Tulisaan ini merupakan kontribusi dari Romo Hary Dendi
Topik
DENGAN SERAT-SERAT BUDAYA NUSANTARA
MEMBANGUN INDONESIA BERSATU
“Rukun agawe Sentosa, Crah agawe Bubrah”
--Kearifan Jawa
”ACEH harus tetap dengan Indonesia, jika tidak kita telah mengingkari sejarah”, demikian kata Makmun Daud Beureueh, putra tokoh besar rakyat Aceh (Republika, 21 Agustus 1999). Ini adalah pikiran filsafat yang sangat dalam --pikiran yang mencerminkan kemurnian suara hati etnik Aceh-- tetapi juga gambaran suara hati dan ketulusan dari banyak etnik lainnya [1].
Dr. Hasballah M. Saad, tokoh masyarakat Aceh yang lain, mengatakan: ”suku-suku bangsa yang bergabung membentuk negara Indonesia justru menjadi korban pemaksaan, bukannya memperoleh kesempatan mengaktualisasikan diri”. Hal senada disampaikan pula oleh SP Morin, tokoh masyarakat Papua, yang menyatakan: ”Ibarat sudah kawin paksa, istri dipukuli terus. Itu yang menyebabkan munculnya pemikiran lebih baik merdeka saja” (Kompas, 23 Agustus 1999). Demikianlah, kira-kira suasana hati banyak kalangan masyarakat di daerah, yang pada intinya menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran, kesetaraan dan demokrasi serta kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian melatarbelakangi ancaman disintegrasi bangsa yang memicu gerakan separatisme.
Bagi Yogyakarta, keinginan untuk merdeka terpisah dari NKRI selain set-back juga mengingkari Maklumat 5 September 1945, ketika Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan diri menjadi bagian dari Republik. Mungkin jawab yang tepat adalah kembali ke sumber semangat dilahirkannya Republik ini, dengan mencoba mengimplementasikan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya sesuai kemurnian jiwa UUD 1945 Pasal 18.
Semangat Nasionalisme Baru
Nasionalisme menjadi spirit paling kuat untuk mempersatukan keragaman etnik dan budaya dalam sebuah negara-bangsa. Namun, nasionalisme mendapat tantangan dari perubahan global, seperti menguatnya etnisitas dan agama. Mungkin kita perlu merujuk Daniel Bell dalam “The End of Ideology” yang mengatakan, nasionalisme sebagai ideologi telah berakhir. Hal ini juga membuktikan tesis Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man” (1992), bahwa nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan dalam sejarah dunia.
Yugoslavia dan Cekoslovakia telah merasakan betapa etnisitas menghancurkan spirit kebangsaan. Fenomena ini lalu menjalar ke negara lain, salah satunya Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak etnik. Fondasi nasionalisme bangsa Indonesia yang dibangun dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, secara perlahan mendapat kerikil tajam. Setelah Timor Timur lepas, Aceh, Papua dan Maluku, seolah tak sepi dari gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI.
Seperti dikemukakan Ghia Nodia (1992), nasionalisme ibarat satu koin dengan dua sisi, politik dan etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi substansinya tidak lain adalah sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Karena itulah, etnisitas menjadi spirit baru bagi pencarian kehidupan bersama dalam komunitas tertentu.
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, perwujudan nasionalismenya tidak sekadar politik dan etnisitas, tetapi juga unsur agama. Pada awal kemerdekaan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra (1999), kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dijinakkan faktor Islam sebagai agama mayoritas. Islam menjadi supra identitas dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas.
Meski demikian, menguatnya gerakan separatisme Aceh yang dulu dimotori GAM seakan meruntuhkan tesis Azra bahwa Islam berhasil menjadi faktor signifikan dalam membangun nasionalisme. Justru Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Aceh, tidak bisa mempertahankan kesetiaannya kepada bangsa Indonesia. Meski Aceh sudah diberi kebebasan memberlakukan syariat Islam, gerakan separatisme tetap berlangsung. Artinya, Islam sebagai agama tidak lagi menjadi faktor pemersatu bangsa. Terbukti keragaman etnisitas kini tidak bisa lagi disatukan oleh Islam sebagai agama mayoritas.
Dalam konteks inilah, saat terjadi gerakan separatisme di beberapa daerah, maka yang diperlukan adalah bangunan nasionalisme baru, yang tidak lagi menonjolkan loyalitas kepada bangsa semata, tetapi penciptaan keadilan (sosial, ekonomi, dan politik) bagi seluruh masyarakat. Kesetiaan masyarakat etnik kepada suatu bangsa tanpa dibarengi upaya menyejahterakan masyarakat berdasar kekayaan alam yang melimpah, tidak akan berpengaruh pada makin kuatnya loyalitas kepada bangsa. Justru yang diyakini adalah penjajahan baru atas bangsanya sendiri.
Serat-Serat Budaya Nusantara
Untuk membangun “Indonesia Bersatu” dapat dilakukan dalam dua pendekatan yang saling terkait. Pertama, melalui pendekatan geokultural, agar setiap kelompok budaya saling menyapa dan mengenal, untuk saling memberi dan menerima. Sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak sebatas tawar-menawar politik, tetapi dengan tawaran kehidupan budaya yang lebih hangat.
Mochtar Pabottinggi [2], misalnya, yang berasal dari etnis Bugis-Makassar, memimpikan bagaimana kelompok etnisnya belajar dari etnis Jawa dan Minang. Dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, melainkan menjangkau hal-hal yang lebih penting, lebih mulia dan lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang relativisme nilai-nilai serta internalisasi dan preservasi kekuatan di dalam kalbu.
Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata. Ucapan akkanaka (saya berkata) memiliki bobot yang sangat matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makasar. Demikian juga, masyarakat etnik yang lain agar dapat belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas [3]. Setiap pejabat publik hendaknya merasa malu jika melakukan kesalahan, dan siap mengundurkan diri dari jabatannya. Budaya malu ini sangat efektif penerapannya pada bangsa Jepang dan Korea.
Kedua, bahwa proses yang pertama tersebut harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnik lokal terjalin dalam “serat-serat kebudayaan”, membentuk batang tubuh Kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, laksana sebatang pohon kelapa yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, di mana batang menunjang daun dan buah.
Hingga kini banyak pakar masih melihat pluralitas sistem nilai etnis kita tak lebih sebagai “mozaik” yang indah dipandang. Terutama bagi para ahli antropologi asing, mozaik itu merupakan gudang yang tiada habis-habisnya untuk digali. Tetapi mozaik itu sedikit sekali artinya bagi diri bangsa pemiliknya sendiri. Sebaliknya Umar Kayam berbicara tentang “serat-serat kebudayaan Nusantara”, yang mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat, seperti serat-serat pada batang pohon nyiur atau anyaman benang-benang pada tenunan. Implementasi kebijakan yang diderivasikan dari filosofi itu adalah, bagaimana ragam kekayaan budaya etnik dan adat-istiadat itu menjadikannya jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang terekat erat.
Indonesia Bersatu
Alangkah besarnya manfaat jika pluralitas budaya yang diwariskan oleh tradisi-tradisi besar itu teranyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Kita semua tentu sepakat bahwa “Indonesia Bersatu” adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab.
Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai yang kita miliki yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya-budaya etnik hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas. Yang pada akhirnya kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan.
Dalam kaitan ini kita juga bisa berbicara dalam hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.
Dengan kita mau menghargai, menerapkan dan mengembangkan pencapaian masyarakat etnik, beserta nilai-nilai spiritualitasnya yang memuat ajaran moral yang tinggi dan akhlak yang luhur, tentu mereka akan merasa bangga memiliki negeri yang namanya Indonesia ini.
Keseluruhan proses itu selalu dilakukan melalui sebuah dialog budaya yang mengembangkan sikap toleransi, serta saling menghargai dan isi-mengisi dengan belajar dari konsep kearifan Jawa, seperti tertera dalam motto di awal tulisan ini: “Rukun agawe Santosa, Crah agawe Bubrah”.
Dialog Budaya
Bertolak dari pemikiran tersebut, sebagai kelanjutan Dialog Budaya Seri-3 dengan topik ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, maka Dialog Budaya Seri-4 nanti pada Slasa Wage, 31 Juli 2007 mengetengahkan topik ”Dengan Serat-Serat Budaya Nusantara Membangun Indonesia Bersatu”, yang akan dibahas oleh tiga orang narasumber yang kompeten.
Narasumber:
1. Mohammad Sobary
Budayawan - Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform
2. Prof. Dr. Bakdi Sumanto
Budayawan – Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM
3. Prof. Dr. Wuryadi, MS
Ketua Dewan Pendidikan DIY – Guru Besar FIPA UNY
Moderator:
1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
Budayawan – Dekan & Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UNY
2. Hari Dendi
Wakil Ketua Dewan Pendidikan DIY
Gelar Seni:
Kolaborasi Karya Kreatif Bondan Nusantara, Sutradara Kethoprak, bersama RM. Kristiadi, Pengarah Acara Budaya TVRI Yogyakarta, menampilkan Teater Tradisional, didukung seniman muda dari ISI/SMKI Yogyakarta
Tempat & Waktu:
Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY
Slasa Wage, 31 Juli 2007
Jam 19.00 sampai selesai
Yogyakarta, 20 Juli 2007
Penanggungjawab/Script Writer,
Hari Dendi
HB/hd.
Topik
DENGAN SERAT-SERAT BUDAYA NUSANTARA
MEMBANGUN INDONESIA BERSATU
“Rukun agawe Sentosa, Crah agawe Bubrah”
--Kearifan Jawa
”ACEH harus tetap dengan Indonesia, jika tidak kita telah mengingkari sejarah”, demikian kata Makmun Daud Beureueh, putra tokoh besar rakyat Aceh (Republika, 21 Agustus 1999). Ini adalah pikiran filsafat yang sangat dalam --pikiran yang mencerminkan kemurnian suara hati etnik Aceh-- tetapi juga gambaran suara hati dan ketulusan dari banyak etnik lainnya [1].
Dr. Hasballah M. Saad, tokoh masyarakat Aceh yang lain, mengatakan: ”suku-suku bangsa yang bergabung membentuk negara Indonesia justru menjadi korban pemaksaan, bukannya memperoleh kesempatan mengaktualisasikan diri”. Hal senada disampaikan pula oleh SP Morin, tokoh masyarakat Papua, yang menyatakan: ”Ibarat sudah kawin paksa, istri dipukuli terus. Itu yang menyebabkan munculnya pemikiran lebih baik merdeka saja” (Kompas, 23 Agustus 1999). Demikianlah, kira-kira suasana hati banyak kalangan masyarakat di daerah, yang pada intinya menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran, kesetaraan dan demokrasi serta kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian melatarbelakangi ancaman disintegrasi bangsa yang memicu gerakan separatisme.
Bagi Yogyakarta, keinginan untuk merdeka terpisah dari NKRI selain set-back juga mengingkari Maklumat 5 September 1945, ketika Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan diri menjadi bagian dari Republik. Mungkin jawab yang tepat adalah kembali ke sumber semangat dilahirkannya Republik ini, dengan mencoba mengimplementasikan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya sesuai kemurnian jiwa UUD 1945 Pasal 18.
Semangat Nasionalisme Baru
Nasionalisme menjadi spirit paling kuat untuk mempersatukan keragaman etnik dan budaya dalam sebuah negara-bangsa. Namun, nasionalisme mendapat tantangan dari perubahan global, seperti menguatnya etnisitas dan agama. Mungkin kita perlu merujuk Daniel Bell dalam “The End of Ideology” yang mengatakan, nasionalisme sebagai ideologi telah berakhir. Hal ini juga membuktikan tesis Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man” (1992), bahwa nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan dalam sejarah dunia.
Yugoslavia dan Cekoslovakia telah merasakan betapa etnisitas menghancurkan spirit kebangsaan. Fenomena ini lalu menjalar ke negara lain, salah satunya Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak etnik. Fondasi nasionalisme bangsa Indonesia yang dibangun dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, secara perlahan mendapat kerikil tajam. Setelah Timor Timur lepas, Aceh, Papua dan Maluku, seolah tak sepi dari gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI.
Seperti dikemukakan Ghia Nodia (1992), nasionalisme ibarat satu koin dengan dua sisi, politik dan etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi substansinya tidak lain adalah sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Karena itulah, etnisitas menjadi spirit baru bagi pencarian kehidupan bersama dalam komunitas tertentu.
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, perwujudan nasionalismenya tidak sekadar politik dan etnisitas, tetapi juga unsur agama. Pada awal kemerdekaan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra (1999), kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dijinakkan faktor Islam sebagai agama mayoritas. Islam menjadi supra identitas dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas.
Meski demikian, menguatnya gerakan separatisme Aceh yang dulu dimotori GAM seakan meruntuhkan tesis Azra bahwa Islam berhasil menjadi faktor signifikan dalam membangun nasionalisme. Justru Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Aceh, tidak bisa mempertahankan kesetiaannya kepada bangsa Indonesia. Meski Aceh sudah diberi kebebasan memberlakukan syariat Islam, gerakan separatisme tetap berlangsung. Artinya, Islam sebagai agama tidak lagi menjadi faktor pemersatu bangsa. Terbukti keragaman etnisitas kini tidak bisa lagi disatukan oleh Islam sebagai agama mayoritas.
Dalam konteks inilah, saat terjadi gerakan separatisme di beberapa daerah, maka yang diperlukan adalah bangunan nasionalisme baru, yang tidak lagi menonjolkan loyalitas kepada bangsa semata, tetapi penciptaan keadilan (sosial, ekonomi, dan politik) bagi seluruh masyarakat. Kesetiaan masyarakat etnik kepada suatu bangsa tanpa dibarengi upaya menyejahterakan masyarakat berdasar kekayaan alam yang melimpah, tidak akan berpengaruh pada makin kuatnya loyalitas kepada bangsa. Justru yang diyakini adalah penjajahan baru atas bangsanya sendiri.
Serat-Serat Budaya Nusantara
Untuk membangun “Indonesia Bersatu” dapat dilakukan dalam dua pendekatan yang saling terkait. Pertama, melalui pendekatan geokultural, agar setiap kelompok budaya saling menyapa dan mengenal, untuk saling memberi dan menerima. Sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak sebatas tawar-menawar politik, tetapi dengan tawaran kehidupan budaya yang lebih hangat.
Mochtar Pabottinggi [2], misalnya, yang berasal dari etnis Bugis-Makassar, memimpikan bagaimana kelompok etnisnya belajar dari etnis Jawa dan Minang. Dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, melainkan menjangkau hal-hal yang lebih penting, lebih mulia dan lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang relativisme nilai-nilai serta internalisasi dan preservasi kekuatan di dalam kalbu.
Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata. Ucapan akkanaka (saya berkata) memiliki bobot yang sangat matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makasar. Demikian juga, masyarakat etnik yang lain agar dapat belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas [3]. Setiap pejabat publik hendaknya merasa malu jika melakukan kesalahan, dan siap mengundurkan diri dari jabatannya. Budaya malu ini sangat efektif penerapannya pada bangsa Jepang dan Korea.
Kedua, bahwa proses yang pertama tersebut harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnik lokal terjalin dalam “serat-serat kebudayaan”, membentuk batang tubuh Kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, laksana sebatang pohon kelapa yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, di mana batang menunjang daun dan buah.
Hingga kini banyak pakar masih melihat pluralitas sistem nilai etnis kita tak lebih sebagai “mozaik” yang indah dipandang. Terutama bagi para ahli antropologi asing, mozaik itu merupakan gudang yang tiada habis-habisnya untuk digali. Tetapi mozaik itu sedikit sekali artinya bagi diri bangsa pemiliknya sendiri. Sebaliknya Umar Kayam berbicara tentang “serat-serat kebudayaan Nusantara”, yang mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat, seperti serat-serat pada batang pohon nyiur atau anyaman benang-benang pada tenunan. Implementasi kebijakan yang diderivasikan dari filosofi itu adalah, bagaimana ragam kekayaan budaya etnik dan adat-istiadat itu menjadikannya jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang terekat erat.
Indonesia Bersatu
Alangkah besarnya manfaat jika pluralitas budaya yang diwariskan oleh tradisi-tradisi besar itu teranyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Kita semua tentu sepakat bahwa “Indonesia Bersatu” adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab.
Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai yang kita miliki yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya-budaya etnik hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas. Yang pada akhirnya kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan.
Dalam kaitan ini kita juga bisa berbicara dalam hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.
Dengan kita mau menghargai, menerapkan dan mengembangkan pencapaian masyarakat etnik, beserta nilai-nilai spiritualitasnya yang memuat ajaran moral yang tinggi dan akhlak yang luhur, tentu mereka akan merasa bangga memiliki negeri yang namanya Indonesia ini.
Keseluruhan proses itu selalu dilakukan melalui sebuah dialog budaya yang mengembangkan sikap toleransi, serta saling menghargai dan isi-mengisi dengan belajar dari konsep kearifan Jawa, seperti tertera dalam motto di awal tulisan ini: “Rukun agawe Santosa, Crah agawe Bubrah”.
Dialog Budaya
Bertolak dari pemikiran tersebut, sebagai kelanjutan Dialog Budaya Seri-3 dengan topik ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, maka Dialog Budaya Seri-4 nanti pada Slasa Wage, 31 Juli 2007 mengetengahkan topik ”Dengan Serat-Serat Budaya Nusantara Membangun Indonesia Bersatu”, yang akan dibahas oleh tiga orang narasumber yang kompeten.
Narasumber:
1. Mohammad Sobary
Budayawan - Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform
2. Prof. Dr. Bakdi Sumanto
Budayawan – Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM
3. Prof. Dr. Wuryadi, MS
Ketua Dewan Pendidikan DIY – Guru Besar FIPA UNY
Moderator:
1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
Budayawan – Dekan & Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UNY
2. Hari Dendi
Wakil Ketua Dewan Pendidikan DIY
Gelar Seni:
Kolaborasi Karya Kreatif Bondan Nusantara, Sutradara Kethoprak, bersama RM. Kristiadi, Pengarah Acara Budaya TVRI Yogyakarta, menampilkan Teater Tradisional, didukung seniman muda dari ISI/SMKI Yogyakarta
Tempat & Waktu:
Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY
Slasa Wage, 31 Juli 2007
Jam 19.00 sampai selesai
Yogyakarta, 20 Juli 2007
Penanggungjawab/Script Writer,
Hari Dendi
HB/hd.
[1] U. Ginting, “Otonomi Daerah”, Masyarakat Transparansi Indonesia, 3 Oktober 1999.
[2] Mochtar Pabottinggi, “Hak-Hak Individu dan Sosial di Indonesia”, Yayasan Paramadina.
[3] Ameer Hamzah, ”Budaya Malu dan Berkata Benar dalam Masyarakat Aceh”, Serambi Minggu,
12 Desember 2003.
No comments:
Post a Comment