Tuesday, 9 October 2007

Revitalisasi Kebudayaan Yogyakarta Menjelang Era Global

Abstraksi
Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam perencanaan berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang mencakup kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman penggerusan baik dari dalam maupun budaya global.

Pendahuluan
A. Latar Belakang Permasalahan

Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi, sumber daya manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah daya saing bukan hanya menyangkut industri dan perdagangan. Budaya merupakan salah satu pilar daya saing daerah yang sangat penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap budaya tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang manakah yang bisa dijadikan daya saing daerah ?
Dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional terkandung keinginan untuk mewujudkan masyarakat bermoral, beretika, dan berbudaya. Dalam membangun peradaban bangsa diperlukan strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karenanya pembangunan kebudayaan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mewujudkan misi tersebut. Misi RPJP nasional bersinergi dengan misi pembangunan DIY yang ingin mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka 2020.
Membicarakan kebudayaan, yang manakah yang menjadi sasaran program pembangunan kebudayaan di Yogyakarta. Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: Kebudayaan material dan Kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY yang berakarkan kebudayaan lama dan asli serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap, pemerkaya, dan penyempurna.
Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, Yogyakarta memiliki modal besar dalam program pembangunan nasional. Dalam hal kesejahteraan dan kepurbakalaan, DIY memiliki 365 buah Benda Cagar Budaya, yang terdiri dari kraton, rumah adat, bangunan kolonial, goa, tempat beribadah, situs kota, benteng, dan lain-lain yang masing-masing memiliki keunikan dan kelangkaan tersendiri dan 13 Kawasan Cagar Budaya. Selain itu juga terdapat 30 museum. Dalam hal adat tradisi, kesenian dan nilai budaya, DIY diperkaya oleh 2863 grup/ormas kesenian, 46 jenis potensi kesenian, 45 buah potensi kesenian, 45 buah sentra industri kerajinan, dan 32 desa budaya. (Berdasarkan data tahun 1995). Para leluhur Yogyakarta juga mewariskan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi dasar dalam setiap tata perilaku kita. Potensi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa eksistensi Sultan dan insitusi Kraton masih diakui di tingkat nasional dan internasional.
Apabila kita melihat kuantitas dari potensi budaya di DIY, dapat dikatakan bahwa DIY memiliki modal besar dalam pembangunan kebudayaan di daerah. Akan tetapi, kenyataannya kuantitas dan kualitas pelestarian terhadap warisan budaya masih belum optimal, apalagi pasca gempa 27 Mei 2006 tingkat kerusakan BCB semakin tinggi, tingkat kesadaran masyarakat terhadap keberadaan BCB/KCB masih rendah. Belum lagi aset budaya fisik harus terancam tergusur kepentingan investasi dan ekonomi. Museum sebagai tempat penyimpanan warisan budaya fisik dan sebagai tempat pembelajaran dan penelitian wisata bagi masyarakat, ternyata kurang diminati oleh masyarakat lokal. Fasilitasi terhadap apresiasi seni budaya dari masyarakat belum maksimal, minimnya dana untuk sektor kebudayaan. Wajarlah jika atraksi-atraksi seni pada ruang-ruang publik masih rendah dan masih bersifat lokal, belum meng-internasional. Selain itu juga nilai-nilai luhur budaya belum menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Keadaan umum di atas, diperparah oleh fenomena globalisasi yang datang bagaikan hantu bagi pejuang kebudayaan di daerah. Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin terintegrasi. Globalisasi diasumsi akan membawa budaya dunia menuju homogenitas. Yang lebih mengherankan lagi, daya serap masyarakat lokal lebih besar pada budaya yang dibawa dunia global, daripada daya serap terhadap nilai-nilai lokal.
Globalisasi dan percampuran dengan budaya lain tidak bisa terelakkan, mengingat posisi Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan DIY didiami oleh masyarakat dari luar daerah. DIY merupakan kota yang memiliki romantika sejarah, dari klasik hingga zaman revolusi kemerdekaan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang yang pernah datang ke sana. Selain itu DIY menjadi salah satu daerah tujuan wisata bagi penduduk dunia. Masyarakat Yogyakarta memiliki nilai-nilai keterbukaan bagi orang-orang asing, sehingga akulturasi budaya sering terjadi.
B. Permasalahan
Suatu kebudayaan dikatakan bernilai tinggi apabila dia mampu menjawab tantangan yang ada dengan bertanggung jawab. Kebudayaan tidak diam, tetapi bergerak, tumbuh dan berkembang. Kebudayaan memang harus memiliki challenge agar kebudayaan itu hidup, tetapi challenge harus diimbangi dengan response. Jika dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya lain diluarnya, atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama saja, menurut Tom G. Palmer, menggiring budaya tersebut keambang kehancuran.
Akan tetapi, ketika kebudayaan lain tersebut justru mengancam peradaban masyarakat lokal, apa kita perlu menyambut dan merangkul dunia global atau justru kita mengisolasi diri dengan budaya lain.
Gempuran budaya luar yang lebih kuat daripada ketahanan budaya masyarakat lokal tentu akan membahayakan eksistensi budaya lokal. Kalau masyarakat setempat sendiri sudah tidak memiliki daya saring dan daya tahan agar budaya lokal tetap eksis, mungkinkah kebudayaan Yogyakarta mampu bertahan dua puluh lima tahun yang akan datang ? Akankah kebudayaan Yogyakarta menjadi tamu asing yang aneh bagi penduduk Yogya di ruang budayanya sendiri ? Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi dan pengembangan kebudayaan lokal ?
Dalam realita sehari-hari kebudayaan lokal sedang mengalami kondisi mati segan, hidup tidak mau.
II. Pembahasan
Globalisasi bukan faktor tunggal melunturnya ketahanan budaya
Fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya.
Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal. Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.
Realita sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.
Sesungguhnya permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini dianggap telah meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan sehari-hari :
a. Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b. Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan, sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c. Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking, karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan dengan budaya asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan.
Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya.
Etos kerja dan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta masih memiliki desa-desa budaya, yang di dalamnya diperkaya arsitektur tradisional, upacara ritual, kesenian, barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk menjamin kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja secara berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap. Dalam hal ini pihak pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara bergotong-royong menyediakan satu sumber dana secara berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke pasaran, hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi kebudayaan membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer untuk menawarkannya.
Budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi, sesuai dengan perkembangan media. Daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai penggerak ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing budaya pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni, pendirian dan pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan pengusaha di bidang seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan pertunjukan seni budaya, peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
III. Rekomendasi
Permasalahan utama dari pembangunan kebudayaan bukan hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut kondisi ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami stagnasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
A. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal

1. Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan RW.
2. Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
4. Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian para pemangku
kebijakan
5. Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan, agronomi.
B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1. Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
3. Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
C. Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual, kesenian, rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.

1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat dan universitas
2. Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni pertunjukan lokal melalui website.
3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya Jawa
4. Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
5. Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan budaya.
D. Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
2. Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun fisik.
3. Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan