, by : Mr Hary Dendi

Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-1
Yogya Untuk Semesta
Topik
Babad Giyanti: Makna & Aktualisasi


DI alam globalisasi di mana hubungan komunikasi dan pergaulan dunia seakan tanpa batas (borderless), jelas membuka peluang terjadinya proses akulturasi. Jika proses akulturasi akhirnya menghasilkan dominasi kebudayaan asing, berarti memusnahkan local genius. Ini tidak lain adalah pendangkalan budaya, yang tidak mustahil bermuara pada kehancuran budaya-budaya lokal, yang berakibat hilangnya jatidiri suatu bangsa atau etnik. Sebaliknya akulturasi yang membuahkan integrasi, tatkala budaya lokal mampu menyerap unsur-unsur budaya asing justru untuk memperkokoh budaya lokal, berarti menambah daya tahan serta mengembangkan identitas budaya masyarakat setempat.

Challenge & Response
Arnold Toynbee mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk me-response terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan menumbuhkan kreativitas masyarakat. Di era globalisasi sekarang ini, tantangan budaya yang dihadapi bangsa Indonesia sungguh teramat besar. Dan oleh karena itu, masyarakat pun harus memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan itu. Kemampuan ini hanya akan terbentuk apabila local genius dalam segenap tahap kehidupan –orientasi, persepsi, sikap dan cara hidup—ditumbuhkan dari dalam dan dimanifestasikan lewat tindakan.
Dulu, proses persentuhan budaya lokal dengan tradisi-tradisi besar dunia telah melahirkan keragaman budaya Nusantara. Persentuhan yang dinamik itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi –meminjam istilah Umar Kayam-- lahir dari suatu proses “tawar-menawar”. Dalam proses itu, kearifan tradisional pada budaya lokal sangat berperan dalam mendorong perubahan bagi terbentuknya keragaman budaya Nusantara.
Saling-silang budaya antarberbagai tradisi di Nusantara dengan anasir-anasir asing, justru akan membawa ke arah suatu perubahan yang dinamis. Hal itu dimungkinkan karena budaya lokal yang ada memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyaring apa yang pantas dan tidak, sebelum akhirnya dijadikan kerangka acuan. Pelajaran penting di balik proses terbentuknya keragaman budaya Nusantara itu adalah sikap kompromi budaya-budaya lokal yang sesungguhnya adalah resistensi budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita secara elegan.
Dalam konsep ini tercakup budaya yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya Clifford Geertz mempersepsi kebudayaan sebagai sites of criss-crossing travellers (1992). Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa pada pemahaman, bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayaan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan hibriditas identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh proses hibridasi.
Bagi kebudayaan, apa yang kini dikenal sebagai globalisasi bukanlah hal baru. Sejarah menunjukkan, di masa lampau globalisasi telah berulangkali melakukan persentuhan dengan budaya-budaya lokal di seluruh Nusantara. Hal serupa juga terjadi di masa kini, baik dalam percaturan budaya, politik dan ekonomi, hanya saja lingkup dan implikasinya jauh lebih luas dan kompleks. Dalam proses yang kini disebut globalisasi itulah manusia Indonesia tidak saja menjelajah ruang wilayahnya sendiri, tetapi juga memasuki dan berinteraksi aktif di tengah masyarakat dunia (Sri Sultan HB X, Strategi Kebudayaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat guna Penguatan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, 19/12/2005).
*****
LEBIH dua ratus lima puluh tahun usia Yogyakarta sepertinya tak membuat kota ini menjadi terlihat tua. Tetapi justru semakin tampak kaya akan pesona. Kota tua ini terus mencipta banyak konstruksi, yang mewujud dalam struktur harmoni antara yang modern dengan yang tradisional (Sri Sultan HB X, Pembukaan Jogja Gallery, 19/09/2006).

Yogya Untuk Semesta
Yang menarik adalah ilustrasi Revianto Budi Santosa, yang mengabstrasikan Yogyakarta sebagai semesta (Penguatan Jatidiri Daerah: Menuju DIY Tahun 2020, 12/12/2006). Begitulah negri ini diharapkan sebagaimana tersandang dalam namanya Ngayogyakarta Hadiningrat, tempat yang pantas dan prayoga yang menjadi suri keindahan semesta. Pendakuan sebagai negri yang bermatra semesta, berkonsekuensi Yogyakarta memberikan sumbangsih kepada dunia dan juga sekaligus menerima dunia dalam dirinya. Kerelaan untuk berbagi dan menerima paling tidak dalam ranah budaya akan memperkaya khasanah budaya Yogyakarta.
Untuk dapat membangun jalinan hubungan timbal-balik antara Yogya dan semesta, maka kita perlu memahami dengan baik jiwa dan peran yang disandang Yogyakarta. Dalam banyak kajian pemahaman tentang jiwa dan peran Yogyakarta selalu merujuk pada dua hal mendasar: aspek kesejarahan dan tradisi. Pemahaman kesejarahan dan tradisi itu mendudukkan awal pembentukan Yogyakarta sebagai masa yang sempurna yang telah memberikan landasan berbagai dimensi kebudayaan secara paripurna dengan tokoh sentral Pangeran Mangkubumi, yang tertera dalam Babad Giyanti dan Babad Mangkubumi.
*****
DALAM kaitan itu, Dewan Pendidikan dan Dewan Kebudayaan berprakarsa menggali dan merevitalisasi nilai-nilai “Budaya Yogya” dalam acara Dialog Budaya & Gelar Seni: “Yogya Untuk Semesta”. Atas perkenan Bapak Gubernur, Sri Sultan Hamengku Buwono X, acara ini akan diselenggarakan di Bangsal Kepatihan secara rutin 35 harian pada setiap hari Slasa-Wage sekaligus malam tasyakuran bertepatan dengan Tingalan Dalem Ngarsa Dalem.

Living Culture
Pada intinya acara ini adalah Dialog Budaya dengan mengambil berbagai topik bahasan yang berkait dengan “Budaya Yogya” dengan menghadirkan narasumber yang otentik dan didukung oleh media seni (seni tari, tembang, karawitan, musik tradisional, senirupa, teater dsb.) yang terkait dengan topik serta dikemas secara padat dengan gelaran lesehan. Kegiatan kebudayaan ini diharapkan membangkitkan inspirasi bagi tumbuhnya berbagai kegiatan serupa di masyarakat dengan beragam bentuk, sehingga memberikan citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya yang hidup dan menghidupi. Budaya itu hidup, karena memang menjadi bagian dari budaya masyarakat. Dan menghidupi, karena merupakan living culture yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Yogyakarta.

Sinergi Perdana
Kegiatan perdana akan di-launching oleh Sri Paduka Paku Alam IX, Wakil Gubernur DIY, pada hari Selasa, 17 April 2007 bakda magrib mulai jam 18.30 diawali dengan upacara selamatan yang didoakan oleh 12 orang Abdi Dalem Pamethakan dari Keraton Yogyakarta bersama 6 orang Abdi Dalem Pamethakan dari Pura Pakualaman.
Topik yang digelar adalah “Babad Giyanti: Makna dan Aktualisasi”, didahului dengan Gelar Seni tembang macapat yang dicuplik dari kandungan isi Babad Giyanti disertai iringan gamelan ringkes secara gadhon, disertai adegan Dialog Budaya antara Sinuwun PB II dengan Pangeran Mangkubumi (diperankan oleh aktor Kethoprak terkenal, Widayat), untuk kemudian dilanjutkan dengan Sarasehan Budaya yang mengundang sekitar 50-100 orang pakar dan pemerhati seni budaya, dengan mengikutsertakan banyak kalangan generasi muda agar menjadi budaya tutur-tinular. Kegiatan ini didukung penuh oleh Dinas Kebudayaan, Badan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Biro Umum Setwilda DIY, serta difasilitasi oleh BPD DIY, Partnership, Kabare dan JogjaTV (sebagai perluasan acara “Sabdatama”) serta Media lain.
Ada pun narasumber utama adalah Prof. Dr. Damardjati Supadjar (Pakar Filsafat & Budaya Jawa), dengan pembahas utama Ir. Yuwono Sri Suwito, MM (Ketua Dewan Kebudayaan DIY) dan Drs. Suwardi Endraswara, MS (Staf Pengajar FBS-UNY/Penulis buku Falsafah Hidup Jawa). Moderator: RM Dinusatomo, BA (Sentana Dalem) bersama Hari Dendi (Abdi Dalem), didukung oleh wiraswara/wati, seniman tari dan karawitan dari para siswa/mahasiswa dan lulusan SMKI dan ISI Yogyakarta. Kegiatan budaya ini akan diterbitkan dalam Buletin “Yogya Untuk Semesta” disertai tulisan singkat seputar “Budaya Yogya” yang terbit selapanan secara berkala dan didokumentasi dalam bentuk VCD oleh Partnership dari rekaman JogjaTV yang disiarkan lewat program “Hamemayu”.
Untuk melakukan langkah-langkah renaisans “Budaya Yogya”, ada baiknya kita mengingat puisi filsuf China, Cheng Yen: “Dimulai dari memahami satu langkah, perlahan-lahan engkau akan memahami seribu langkah. Setelah itu, engkau akan melihat jalan, dan akan diliputi rasa percaya diri.....”. Semoga menemukan jalan lurus-Nya menggelinding-membesar bagaikan bola salju.....sebuah ‘snow balling effects’. Insya’ Allah.


Yogyakarta, 9 April 2007

Penanggungjawab,



Hari Dendi


HB/hd.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan