Tuesday, 9 October 2007

Kapan Yogya Menjadi Ibukota Buku Sedunia ?

A. Latar Belakang Permasalahan

Setiap tahun UNESCO dan tiga penerbit buku raksasa the International Publishers Association (IPA), the International Booksellers Federation (IBF), the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) memutuskan kota buku dunia untuk kurun masa 12 bulan antara dua perayaan yaitu hari buku Internasional dan hari Hak Cipta Internasional (23 April). Kota-kota yang pernah menjadi Ibukota Buku Dunia berturut-turut adalah: Madrid (Spanyol-Eropa) tahun 2001 (23 April 2001 sampai dengan 22 April 2002), Alexandria (Mesir-Afrika) tahun 2002, New Delhi (India-Asia) tahun 2003, Antwerp (Belgia-Eropa) tahun 2004, Montreal (Kanada-Amerika) tahun 2005, Turin (Italia-Eropa) tahun 2006 (23 April 2006 sampai dengan 22 April 2007), giliran berikutnya yaitu Bogota (Colombia-Amerika) tahun 2007, Amsterdam (Belanda-Eropa) tahun 2008. Sebutan Ibukota Buku Dunia ini dipilih dan ditetapkan berdasarkan program dan peran kota-kota yang dinominasikan dalam usaha mereka memandang dan menjadikan peran penting buku dan dalam rangka mengupayakan minat membaca.

Dalam rangka menigkatkan mewujudkan DIY sebagai Ibukota Buku Dunia diperlukan peningkatan partisipasi dari semua pihak, dari tingkat kota, nasional, regional, dan internasional; dampak potensi positif dari program yang dilaksanakan; ruang lingkup dan kualitas kegiatan yang diajukan oleh kota-kota calon; termasuk sejauh mana mereka melibatkan penulis, penerbit, toko buku, dan perpustakaan; kegiatan lain dalam rangka mempromosikan buku dan kegiatan membaca; kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab. Selain itu, diperlukan suatu kondisi masyarakat dengan budaya baca sebagai aktualisasi budaya belajar yang telah mendarah daging di dalam masyarakat. Sebenarnya minat baca masyarakat Yogyakarta sudah meningkat, tetapi cenderung tidak merata, karena jangkauannya terbatas dan pertumbuhannya kecil. Sementara itu lambat laun budaya baca dan belajar akan tergusur oleh budaya menonton.
B. Permasalahan
Kenapa DIY harus menjadi Ibukota Buku Sedunia? ”Yogyakarta menjadi kota kutu buku”, ”Yogyakarta menjadi Ibukota Buku Dunia” mimpikah ini? Bagaimanakah membangkitkan minat baca masyarakat, hingga menjadi sebuah budaya baca dan budaya belajar? Trik-trik dan prakondisi apa untuk mengelola faktor pendukung dan penghambat budaya membaca?
C. Pembahasan

Peranan DIY sebagai kota pendidikan, kota budaya dan kota wisata secara langsung dan tidak langsung menjadi modal besar untuk mewujudkannya menjadi ibukota buku dunia. Hal tersebut didukung oleh sekian banyak penulis dan penerbit buku, koran, taman bacaan, perpustakaan. Daerah Yogyakarta selama ini juga dikenal sebagai barometer bagi penilaian kualitas dari sebuah buku. Dengan menjadi Ibukota Buku Dunia berarti Yogyakarta diperhitungkan oleh dunia dalam program pengembangan IPTEK dan dunia karya cipta perbukuan di dunia. Oleh karenanya akan membuka lebar kesempatan investasi perbukuan. Untuk mewujudkan impian tersebut harus didukung SDM yang memiliki budaya baca dan budaya belajar.
Jepang dapat menjadi sampel dalam pengembangan budaya baca dan belajar kita, karena Jepang menjadi satu-satunya negara di Asia yang mempunyai kedudukan sejajar dalam iptek dan perekonomian dengan raksasa dunia seperti Amerika, disusul Cina dan Korea Selatan. Budaya tulis dan baca mereka yang tinggi didorong oleh besarnya apresiasi mereka terhadap hasil karya orang lain, hasil proses kreatif orang lain, juga besarnya keinginan mereka untuk berbagi informasi dengan orang lain dan mengekspresikan diri.
Kebiasaan membaca anak-anak Indonesia peringkatnya paling rendah di dunia (skor : 51,7), di bawah Filipina (skor : 52,6), Thailand (skore : 65,1), Singapura (skor : 74,0) dan Hongkong (skor :75,5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30%. Hasil survei juga menunjukkan minat baca para siswa SD dan SMP di Indonesia menduduki urutan ke-38 dan ke-34 dari 39 negara, diukur dari kemampuan membaca rata-rata.
Minat baca masyarakat DIY cenderung meningkat. Koran SINDO menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei dari AC Nielsen Media Research belum lama ini, tingkat minat baca masyarakat DIY pada 2007 meningkat 4,3% dibanding pada 2006 lalu. Minat baca masyarakat Yogyakarta menempati peringkat kedua setelah Jakarta. Akan tetapi kondisi ini tidak merata.

Minat baca warga Kabupaten Kulonprogo paling rendah dibanding kabupaten/kota lain di DIY. Minat baca tertinggi adalah masyarakat ibukota Yogyakarta. Penilaian itu didasarkan rendahnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan komunitas di wilayah tersebut.
Menjadikan DIY sebagai ibukota buku dunia perlu didukung aspek-aspek kondusif yang memang sudah ada, antara lain sebagai berikut :
1. Banyaknya lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.
2. Maraknya penerbit buku seperti Andi Offset, Resist Book, Lkis, Jalasutra, Ombak, Kanisius, dan sebagainya. Selain itu juga toko-toko buku besar seperti Gramedia, Tiga Serangkai, Gunung Agung, Social Agency.
3. Di DIY juga beredar surat kabar harian Kedaulatan Rakyat, Bernas yang sangat membumi, sehingga semua lapisan masyarakat bisa menjangkaunya, selain itu beredar Mekar Sari, Minggu Pagi, Radar Yogya, Kompas Yogya.
4. Perpustakaan-perpustakaan dari koleksi klasik hingga kontemporer, seperti di Kraton, Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Perpustakaan Malioboro, Perpustakaan Hatta, Perpustakaan Daerah, dan sebagainya.
5. Kemudahan mobilisasi karena tersedianya sarana dan prasarana transportasi.
Maraknya alat-alat audiovisual berteknologi canggih, murah, dan tersebar luas hingga ke pelosok-pelosok menjadi salah satu tantangan pembiasaan minat baca. Radio, tape recorder, televisi, kaset, VCD, DVD, playstation, dan lain sebagainya lebih menarik dan dicerna. Budaya konsumtif meradang di kalangan remaja-remaja usia sekolah karena pertumbuhan supermarket, swalayan, restoran-restoran. Gaya hidup dunia sinetron akan dan telah mengalahkan budaya minat baca. Pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak / siswa/mahasiswa harus membaca (lebih banyak lebih baik), mencari informasi / pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan.
Membaca belum membudaya dalam masyarakat. Tradisi lisan (dari mulut ke mulut) mendominasi kehidupan dan dunia pembelajaran kita. Sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi, jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
* Rencana Aksi Peningkatan Minat Baca Masyarakat*
Mewujudkan budaya baca dan belajar dalam masyarakat menjadi agenda rencana aksi bersama, dengan kekuatan dari masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai fasilitator.
1. Pengelolaan perpustakaan dengan managemen dan tampilan yang baik, sehingga perpustakaan mampu menebarkan pesona minat baca bagi masyarakat.
2. Pengembangan perpustakaan keliling, motor pintar, mobil pintar, taman bacaan, kelompok baca, kelompok diskusi, klompencapir, dan sebagainya.
3. Penyusunan kurikulum dan metode mengajar dari semua level pendidikan yang memberikan stimulasi kondusif menuju budaya baca.
4. Membantu masyarakat dan sekolah-sekolah yang kurang mampu untuk mendapatkan bahan bacaan yang bermutu serta bimbingan membaca baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
5. Sekolah harus bekerja sama dengan keluarga untuk menumbuhkan minat baca, hingga membaca itu menjadi budaya membaca dan budaya belajar.
6. Kampanye pembiasaan membaca di lingkungan keluarga sejak dini, hingga menjadi kebiasaan kolektif yang akan menciptakan budaya baca dan belajar.
7. Program promosi serta peran aktif Yogyakarta baik di tingkat daerah, nasional dan internasional di sektor swasta maupun pemerintah dalam sektor produksi buku.
8. Upaya dan program perencanaan yang menyangkut isu hak cipta penerbitan buku-buku ilmiah yang mengandung inter-kultural aspek dari karya-karya literatur dan buku anak-anak, pembukaan perpustakaan baru, pameran.
D. Kesimpulan dan Saran
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi besar untuk menjadi Ibukota buku dunia. Hal tersebut didukung oleh dunia perbukuan, dunia pendidikan, dan dunia perpustakaan. Kerjasama pemerintah, sekolah, perpustakaan, LSM, penerbit, media, masyarakat harus dipererat guna mensosialisasikan budaya baca dan belajar, sehingga mereka bisa berjalan bersama-sama guna mewujudkan DIY sebagai Ibukota Buku Dunia. Selain diperlukan pembiayaan yang besar dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, perlu ada kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Budaya membaca harus dibina dalam unit-unit kecil, keluarga, individu sehingga terbentuk komunitas-komunitas baca, sejak masa-masa emas pertumbuhan anak-anak, sehingga akhirnya membaca dan belajar menjadi budaya kolektif masyarakat DIY, baik di pedesaan maupun perkotaan. Event-event yang menstimulasi kegairahan dunia perbukuan, budaya membaca dan belajar, apresiasi hasil karya orang lain harus digalakkan secara rutin.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan