Topik:
“Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi:
Semangat Nasionalisme Indonesia Masakini”
PADA Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-1 dalam Babad Giyanti, tertangkap ucapan Pangeran Mangkubumi: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni taker pati, pecahing dada wutahing ludira” dalam dialognya dengan Sri Susuhunan Paku Buwono II. Ungkapan tersebut sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa kehormatan atau harga diri dan tanah (air) bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membelanya dengan taruhan nyawa. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walaupun luasnya hanya selebar satu jari tangan pun.
TriSakti Jiwa Proklamasi
Khusus dalam topik ini yang dituju adalah aktualisasinya pada semangat
nasionalisme masa kini. Sesungguhnya semangat nasionalisme itu pernah dicanangkan oleh Bung Karno dan terpaterikan dalam “TriSakti Jiwa Proklamasi”: “Berdaulat di bidang Politik, Berdikari di bidang Ekonomi dan Berkepribadian di bidang Budaya”. Ungkapan ini juga bisa kita telaah sumbernya dari Serat Tripama tentang “Tiga Keteladanan Prajurit”, yang maknanya juga diserap dalam doktrin ABRI/TNI. Pertanyaannya adalah apakah pesan Mangkunegara IV itu masih relevan di zaman globalisasi saat ini, di mana tantangannya sudah jauh berbeda?
*****
LALU, apa yang bisa dipetik dari Serat Tripama itu?
Patih Suwanda: Demi Negara & Bangsa
Dalam keteladanan pertama yang dipersonifikasikan oleh Patih Sauwanda, terkandung makna bahwa seorang prajurit haruslah memiliki tiga hal, yaitu guna, kaya, dan purun. Ketiga hal ini tidak boleh tidak harus melekat pada jiwa seorang prajurit. Putri cantik dan harta rampasan perang hanyalah simbol dari gemerlapnya dunia yang menjadi batu ujian yang bisa melunturkan sikap teguh seorang prajurit.
Namun, itu semua tidaklah membelokkan pengabdian Sang Mahapatih untuk korup dengan menguasai sebagian harta itu misalnya. Ia tetap pada pendiriannya: semua hanyademi bangsa dan negara. Ia tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi yang berada dalam genggamannya. Ia tidak pernah berpikir berjuang hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongannya.
Sifat Suwanda ini kiranya dapat disamakan dengan para pahlawan kemerdekaan yang waktu itu mempertahankan kemerdekaan. Dalam tekadnya hanya satu: Bagaimana membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Apakah ini masih menjadi sifat para penyelenggara negara di era globalisasi saat ini?
Kumbakarna: Cinta Tanah Air
Keteladanan kedua direpresentasikan oleh tokoh Kumbakarna, seorang prajurit yang berwajah raksasa tetapi berhati ksatria, yang hidup di tengah-tengah negara yang dipimpin oleh seorang dikatator yang angkara murka. Keangkaramurkaan ini diekspresikan dalam wajah Dasamuka yang artinya ‘sepuluh muka’, yang mensimbolkan aneka sifat-sifat jahat. Kumbakarna adalah sosok ksatria yang hidup di tengah-tengah kejahatan yang disebabkan oleh ulah pimpinannya.
Sifat ksatria ini tampak ketika Kumbakarna harus mempertahankan bangsa dan negara yang sedang diserang “musuh”. Ia adalah sosok yang berjiwa nasional yang tinggi, karena ia memiliki pendapat bahwa right or wrong is my country. Selain berjiwa ksatria, ia juga figur yang patut diteladani dalam hal bela negara. Ia adalah pahlawan di tengah keangkaramurkaan.
Adipati Karna: Keteguhan Hati
Keteladanan yang ketiga: bahwa seorang ksatria harus tahu membalas budi, bahkan kalau perlu dibawa sampai mati. Tokoh ini juga merupakan simbol keteguhan hati, karena jika tidak, seseorang akan menjadi prajurit yang lemah, dan mudah dibujuk oleh godaan berupa kenikmatan duniawi yang mengakibatkan terjerumus ke perbuatan hina. Ketika itu Adipati Karna dibujuk agar berpihak kepada Pandawa karena ia saudara kandung Pandawa. Namun, Karna tetap beriman kuat dan lebih memilih menjadi benteng dari negara yang telah membesarkannya. Akhirnya, ia menjadi pahlawan bagi bangsa Kurawa yang dipimpin pula oleh seorang yang berjiwa jahat dan serakah. Seperti halnya Kumbakarna, ia adalah mutiara di tengah lumpur kejahatan yang menjadi sifat dari hampir semua warga negara Astina.
*****
NASIONALISME per definisi seringkali dikonotasikan dengan aspek-aspek emosional, kolektif, idola dan sarat memori historis, seperti seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, senasib. Faktor memori historis adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan rasa-perasaan “bersatu” dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.
Nasionalisme Indonesia
Menurut Ernest Renan, seorang teoretikus Perancis, dalam esai terkenalnya: “What is a Nation?” menyebutkan, bahwa nasion adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sementara menurut Benedict Anderson, nasion didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang” (an imagined political community). Nasion pada awalnya lebih dalam bentuk imajinasi pikiran belaka. Namun, nasion kemudian terbayangkan sebagai komunitas, dan diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam (deep horizontal comradeship) [1].
Dalam semangat inilah, nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Di sini, nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh ketertindasan kolonialisme, dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia saat itu tergolong nasionalisme yang diciptakan (invented).
Seperti ditulis Eriksen dalam bukunya: “Ethnicity and Nationalism”, bangsa adalah sebuah komunitas yang diharapkan terintegrasi dalam hal budaya dan identitas diri secara abstrak dan anonim. Semasa Bung Karno, semangat nasionalisme berhasil dijaga dan ditanamkan, sehingga merasuk ke darah daging setiap orang Indonesia, tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal.
Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan HB IX, tidak pernah menonjolkan identitas etnisnya. Bung Karno hampir tidak pernah menyatakan dirinya orang Jawa, tidak banyak menggunakan bahasa Jawa, tidak pula menonjolkan budaya Jawa-nya.
Demikian pula Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX serta pemimpin lainnya. Kedua, kehidupan pemimpin yang tak terlalu jauh di atas kehidupan rakyat dalam kemewahan.
Revitalisasi Nasionalisme Indonesia
Bagaimanakah nasionalisme kita sekarang? Di era reformasi dan otonomi ini makna nasionalisme justru terasa kabur --untuk tidak mengatakan sama sekali tidak dimengerti. Bahkan sebagai akumulasi dari sejarah perkembangan nasionalisme itu sendiri, nasionalisme tak jarang disebut-sebut sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan zaman.
Kalau kita mau belajar dari masa lalu, kita pernah memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang dan di awal kemerdekaan. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh bersama (common enemy), penjajahan. Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh. Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Ketiga, karena kedua hal di atas bangsa ini menjadi merasa senasib seperjuangan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi terasa selalu diinjak-injak dan tak dihargai sama sekali. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing untuk berjuang mengubah nasib bersama.
Saat ini kita sebenarnya masih memiliki ketiga hal itu. Pertama, yang dapat
dijadikan musuh bersama bangsa ini dan masih sangat garang mencengkeram kita, berupa KKN, kebodohan dan kemiskinan. Musuh yang ini bukanlah sesuatu yang ringan dan sebenarnya itulah musuh bangsa ini yang sesungguhnya. Kedua, kemakmuran bangsa ini merupakan tujuan bersama yang masih terus harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Kita sebenarnya juga masih senasib berada di bawah cengkeraman bangsa asing berupa lilitan utang dan pengaruh asing yang tersembunyi tanpa mampu berbuat banyak [2].
*****
APA yang diteladankan oleh para founding fathers sungguh sesuatu yang langka yang tidak bisa kita dapati sekarang ini, di mana kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau partai lebih dikedepankan ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Meminjam kata-kata Anhar Gonggong, “Tak ada lagi sosok bangsa yang berkeinginan untuk berjuang agar mampu ‘melampaui dirinya’, dalam pengertian ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga melakukan pergumulan untuk orang lain” [3]. Sekarang ini, orang cenderung melakukan sesuatu hanya demi kepentingan sesaat. Ketika mendapatkan kesempatan lain, maka ia akan mengambilnya, karena situasilah yang mendorong ia melakukannya. Hal ini menunjukkan, betapa kepentingan jangka pendek selalu menjadi dasar bertindak yang paling penting, seakan kita sudah kehilangan orientasi nilai.
Jalan keluar yang harus ditempuh, mau tidak mau kita harus berdialog lebih jauh untuk melakukan semacam introspeksi diri dan evaluasi tentang nasionalisme kita, dan tentang apa yang kita inginkan demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang ini, lebih dari saat-saat yang lain, Negara membutuhkan Pemimpin yang Bersih, Jujur, Visioner, Bermartabat, Merakyat, Berwawasan Kebangsaan, Memiliki Keteladanan dan Pemimpin yang selalu berbicara dengan data, dan bertindak dengan rencana, hanya demi sebesar-besar kesejahteraan Rakyat belaka.
*****
SEMANGAT nasionalisme yang juga bersumber dari Serat Tripama dan terungkap dalam kata-kata mutiara: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni taker pati, pecahing dada wutahing ludira” itu aktualisasinya di masakini akan dibahas oleh tiga pembicara, yaitu Prof. Dr. Safri Sairin, MA, Dr. PM Laksono dan Drs. KRT Harsadiningrat, dalam perspektif yang berbeda sesuai disiplin ilmu dan pengalaman masing-masing.
Dialog Budaya itu didukung dengan Gelar Seni Ringkes arahan seniman muda Bondan Nusantara dibantu seniman lulusan ISI, Drs. Sumaryono, MA dan Drs. Sunardi, yang akan diperankan oleh aktor kethoprak terkenal Widayat dan Wahono dalam dialog imajiner antarzaman antara ketiga sosok ksatria Suwanda, Kumbakarna, Karna dan Sri Sultan HB IX dalam setting dialog dengan Jenderal Meyer.
Pada pasca SO 1 Maret, pada 3 Maret 1949 [4], ketika Jenderal Meyer akan memaksa memeriksa dan menduduki keraton yang dianggap sarang kaum “ektremis”, Sri Sultan HB IX berucap dengan tegas: “Silakan masuk Keraton, tapi langkahi dulu mayat saya” [5]. Adegan ini diselingi pesan dan petuah Sri Sultan HB IX melalui narasi Ki Dalang kepada dua orang generasi muda yang berbeda karakter, yang diwakili oleh sosok “Lesmana Mandrakumara” dan “Gathutkaca”, yang akan digelar di Bangsal Kepatihan pada Selasa, 22 Mei 2007 mulai jam 19.00.
Dipandu dua moderator, Ir Condroyono, MSP dan Hari Dendi dilakukan
dialog lintas pelaku dengan tokoh-tokoh imajiner tersebut, sehingga Dialog Budaya & Gelar Seni luluh menyatu dalam satu pergelaran yang utuh dan terpadu, sehingga lebih mudah dicerna dan diingat. Sebelumnya moderator mohon arahan tentang makna Serat Tripama (pada lampiran) kepada Sri Sultan HB X dan/Sri Paduka PA IX sebagai penanda diawalinya Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-2 ini.
Ketika rasa kebersamaan sebagai satu bangsa menyusut, suatu saat tidak ada lagi sebuah nasion yang bernama Indonesia. Pada saat itu mungkin kita akan menuduh dan menyalahkan bangsa lain yang telah mengaduk-aduk separatisme di Indonesia tanpa melihat kelemahan dalam diri sendiri, maka:
Bergerak dan teruslah bergerak ...
Agar Merah Putih terwariskan tanpa terkoyak
Agar kejayaan Sriwijaya dan Majapahit dapat kembali bangkit
Agar sejarah tak mencatat kita ....
Generasi yang mewariskan Kebangsaan yang Terpuruk!
Yogyakarta, 14 Mei 2007
Penangungjawab,
Hari Dendi
Serat Tripama Dening: KGPA Mangkunagara IV - Dandanggula:
1. Yogyanira kang para prajurit“Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi:
Semangat Nasionalisme Indonesia Masakini”
PADA Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-1 dalam Babad Giyanti, tertangkap ucapan Pangeran Mangkubumi: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni taker pati, pecahing dada wutahing ludira” dalam dialognya dengan Sri Susuhunan Paku Buwono II. Ungkapan tersebut sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa kehormatan atau harga diri dan tanah (air) bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membelanya dengan taruhan nyawa. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walaupun luasnya hanya selebar satu jari tangan pun.
TriSakti Jiwa Proklamasi
Khusus dalam topik ini yang dituju adalah aktualisasinya pada semangat
nasionalisme masa kini. Sesungguhnya semangat nasionalisme itu pernah dicanangkan oleh Bung Karno dan terpaterikan dalam “TriSakti Jiwa Proklamasi”: “Berdaulat di bidang Politik, Berdikari di bidang Ekonomi dan Berkepribadian di bidang Budaya”. Ungkapan ini juga bisa kita telaah sumbernya dari Serat Tripama tentang “Tiga Keteladanan Prajurit”, yang maknanya juga diserap dalam doktrin ABRI/TNI. Pertanyaannya adalah apakah pesan Mangkunegara IV itu masih relevan di zaman globalisasi saat ini, di mana tantangannya sudah jauh berbeda?
*****
LALU, apa yang bisa dipetik dari Serat Tripama itu?
Patih Suwanda: Demi Negara & Bangsa
Dalam keteladanan pertama yang dipersonifikasikan oleh Patih Sauwanda, terkandung makna bahwa seorang prajurit haruslah memiliki tiga hal, yaitu guna, kaya, dan purun. Ketiga hal ini tidak boleh tidak harus melekat pada jiwa seorang prajurit. Putri cantik dan harta rampasan perang hanyalah simbol dari gemerlapnya dunia yang menjadi batu ujian yang bisa melunturkan sikap teguh seorang prajurit.
Namun, itu semua tidaklah membelokkan pengabdian Sang Mahapatih untuk korup dengan menguasai sebagian harta itu misalnya. Ia tetap pada pendiriannya: semua hanyademi bangsa dan negara. Ia tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi yang berada dalam genggamannya. Ia tidak pernah berpikir berjuang hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongannya.
Sifat Suwanda ini kiranya dapat disamakan dengan para pahlawan kemerdekaan yang waktu itu mempertahankan kemerdekaan. Dalam tekadnya hanya satu: Bagaimana membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Apakah ini masih menjadi sifat para penyelenggara negara di era globalisasi saat ini?
Kumbakarna: Cinta Tanah Air
Keteladanan kedua direpresentasikan oleh tokoh Kumbakarna, seorang prajurit yang berwajah raksasa tetapi berhati ksatria, yang hidup di tengah-tengah negara yang dipimpin oleh seorang dikatator yang angkara murka. Keangkaramurkaan ini diekspresikan dalam wajah Dasamuka yang artinya ‘sepuluh muka’, yang mensimbolkan aneka sifat-sifat jahat. Kumbakarna adalah sosok ksatria yang hidup di tengah-tengah kejahatan yang disebabkan oleh ulah pimpinannya.
Sifat ksatria ini tampak ketika Kumbakarna harus mempertahankan bangsa dan negara yang sedang diserang “musuh”. Ia adalah sosok yang berjiwa nasional yang tinggi, karena ia memiliki pendapat bahwa right or wrong is my country. Selain berjiwa ksatria, ia juga figur yang patut diteladani dalam hal bela negara. Ia adalah pahlawan di tengah keangkaramurkaan.
Adipati Karna: Keteguhan Hati
Keteladanan yang ketiga: bahwa seorang ksatria harus tahu membalas budi, bahkan kalau perlu dibawa sampai mati. Tokoh ini juga merupakan simbol keteguhan hati, karena jika tidak, seseorang akan menjadi prajurit yang lemah, dan mudah dibujuk oleh godaan berupa kenikmatan duniawi yang mengakibatkan terjerumus ke perbuatan hina. Ketika itu Adipati Karna dibujuk agar berpihak kepada Pandawa karena ia saudara kandung Pandawa. Namun, Karna tetap beriman kuat dan lebih memilih menjadi benteng dari negara yang telah membesarkannya. Akhirnya, ia menjadi pahlawan bagi bangsa Kurawa yang dipimpin pula oleh seorang yang berjiwa jahat dan serakah. Seperti halnya Kumbakarna, ia adalah mutiara di tengah lumpur kejahatan yang menjadi sifat dari hampir semua warga negara Astina.
*****
NASIONALISME per definisi seringkali dikonotasikan dengan aspek-aspek emosional, kolektif, idola dan sarat memori historis, seperti seperasaan, sepenanggungan, seperantauan, senasib. Faktor memori historis adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan rasa-perasaan “bersatu” dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.
Nasionalisme Indonesia
Menurut Ernest Renan, seorang teoretikus Perancis, dalam esai terkenalnya: “What is a Nation?” menyebutkan, bahwa nasion adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sementara menurut Benedict Anderson, nasion didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang” (an imagined political community). Nasion pada awalnya lebih dalam bentuk imajinasi pikiran belaka. Namun, nasion kemudian terbayangkan sebagai komunitas, dan diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam (deep horizontal comradeship) [1].
Dalam semangat inilah, nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Di sini, nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh ketertindasan kolonialisme, dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia saat itu tergolong nasionalisme yang diciptakan (invented).
Seperti ditulis Eriksen dalam bukunya: “Ethnicity and Nationalism”, bangsa adalah sebuah komunitas yang diharapkan terintegrasi dalam hal budaya dan identitas diri secara abstrak dan anonim. Semasa Bung Karno, semangat nasionalisme berhasil dijaga dan ditanamkan, sehingga merasuk ke darah daging setiap orang Indonesia, tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal.
Pertama, Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan HB IX, tidak pernah menonjolkan identitas etnisnya. Bung Karno hampir tidak pernah menyatakan dirinya orang Jawa, tidak banyak menggunakan bahasa Jawa, tidak pula menonjolkan budaya Jawa-nya.
Demikian pula Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX serta pemimpin lainnya. Kedua, kehidupan pemimpin yang tak terlalu jauh di atas kehidupan rakyat dalam kemewahan.
Revitalisasi Nasionalisme Indonesia
Bagaimanakah nasionalisme kita sekarang? Di era reformasi dan otonomi ini makna nasionalisme justru terasa kabur --untuk tidak mengatakan sama sekali tidak dimengerti. Bahkan sebagai akumulasi dari sejarah perkembangan nasionalisme itu sendiri, nasionalisme tak jarang disebut-sebut sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan zaman.
Kalau kita mau belajar dari masa lalu, kita pernah memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang dan di awal kemerdekaan. Bisa jadi, hal ini disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh bersama (common enemy), penjajahan. Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh. Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Ketiga, karena kedua hal di atas bangsa ini menjadi merasa senasib seperjuangan, semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi terasa selalu diinjak-injak dan tak dihargai sama sekali. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing untuk berjuang mengubah nasib bersama.
Saat ini kita sebenarnya masih memiliki ketiga hal itu. Pertama, yang dapat
dijadikan musuh bersama bangsa ini dan masih sangat garang mencengkeram kita, berupa KKN, kebodohan dan kemiskinan. Musuh yang ini bukanlah sesuatu yang ringan dan sebenarnya itulah musuh bangsa ini yang sesungguhnya. Kedua, kemakmuran bangsa ini merupakan tujuan bersama yang masih terus harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Kita sebenarnya juga masih senasib berada di bawah cengkeraman bangsa asing berupa lilitan utang dan pengaruh asing yang tersembunyi tanpa mampu berbuat banyak [2].
*****
APA yang diteladankan oleh para founding fathers sungguh sesuatu yang langka yang tidak bisa kita dapati sekarang ini, di mana kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau partai lebih dikedepankan ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Meminjam kata-kata Anhar Gonggong, “Tak ada lagi sosok bangsa yang berkeinginan untuk berjuang agar mampu ‘melampaui dirinya’, dalam pengertian ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga melakukan pergumulan untuk orang lain” [3]. Sekarang ini, orang cenderung melakukan sesuatu hanya demi kepentingan sesaat. Ketika mendapatkan kesempatan lain, maka ia akan mengambilnya, karena situasilah yang mendorong ia melakukannya. Hal ini menunjukkan, betapa kepentingan jangka pendek selalu menjadi dasar bertindak yang paling penting, seakan kita sudah kehilangan orientasi nilai.
Jalan keluar yang harus ditempuh, mau tidak mau kita harus berdialog lebih jauh untuk melakukan semacam introspeksi diri dan evaluasi tentang nasionalisme kita, dan tentang apa yang kita inginkan demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang ini, lebih dari saat-saat yang lain, Negara membutuhkan Pemimpin yang Bersih, Jujur, Visioner, Bermartabat, Merakyat, Berwawasan Kebangsaan, Memiliki Keteladanan dan Pemimpin yang selalu berbicara dengan data, dan bertindak dengan rencana, hanya demi sebesar-besar kesejahteraan Rakyat belaka.
*****
SEMANGAT nasionalisme yang juga bersumber dari Serat Tripama dan terungkap dalam kata-kata mutiara: “Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni taker pati, pecahing dada wutahing ludira” itu aktualisasinya di masakini akan dibahas oleh tiga pembicara, yaitu Prof. Dr. Safri Sairin, MA, Dr. PM Laksono dan Drs. KRT Harsadiningrat, dalam perspektif yang berbeda sesuai disiplin ilmu dan pengalaman masing-masing.
Dialog Budaya itu didukung dengan Gelar Seni Ringkes arahan seniman muda Bondan Nusantara dibantu seniman lulusan ISI, Drs. Sumaryono, MA dan Drs. Sunardi, yang akan diperankan oleh aktor kethoprak terkenal Widayat dan Wahono dalam dialog imajiner antarzaman antara ketiga sosok ksatria Suwanda, Kumbakarna, Karna dan Sri Sultan HB IX dalam setting dialog dengan Jenderal Meyer.
Pada pasca SO 1 Maret, pada 3 Maret 1949 [4], ketika Jenderal Meyer akan memaksa memeriksa dan menduduki keraton yang dianggap sarang kaum “ektremis”, Sri Sultan HB IX berucap dengan tegas: “Silakan masuk Keraton, tapi langkahi dulu mayat saya” [5]. Adegan ini diselingi pesan dan petuah Sri Sultan HB IX melalui narasi Ki Dalang kepada dua orang generasi muda yang berbeda karakter, yang diwakili oleh sosok “Lesmana Mandrakumara” dan “Gathutkaca”, yang akan digelar di Bangsal Kepatihan pada Selasa, 22 Mei 2007 mulai jam 19.00.
Dipandu dua moderator, Ir Condroyono, MSP dan Hari Dendi dilakukan
dialog lintas pelaku dengan tokoh-tokoh imajiner tersebut, sehingga Dialog Budaya & Gelar Seni luluh menyatu dalam satu pergelaran yang utuh dan terpadu, sehingga lebih mudah dicerna dan diingat. Sebelumnya moderator mohon arahan tentang makna Serat Tripama (pada lampiran) kepada Sri Sultan HB X dan/Sri Paduka PA IX sebagai penanda diawalinya Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-2 ini.
Ketika rasa kebersamaan sebagai satu bangsa menyusut, suatu saat tidak ada lagi sebuah nasion yang bernama Indonesia. Pada saat itu mungkin kita akan menuduh dan menyalahkan bangsa lain yang telah mengaduk-aduk separatisme di Indonesia tanpa melihat kelemahan dalam diri sendiri, maka:
Bergerak dan teruslah bergerak ...
Agar Merah Putih terwariskan tanpa terkoyak
Agar kejayaan Sriwijaya dan Majapahit dapat kembali bangkit
Agar sejarah tak mencatat kita ....
Generasi yang mewariskan Kebangsaan yang Terpuruk!
Yogyakarta, 14 Mei 2007
Penangungjawab,
Hari Dendi
Serat Tripama Dening: KGPA Mangkunagara IV - Dandanggula:
lamun bisa sira anulada
duk ing uni caritane
andelira Sang Prabu
Sasrabau ing Maespati
aran patih Suwanda
lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama.
2. Lire lelabuhan tri prekawis
guna bisa saniskareng karya
binudi daya unggule
kaya sayektinipun
duk mbantu prang Manggada nagri
amboyong putri domas
katur ratunipun
purune sampun tetela
aprang tanding lan ditya Ngalengka Aji
Suwanda mati ngrana.
3. Wonten malih tuladan prayogi
satriya dung nagri ing Ngalengka
Sang Kumbakarna arane
tur iku warna diyu
suprandene nggayuh utami
duk wiwit prang ngalengka
denya darbe atur
mring raka amrih ing raharja
Dasamuka tan keguh ing atur yekti
de mung mungsuh wanara.
4. Kumbakarna kinen mangsah jurit
mring kang raka sira tan nglenggana
nglungguhi kasatriyane
ing tekad datan sujud
amung nyipta yayah rena
myang leluhuripun
wus mukti aneng Ngalengka
mangke arsa rinusak ing bala kapi
pun ugi mati ngrana.
5. Wonten malih kinarya palupi
Suryaputra Narpati Ngawangga
lan Pandawa tur kadange
len yayah tunggil ibu
suwita mring Sang Kurupati
aneng nagri Ngastina
kinarya agul-agul
manggala golonganing prang
branta yuda ingadegken senapati
ngalaga ing Korawa.
6. Den mungsuhken kadange pribadi
aprang tanding
lan Sang Dananjaya
Sri Karna suka manahe
de gonira pikantuk
marga denya arsa males sih
ira Sang Duryudana
marmanta kalangkung
denya ngetog kasudiran
aprang rame karna mati jinemparing
sumbaga wira tama.
7. Katri mangka sudarseneng Jawi
pantes sagung kang para prawira
amirita sakadareing lelabuhanipun,
aywa kongsi buang palupi
menawa esthinipun
sanajan tekading buta
tan prabeda budi panduming dumadi
marsudi ing kotaman.
[1] Daniel Dhakidae, ”Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa Sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang”, Kata Pengantar: “Komunitas-Komunitas Terbayang”, Benedict Anderson, Insist Press & Pustaka Pelajar, Jakarta, Edisi II, 2002.
[2] Sri Sultan HB X, “Revitalisasi Nasionalisme Indonesia, Tinjauan Budaya”, Jakarta, 28 Juni 2004.
[3] Kompas, “Indonesia Harus Dibangun Berlandaskan Nilai dan Budaya”, 9 Januari 2004.
[4] Mohamad Roem dkk., “Tahta Untuk Rakyat : Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX”, PT Gramedia, Jakarta, 1982.
[5] Sebuah Presentasi Majalah TEMPO, ”Sri Sultan: Hari-Hari Hamengku Buwono IX ”,
PT Temprint, Jakarta, 1988.
No comments:
Post a Comment