Apresiasi masyarakat Internasional terhadap Jogja yang tinggi menjadikan DIY sebagai pusat pariwisata kedua setelah Bali. Seorang mahasiswa Australia yang sedang belajar di Yogyakarta menyatakan bahwa dirinya menikmati harmoninya kota Yogyakarta. Kemudian seorang pemuda Timor Timur yang juga berstatus sebagai mahasiswa Australia juga sangat memuji wibawa Kesultanan Yogyakarta. Ada juga negarawan asing yang menjuluki Jogja adalah kota yesterday, today, and tomorrow. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya orang asing yang mau tinggal baik sementara ataupun menetap di Yogyakarta, baik itu orang Asia maupun non Asia.
Ketika masyarakat Yogyakarta bersiap-siap menyongsong era DIY sebagai pusat pendidikan, pusat kebudayaan, dan daerah wisata terkemuka di dunia, ternyata telah didahului oleh alam yang sedang menata kembali kerajaannya pada 27 Mei 2006. Pada awalnya memang terasa berat, karena gempa bumi 27 Mei 2006 terbukti melemahkan perekonomian rakyat korban gempa. Pemukiman penduduk sebagian merapat ke tanah. Banyak penduduk yang kehilangan lapangan pekerjaan, anggota keluarganya. Wajarlah kalau banyak orang yang kehilangan akal sehatnya. Hanya manusia-manusia yang memiliki kekuatan mental spiritual yang hebat, yang mampu melewati waktu-waktu pasca gempa dengan pikiran yang sehat. Bagi sebagian banyak orang mungkin jenang dianggap lebih baik daripada jeneng. Mungkin sendi-sendi kota harmoni dapat terkalahkan karena mendesaknya kebutuhan ekonomi. Berbagai kecenderungan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kearifan yang terkikis karena kebutuhan fisik yang lebih penting.
Berkali-kali masyarakat korban gempa menuntut janji pemerintah untuk segera merealisasikan janjinya yang akan membagikan dana guna penyelesaian rumah-rumah mereka dan biaya hidup sehari-hari. Berbondong-bondong masyarakat gempa mendatangi kantor pemerintahan, berteriak-teriak menuntut pembagian dana sumbangan segera direalisasikan. Di satu sisi hal tersebut menunjukkan berjalannya proses demokratisasi masyarakat Yogyakarta. Akan tetapi, ketika ada beberapa anggota masyarakat korban gempa secara emosi melakukan tindakan kekerasan di desanya karena meributkan dana living cost , mungkin itu perlu dipertanyakan dimanakah proses demokratisasi berada? Apakah kegagalan demokratisasi memang pada akhirnya harus berbuntut dengan kebrutalan? Apakah memang ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah atau pemerintah kepada rakyatnya sudah mulai luntur. Kalau memang demikian marilah kita lakukan atas dasar saling menyayangi, sehingga satu sama lain tidak merasa tersakiti. Ceck and receck satu sama lain perlu dilakukan karena yang diperlukan bukan tindakan saling menyalahkan dan saling menghujat, kita butuh kearifan dari semua pihak. Apakah memang atas nama demokrasi mengharuskan agar setiap ketidakpuasan terhadap keadaan dilampiaskan dengan berteriak-teriak dan diakhiri dengan kekerasan. Mungkin para ahli demokrasi mengetahui lebih jauh tentang hakikat demokrasi itu.
Ada banyak keadaan yang menyebabkan saling ketidakpercayaan antara rakyat dan pemerintah, antara lain karena :
Gencarnya pemberitaan tentang sudah diserahkannya dana dari pusat ke daerah, sementara dari daerah belum ada penjelasan lebih lanjut. Pemberitaan tersebut seharusnya ditindaklanjuti dengan transparasi.
Kalaupun memang dana dari pusat sudah turun ke daerah, pemerintah daerah seharusnya menjelaskan alasan keterlambatan distribusinya ke masyarakat korban gempa dan kalau bisa secepatnya membagikannya tanpa birokrasi yang bertele-tele.
Kalau dana untuk korban gempa memang belum turun, pemerintah harus bisa meredam kemarahan masyarakat korban gempa.
Kekurangarifan masyarakat menerima pemberitaan-pemberitaan mengenai sudah turunnya dana sumbangan korban gempa dari pusat ke daerah, sehingga mudah terpancing emosinya.
Sebenarnya tidak hanya sekali ini saja DIY diguncang bencana. Perlu kiranya ada kajian sejarah bencana alam di Yogyakarta dan penanggulannya. Yang jelas nenek moyang kita meninggalkan beberapa nilai-nilai kearifan budaya yang dapat menjadi fondasi dalam menentukan solusi hidupnya.
Hamemayu Hayuning Bawana.
Dalam setiap perilaku kita seharusnya senantiasa mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT.
Sliradira Jayaningrat lebur dening pangastuti.
Ketamakan, kecongkakan, kejahatan di dunia akan hancur oleh keutamaan dan kebajikan
No comments:
Post a Comment