Kebudayaan Yogyakarta dapat didefinisikan sebagai kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY berakarkan kebudayaan lama dana asli serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap, pemerkaya, dan penyempurna. Adapun aset budaya yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi budaya yang bersifat tangible (fisik) dan intangible (non fisik).
1. Kondisi Budaya Tangible (Fisik)
a. Kondisi Sejarah dan Kepurbakalaan
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi budaya fisik “Tangible Culture” terdiri dari Kawasan Cagar Budaya. Benda Cagar Budaya bergerak dan tidak bergerak, museum dan pusaka budaya lain (Saujana).
Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan dengan SK Gubernur 326/KPYS/1995 baru mencakup 7 Kawasan Cagar budaya (Kraton, Puro Pakualaman, Prambanan, Ambar Binangun, Ambar Ketawang dan Parangtritis serta Kotagede) sedangkan pada saat ini telah mencapai 13 Kawasan Cagar Budaya yang tersebar di 4 Kabupaten dan Kota terdiri dari 6 KCB di wilayah urban kota (Kraton, Tamansari, Puro Pakualaman, Kotabaru, Malioboro, Kotagede) 3 KCB di wilayah suburban (Prambanan, Ambar Ketawang, Ambar Binangun) dan 4 KCB di wilayah Rural (Parangtritis, Sukoliman, Plered, Imogiri).
Di DIY terdapat 78 kecamatan dengan jumlah potensi Benda Cagar Budaya yang dimiliki sebanyak 365 buah dengan rincian sebagai berikut : Kraton 4 buah, fasilitas Kraton 9, rumah adat 103, candi 76, bangunan kolonial 27, makam 27, megalitik 20, masjid 18, Pasanggrahan 14, goa prasejarah 11, goa sejarah 9, gereja 7, Bangunan Perjuangan 5, benteng 5, situs tanpa bangunan 3, Klenteng 2, situs kota 2, dan bangunan lainnya 33 buah.
Sebagian besar benda cagar budaya tidak memiliki “Buffer Space”. Buffer Space yaitu kebutuhan ruang minimal yang melingkupi situs dari benda cagar budaya berfungsi sebagai ruang pandang minimal pada site dan ruang pantau dari bahaya kebakaran maupun perusakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Di samping itu serta belum adanya pemanfaatan / tata ruang bagi pelestarian dan perlindungan serta ruang bagi aktifitas sosial budaya dan pariwisata masyarakat, pelestarian dan pengamanan aset-aset Kawasan Cagar Budaya yang terancam punah seperti misalnya Kawasan Plered yang merupakan situs kerajaan Mataram (Sultan Agung) dan mempunyai nilai sangat penting berkaitan dengan latar belakang keberadaan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Belum adanya buffer space dan kepadatan pemukiman di kawasan cagar budaya atau situs berakibat perubahan lahan dan penyerobotan tanah serta pengalihan fungsi lahan dan bangunan serta penggerusan/penempelan pada aset cagar budaya oleh pemukiman atau mendirikan bangunan rumah di atas artefak cagar budaya misalnya di atas puing-puing beteng alun-alun di kawasan Kotagede dan pada artefak Tamansari. Dengan tidak adanya buffer space juga berakibat tidak adanya ruang untuk mengamankan dan mengendalikan diri dari bahaya kebakaran, keruntuhan dan pengrusakan. Hal ini merupakan kondisi yang kontra produksi yang dapat merusak dan menghilangkan nilai keantikan dan keindahan dari aset pusaka budaya yang bernilai tinggi sehingga dalam kurun waktu 15 – 25 tahun yang akan datang akan terjadi kepunahan dan kehilangan aset penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan sosial budaya.
Hal tersebut di atas terjadi hampir di sebagian besar situs atau KCB namun kecuali Situs yang sudah tertangani dengan baik seperti Candi Prambanan, Candi Boko dan Kraton Yogyakarta.
b. Kondisi Keberadaan Permuseuman
Salah satu aset budaya adalah banyaknya potensi museum yang dimiliki DIY baik museum negeri maupun museum swasta sejumlah 30 buah museum yang terdiri Museum Benda Cagar Budaya dan kesenian, 7 Museum Pendidikan dan Ilmu Penegtahuan dan 9 Museum perjuangan, bila dikelompokkan terdiri dari museum umum 26 buah dan museum khusus 4 buah yang tersebar di lima Kabupaten / Kota. Keberadaan Museum tersebut adalah kota Yogyakarta 18 buah, Kabupaten Sleman 9 buah, Kabupaten Bantul 2, dan Kabupaten Gunung Kidul 1 buah dengan jumlah 6.152 koleksi yang sangat banyak terutama di Museum Sonobudoyo kurang lebih 42.589 dengan jumlah pengunjung mencapai 1.900.000 orang terdiri dari pelajar dan umum serta wisatawan manca negara.
Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan dengan SK Gubernur 326/KPYS/1995 baru mencakup 7 Kawasan Cagar budaya (Kraton, Puro Pakualaman, Prambanan, Ambar Binangun, Ambar Ketawang dan Parangtritis serta Kotagede) sedangkan pada saat ini telah mencapai 13 Kawasan Cagar Budaya yang tersebar di 4 Kabupaten dan Kota terdiri dari 6 KCB di wilayah urban kota (Kraton, Tamansari, Puro Pakualaman, Kotabaru, Malioboro, Kotagede) 3 KCB di wilayah suburban (Prambanan, Ambar Ketawang, Ambar Binangun) dan 4 KCB di wilayah Rural (Parangtritis, Sukoliman, Plered, Imogiri).
Di DIY terdapat 78 kecamatan dengan jumlah potensi Benda Cagar Budaya yang dimiliki sebanyak 365 buah dengan rincian sebagai berikut : Kraton 4 buah, fasilitas Kraton 9, rumah adat 103, candi 76, bangunan kolonial 27, makam 27, megalitik 20, masjid 18, Pasanggrahan 14, goa prasejarah 11, goa sejarah 9, gereja 7, Bangunan Perjuangan 5, benteng 5, situs tanpa bangunan 3, Klenteng 2, situs kota 2, dan bangunan lainnya 33 buah.
Sebagian besar benda cagar budaya tidak memiliki “Buffer Space”. Buffer Space yaitu kebutuhan ruang minimal yang melingkupi situs dari benda cagar budaya berfungsi sebagai ruang pandang minimal pada site dan ruang pantau dari bahaya kebakaran maupun perusakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Di samping itu serta belum adanya pemanfaatan / tata ruang bagi pelestarian dan perlindungan serta ruang bagi aktifitas sosial budaya dan pariwisata masyarakat, pelestarian dan pengamanan aset-aset Kawasan Cagar Budaya yang terancam punah seperti misalnya Kawasan Plered yang merupakan situs kerajaan Mataram (Sultan Agung) dan mempunyai nilai sangat penting berkaitan dengan latar belakang keberadaan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Belum adanya buffer space dan kepadatan pemukiman di kawasan cagar budaya atau situs berakibat perubahan lahan dan penyerobotan tanah serta pengalihan fungsi lahan dan bangunan serta penggerusan/penempelan pada aset cagar budaya oleh pemukiman atau mendirikan bangunan rumah di atas artefak cagar budaya misalnya di atas puing-puing beteng alun-alun di kawasan Kotagede dan pada artefak Tamansari. Dengan tidak adanya buffer space juga berakibat tidak adanya ruang untuk mengamankan dan mengendalikan diri dari bahaya kebakaran, keruntuhan dan pengrusakan. Hal ini merupakan kondisi yang kontra produksi yang dapat merusak dan menghilangkan nilai keantikan dan keindahan dari aset pusaka budaya yang bernilai tinggi sehingga dalam kurun waktu 15 – 25 tahun yang akan datang akan terjadi kepunahan dan kehilangan aset penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan sosial budaya.
Hal tersebut di atas terjadi hampir di sebagian besar situs atau KCB namun kecuali Situs yang sudah tertangani dengan baik seperti Candi Prambanan, Candi Boko dan Kraton Yogyakarta.
b. Kondisi Keberadaan Permuseuman
Salah satu aset budaya adalah banyaknya potensi museum yang dimiliki DIY baik museum negeri maupun museum swasta sejumlah 30 buah museum yang terdiri Museum Benda Cagar Budaya dan kesenian, 7 Museum Pendidikan dan Ilmu Penegtahuan dan 9 Museum perjuangan, bila dikelompokkan terdiri dari museum umum 26 buah dan museum khusus 4 buah yang tersebar di lima Kabupaten / Kota. Keberadaan Museum tersebut adalah kota Yogyakarta 18 buah, Kabupaten Sleman 9 buah, Kabupaten Bantul 2, dan Kabupaten Gunung Kidul 1 buah dengan jumlah 6.152 koleksi yang sangat banyak terutama di Museum Sonobudoyo kurang lebih 42.589 dengan jumlah pengunjung mencapai 1.900.000 orang terdiri dari pelajar dan umum serta wisatawan manca negara.
Dari keseluruhan jumlah museum tersebut yang banyak mengalami kendala adalah perawatan baik yang bersifat preventif maupun kuratif yang disebabkan banyaknya jumlah koleksi dalam berbagai jenis tidak sebanding dengan sarana dan prasarana laboratorium bengkel preparasi, tenaga ahli dan biaya.
Adapun sebagian dari Museum-Museum tersebut juga belum memenuhi standard kualiatas minimal baik dalam bentuk : Kelembagaan, produk dan jasa layanan, pelayanan, sistem pengelolaan, pola pemanduan, kualitas SDM, publikasi dan promosi (metode penjaringan pelanggan, metode penjualan), rendahnya tingkat diversifikasi usaha dan alternatif pengembangan jaringan serta kegiatan penunjang masih menjadi kendala yang hampir menyeluruh secara fisik kondisi tata pamer koleksi, pencahayaan ruang, tata sirkulasi udara dan sistem penghawaan ruang, tata eksterior, tata interior, tata lansekap, dan tampilan fisik visual lainnya yang kesemuanya dalam rangka layanan pada pengunjung yang akhirnya akan memberi kepuasan kepada pelanggan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
1. Kondisi Budaya Intangible (Non Fisik)
Di DIY terdapat potensi kesenian, bahasa dan sastra, nilai-nilai budaya dan tradisi dalam bentuk nilai budaya rakyat, permainan rakyat, upacara tradisional dan sistem budaya, sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, sistem religi dan pengetahuan, sistem teknologi tradisional serta lingkungan, dan hubungan antar budaya.
a. Kondisi Kesenian
Potensi budaya non fisik “intangible culture” Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi kesenian dalam berbagai jenis dan seni rupa, seni tari, seni musik, seni teater, film/dokumentasi baik bersifat modern dan seni tradisional, dari sisi jumlah organisasi dan group kesenian DIY sebanyak 2863 buah yang tersebar di empat kabupaten dan kota masing-masing, Kota Yogyakarta 451 organisasi, Kabupaten Bantul 558 organisasi, Kabupaten Sleman 505 organiasai, Kabupaten Kulon Progo 8458 organisasi dan Kabupaten Gunung Kidul 501 organisasi, dengan jenis kesenian lebih dari 46 jenis.
Sumber daya manusia di bidang pelestarian kesenian baik yang bersifat modern, tradisional hampir mengalami stagnasi dalam kreatifitas yang disebabkan kurangnya apresiasi dan manajemen pasca kreasi, termasuk rendahnya tingkat regenerasi.
b. Kondisi Adat dan Tradisi
Upacara adat sebagai salah satu kegiatan budaya masih dilakukan oleh masyarakat dengan jumlah di kota Yogyakarta 5 upacara adat, kabupaten Sleman terdapat 11 upacara adat pada 9 kecamatan, Kabupaten Bantul terdapat 24 upacara adat pada 14 kecamatan, Kabupaten Kulon progo terdapat 10 upacara adat pada 6 Kecamatan, Kabupaten Gunung Kidul 16 upacara adat pada 9 kecamatan.
Potensi Upacara Adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat, apabila tidak dikelola atau didukung dengan adanya pengelola yang mempunyai manajemen yang baik akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.
c. Bahasa dan Sastra
Yogyakarta merupakan pusat bahasa dan sastra jawa yang meliputi bahasa (parama sastra, ragam bahasa, bausastra, dialek, sengkalan dan lain-lain) serta lisan dalam bentuk (dongeng, japamantra, pawukon dll.) dan Aksara Jawa.
Potensi tersebut di atas apabila tidak mendapat penanganan / manajemen yang baik lama kelamaan akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas seperti berkurangnya jumlah penutur bahasa dan media berbahasa dan Sastra Jawa.
2. Prasarana Budaya
Prasarana budaya sebagai penunjang terhadap kelestarian dan pengembangan kreatifitas seniman telah ada sebanyak 130 buah dalam berbagai bentuk (panggung, pendopo, ruang pamer, ruang pertunjukan, studio musik balai desa, auditorium, sanggar, lapangan) sedangkan pusat-pusat pelestarian budaya tradisional yang disebut desa budaya di Propinsi DIY terdapat kurang lebih 60 desa budaya dan 22 desa wisata dengan potensi baik fisik maupun non fisiknya.
Potensi prasarana budaya tersebut belum merupakan jumlah ideal dengan potensi kesenian dan adat tradisi yang ada. Dalam segi kualitas pun belum ada yang mempunyai standard minimal internasional.
d. Lembaga Budaya
Untuk mengembangkan potensi tersebut di atas tidak bisa lepas dari peran lembaga-lembaga budaya yang cukup banyak di DIY yang berjumlah 178 lembaga terdiri dari yayasan, organisasi, lembaga pendidikan, instansi pemerintah (Kota Yogyakarta 90 lembaga, Kabupaten Sleman 44 lembaga, Kabupaten Gunung Kidul 4 lembaga, dan Kabupaten Kulon progo 1 lembaga) serta organisasi penghayat kepercayaan yang melestarikan nilai budaya daerah sebanyak 84 organisasi yang tersebar di 4 Kabupaten / Kota.
Potensi lembaga budaya belum menjadi suatu jaringan kerja (networking) yang mampu mengorganisasikan dan memanajemeni seluruh aktifitas budaya di DIY.
Di DIY terdapat potensi kesenian, bahasa dan sastra, nilai-nilai budaya dan tradisi dalam bentuk nilai budaya rakyat, permainan rakyat, upacara tradisional dan sistem budaya, sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, sistem religi dan pengetahuan, sistem teknologi tradisional serta lingkungan, dan hubungan antar budaya.
a. Kondisi Kesenian
Potensi budaya non fisik “intangible culture” Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi kesenian dalam berbagai jenis dan seni rupa, seni tari, seni musik, seni teater, film/dokumentasi baik bersifat modern dan seni tradisional, dari sisi jumlah organisasi dan group kesenian DIY sebanyak 2863 buah yang tersebar di empat kabupaten dan kota masing-masing, Kota Yogyakarta 451 organisasi, Kabupaten Bantul 558 organisasi, Kabupaten Sleman 505 organiasai, Kabupaten Kulon Progo 8458 organisasi dan Kabupaten Gunung Kidul 501 organisasi, dengan jenis kesenian lebih dari 46 jenis.
Sumber daya manusia di bidang pelestarian kesenian baik yang bersifat modern, tradisional hampir mengalami stagnasi dalam kreatifitas yang disebabkan kurangnya apresiasi dan manajemen pasca kreasi, termasuk rendahnya tingkat regenerasi.
b. Kondisi Adat dan Tradisi
Upacara adat sebagai salah satu kegiatan budaya masih dilakukan oleh masyarakat dengan jumlah di kota Yogyakarta 5 upacara adat, kabupaten Sleman terdapat 11 upacara adat pada 9 kecamatan, Kabupaten Bantul terdapat 24 upacara adat pada 14 kecamatan, Kabupaten Kulon progo terdapat 10 upacara adat pada 6 Kecamatan, Kabupaten Gunung Kidul 16 upacara adat pada 9 kecamatan.
Potensi Upacara Adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat, apabila tidak dikelola atau didukung dengan adanya pengelola yang mempunyai manajemen yang baik akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.
c. Bahasa dan Sastra
Yogyakarta merupakan pusat bahasa dan sastra jawa yang meliputi bahasa (parama sastra, ragam bahasa, bausastra, dialek, sengkalan dan lain-lain) serta lisan dalam bentuk (dongeng, japamantra, pawukon dll.) dan Aksara Jawa.
Potensi tersebut di atas apabila tidak mendapat penanganan / manajemen yang baik lama kelamaan akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas seperti berkurangnya jumlah penutur bahasa dan media berbahasa dan Sastra Jawa.
2. Prasarana Budaya
Prasarana budaya sebagai penunjang terhadap kelestarian dan pengembangan kreatifitas seniman telah ada sebanyak 130 buah dalam berbagai bentuk (panggung, pendopo, ruang pamer, ruang pertunjukan, studio musik balai desa, auditorium, sanggar, lapangan) sedangkan pusat-pusat pelestarian budaya tradisional yang disebut desa budaya di Propinsi DIY terdapat kurang lebih 60 desa budaya dan 22 desa wisata dengan potensi baik fisik maupun non fisiknya.
Potensi prasarana budaya tersebut belum merupakan jumlah ideal dengan potensi kesenian dan adat tradisi yang ada. Dalam segi kualitas pun belum ada yang mempunyai standard minimal internasional.
d. Lembaga Budaya
Untuk mengembangkan potensi tersebut di atas tidak bisa lepas dari peran lembaga-lembaga budaya yang cukup banyak di DIY yang berjumlah 178 lembaga terdiri dari yayasan, organisasi, lembaga pendidikan, instansi pemerintah (Kota Yogyakarta 90 lembaga, Kabupaten Sleman 44 lembaga, Kabupaten Gunung Kidul 4 lembaga, dan Kabupaten Kulon progo 1 lembaga) serta organisasi penghayat kepercayaan yang melestarikan nilai budaya daerah sebanyak 84 organisasi yang tersebar di 4 Kabupaten / Kota.
Potensi lembaga budaya belum menjadi suatu jaringan kerja (networking) yang mampu mengorganisasikan dan memanajemeni seluruh aktifitas budaya di DIY.
No comments:
Post a Comment