Merajut Budaya Yogya,
Membangun Peradaban Baru Indonesia
“.....bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa
hidup dalam damai dan persaudaraan.....” [Bung Karno, “To Build the World a New”]
BAGAIMANA merekonstruksi peradaban baru Indonesia? Siapa yang harus merekonstruksi peradaban itu? Dua pertanyaan itu harus segera kita jawab. Kita tidak membutuhkan lagi bukti atau diskusi berbelit-belit guna menegaskan bahwa peradaban bangsa mulai rapuh. Setiap hari, media massa menyuguhkan aneka tragedi kerapuhan peradaban kita. Meminjam istilah dalam rubrik politika Budiarto Shambazy [1], telah terjadi “gerhana nurani”.
Kini saatnya kita merekonstruksi peradaban bangsa Indonesia seturut sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Banyak pihak berpikir dan berusaha merekonstruksi peradaban baru Indonesia. Para pakar politik dan politikus berusaha merekonstruksi peradaban baru di bidang politik dengan reformasi politik. Sayang, reformasi “setengah hati” itu justru melahirkan kultur politik baru, yaitu kultur politik kekerasan. Kata-kata mutiara Bung Karno di depan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 yang dikutip di awal tulisan ini, tampaknya masih relevan dengan situasi bangsa saat ini yang lagi menghadapi potensi ancaman budaya kekerasan di berbagai bidang kehidupan.
Penyebab Krisis
Kita masih saja dilanda krisis multidimensional. Jika krisis itu tidak digarap, peradaban bangsa kita akan kian luntur. Federico Ruiz (1999), seorang teolog spiritualitas Spanyol, menyebutkan tiga penyebab krisis peradaban manusia [2]. Pertama, globalitas (globalità), yaitu kompleksitas dari berbagai elemen dalam suatu situasi atau keadaan. Kedua, radikalitas (radicalitá), yaitu karakter ekstrem dari aneka kelompok masyarakat. Ketiga, kecepatan (rapiditá), yaitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di hadapan kita terbentang globalitas budaya, tata nilai, gaya politik, cara hidup, agama, dan sebagainya. Di satu pihak ada kelompok-kelompok masyarakat yang hanyut dalam globalitas itu. Mereka lebih suka ikut arus karena bebas memilih apa yang disukai. Akibatnya, identitas dirinya menjadi tidak jelas. Peradaban mereka ambigu. Di lain pihak sekelompok orang mengambil sikap radikal. Mereka lebih suka menutup diri terhadap globalitas dan bertahan pada “keyakinan” dan cara hidup secara ketat. Muncullah kelompok-kelompok radikal di berbagai tempat.
Di Indonesia jurang antara kedua kelompok itu tampaknya kian melebar. Tambahan lagi, kita tidak bisa membendung kecepatan (rapidità) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Didukung kecepatan teknologi informasi, globalitas membanjiri kita. Kecepatan kian memperparah keberadaban saat orang tidak punya ”filter” yang kuat.
KRISIS peradaban yang kita hadapi sebenarnya krisis gaya hidup. Kita mau ikut arus zaman atau sebaliknya. Banyak orang bingung menentukan pilihan. Yang paling mudah adalah ikut arus. Muncullah peradaban baru yang ambigu. Di satu pihak ada kelompok ikut arus, tak punya spiritualitas, di lain pihak kelompok ekstrem yang menganggap perubahan sebagai kemunduran spiritualitas.
Rekonstruksi Peradaban
Bagaimana merekonstruksi peradaban baru? Darren E Sherkat dalam ”Religious Socialization: Sources of Influence and Influences of Agency” menyatakan, keluarga adalah agen perubahan keberadaban yang efektif. (Michele Dillon ed., 2003) Dalam keluarga ”dicetak” kepribadian seseorang. Keluarga menjadi tempat orang belajar tata-krama dan sopan-santun. Dalam keluarga mentalitas seseorang dibentuk, prinsip dan nilai-nilai kehidupan ditanamkan. Keluarga menjadi tempat belajar ”berpolitik”, di mana dihadirkan suasana saling menghargai dan mendengarkan, belajar berdiskusi dan berbeda pendapat secara sehat. Keluarga juga menjadi tempat orang belajar dan mengalami cinta, perhatian, toleransi, dan kesediaan untuk berbagi. Keluarga menjadi agen utama rekonstruksi peradaban.
Keberadaban seseorang diwarnai keberadaban keluarganya. Keberadaban publik adalah kompleksitas keberadaban keluarga. Kini saatnya kita menyumbangkan peran masing-masing dengan cara membentuk keberadaban bagi keluarga masing-masing. Jika keluarga-keluarga berantakan, jangan mengharapkan generasi baru yang mempunyai keberadaban lebih baik.
Dengan kata lain, rekonstruksi peradaban baru bangsa Indonesia adalah tanggung jawab dan tugas bersama. Rekonstruksi peradaban bangsa adalah rekonstruksi keberadaban diri dan tiap keluarga. Peradaban bangsa ibarat pelangi yang banyak warna. Tugas kita, menyumbangkan salah satu warna indah.
YOGYAKARTA adalah salah satu anggota keluarga Indonesia. Di tengah kecenderungan terpuruknnya nilai-nilai kemanusiaan itu yang banyak diliputi oleh budaya kekerasan, baik di ranah politik, pemerintahan, hukum, maupun di tataran masyarakat sipil ini, lalu apa kontribusi peran yang bisa disumbangkan oleh Yogyakarta? Persisnya, oleh Budaya Yogya yang bernilai semesta itu?
Yogya Semesta
Untuk dapat membangun jalinan hubungan timbal-balik antara Yogya dan Semesta, serta Indonesia, maka kita perlu memahami dengan baik jiwa dan peran yang disandang Yogyakarta. Dalam banyak kajian pemahaman tentang jiwa dan peran Yogyakarta selalu merujuk pada dua hal mendasar: aspek kesejarahan dan tradisi. Pemahaman kesejarahan dan tradisi itu mendudukkan awal pembentukan Yogyakarta sebagai masa yang sempurna yang telah memberikan landasan berbagai dimensi kebudayaan secara paripurna dengan tokoh sentralnya Pangeran Mangkubumi, Sang Pendirinya.
Berkait dengan itu, adalah menarik untuk mengangkat ilustrasi Revianto Budi Santosa, yang mengabstrasikan Yogyakarta sebagai semesta [3]. Menurutnya, begitulah negri ini diharapkan sebagaimana tersandang dalam namanya Ngayogyakarta Hadiningrat, tempat yang pantas dan prayoga yang menjadi suri keindahan semesta. Pendakuan sebagai negri yang bermatra semesta, berkonsekuensi Yogyakarta memberikan sumbangsih kepada dunia dan juga sekaligus menerima dunia dalam dirinya. Kerelaan untuk berbagi dan menerima paling tidak dalam ranah budaya akan memperkaya khasanah budaya Yogyakarta.
Dengan perkataan lain, “Bringing Yogyakarta to the World, and Bringing the World to Yogyakarta”, sebuah potensi terpendam yang harus digali, dikaji dan diuji untuk dikembangkan serta diisi secara kreatif oleh segenap warga Yogya untuk Indonesia, dengan “Merajut Budaya Yogya, Membangun Peradaban Baru Indonesia” yang bermartabat.
DALAM kerangka pikir seperti itu, Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-5 ini digelar dengan menghadirkan Dr. Ir. (Ars) Revianto Budi Santosa, Dosen Jurusan Arsitektur UII & Dr. Widya Nayati, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, dua nara sumber yang menjadi “tandem” penulisan buku Peringatan 250 Tahun Kota Yogyakarta. Ditambah Prof. Dr. H. Muhammad Machasin, MA, Guru Besar & Anggota Senat UIN “Sunan Kalidjaga”, akan melengkapinya dengan nilai-nilai Islami yang terserap dalam Budaya Yogya.
Dialog dipandu oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti & Hari Dendi. Gelar Seni di bawah arahan Bondan Nusantara, dibantu Drs. Sumaryono, MA & Drs. Sunardi dengan latar “gamelan ringkes” dari siswa-siswa dan lulusan SMKI Yogyakarta. Tempat & Waktu: di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY pada Slasa Wage, 4 September 2007, jam 19.00-22.00.
Yogyakarta, 28 Agustus 2007
Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,
Hari Dendi
HB/hd.
Membangun Peradaban Baru Indonesia
“.....bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa
hidup dalam damai dan persaudaraan.....” [Bung Karno, “To Build the World a New”]
BAGAIMANA merekonstruksi peradaban baru Indonesia? Siapa yang harus merekonstruksi peradaban itu? Dua pertanyaan itu harus segera kita jawab. Kita tidak membutuhkan lagi bukti atau diskusi berbelit-belit guna menegaskan bahwa peradaban bangsa mulai rapuh. Setiap hari, media massa menyuguhkan aneka tragedi kerapuhan peradaban kita. Meminjam istilah dalam rubrik politika Budiarto Shambazy [1], telah terjadi “gerhana nurani”.
Kini saatnya kita merekonstruksi peradaban bangsa Indonesia seturut sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Banyak pihak berpikir dan berusaha merekonstruksi peradaban baru Indonesia. Para pakar politik dan politikus berusaha merekonstruksi peradaban baru di bidang politik dengan reformasi politik. Sayang, reformasi “setengah hati” itu justru melahirkan kultur politik baru, yaitu kultur politik kekerasan. Kata-kata mutiara Bung Karno di depan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 yang dikutip di awal tulisan ini, tampaknya masih relevan dengan situasi bangsa saat ini yang lagi menghadapi potensi ancaman budaya kekerasan di berbagai bidang kehidupan.
Penyebab Krisis
Kita masih saja dilanda krisis multidimensional. Jika krisis itu tidak digarap, peradaban bangsa kita akan kian luntur. Federico Ruiz (1999), seorang teolog spiritualitas Spanyol, menyebutkan tiga penyebab krisis peradaban manusia [2]. Pertama, globalitas (globalità), yaitu kompleksitas dari berbagai elemen dalam suatu situasi atau keadaan. Kedua, radikalitas (radicalitá), yaitu karakter ekstrem dari aneka kelompok masyarakat. Ketiga, kecepatan (rapiditá), yaitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di hadapan kita terbentang globalitas budaya, tata nilai, gaya politik, cara hidup, agama, dan sebagainya. Di satu pihak ada kelompok-kelompok masyarakat yang hanyut dalam globalitas itu. Mereka lebih suka ikut arus karena bebas memilih apa yang disukai. Akibatnya, identitas dirinya menjadi tidak jelas. Peradaban mereka ambigu. Di lain pihak sekelompok orang mengambil sikap radikal. Mereka lebih suka menutup diri terhadap globalitas dan bertahan pada “keyakinan” dan cara hidup secara ketat. Muncullah kelompok-kelompok radikal di berbagai tempat.
Di Indonesia jurang antara kedua kelompok itu tampaknya kian melebar. Tambahan lagi, kita tidak bisa membendung kecepatan (rapidità) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Didukung kecepatan teknologi informasi, globalitas membanjiri kita. Kecepatan kian memperparah keberadaban saat orang tidak punya ”filter” yang kuat.
KRISIS peradaban yang kita hadapi sebenarnya krisis gaya hidup. Kita mau ikut arus zaman atau sebaliknya. Banyak orang bingung menentukan pilihan. Yang paling mudah adalah ikut arus. Muncullah peradaban baru yang ambigu. Di satu pihak ada kelompok ikut arus, tak punya spiritualitas, di lain pihak kelompok ekstrem yang menganggap perubahan sebagai kemunduran spiritualitas.
Rekonstruksi Peradaban
Bagaimana merekonstruksi peradaban baru? Darren E Sherkat dalam ”Religious Socialization: Sources of Influence and Influences of Agency” menyatakan, keluarga adalah agen perubahan keberadaban yang efektif. (Michele Dillon ed., 2003) Dalam keluarga ”dicetak” kepribadian seseorang. Keluarga menjadi tempat orang belajar tata-krama dan sopan-santun. Dalam keluarga mentalitas seseorang dibentuk, prinsip dan nilai-nilai kehidupan ditanamkan. Keluarga menjadi tempat belajar ”berpolitik”, di mana dihadirkan suasana saling menghargai dan mendengarkan, belajar berdiskusi dan berbeda pendapat secara sehat. Keluarga juga menjadi tempat orang belajar dan mengalami cinta, perhatian, toleransi, dan kesediaan untuk berbagi. Keluarga menjadi agen utama rekonstruksi peradaban.
Keberadaban seseorang diwarnai keberadaban keluarganya. Keberadaban publik adalah kompleksitas keberadaban keluarga. Kini saatnya kita menyumbangkan peran masing-masing dengan cara membentuk keberadaban bagi keluarga masing-masing. Jika keluarga-keluarga berantakan, jangan mengharapkan generasi baru yang mempunyai keberadaban lebih baik.
Dengan kata lain, rekonstruksi peradaban baru bangsa Indonesia adalah tanggung jawab dan tugas bersama. Rekonstruksi peradaban bangsa adalah rekonstruksi keberadaban diri dan tiap keluarga. Peradaban bangsa ibarat pelangi yang banyak warna. Tugas kita, menyumbangkan salah satu warna indah.
YOGYAKARTA adalah salah satu anggota keluarga Indonesia. Di tengah kecenderungan terpuruknnya nilai-nilai kemanusiaan itu yang banyak diliputi oleh budaya kekerasan, baik di ranah politik, pemerintahan, hukum, maupun di tataran masyarakat sipil ini, lalu apa kontribusi peran yang bisa disumbangkan oleh Yogyakarta? Persisnya, oleh Budaya Yogya yang bernilai semesta itu?
Yogya Semesta
Untuk dapat membangun jalinan hubungan timbal-balik antara Yogya dan Semesta, serta Indonesia, maka kita perlu memahami dengan baik jiwa dan peran yang disandang Yogyakarta. Dalam banyak kajian pemahaman tentang jiwa dan peran Yogyakarta selalu merujuk pada dua hal mendasar: aspek kesejarahan dan tradisi. Pemahaman kesejarahan dan tradisi itu mendudukkan awal pembentukan Yogyakarta sebagai masa yang sempurna yang telah memberikan landasan berbagai dimensi kebudayaan secara paripurna dengan tokoh sentralnya Pangeran Mangkubumi, Sang Pendirinya.
Berkait dengan itu, adalah menarik untuk mengangkat ilustrasi Revianto Budi Santosa, yang mengabstrasikan Yogyakarta sebagai semesta [3]. Menurutnya, begitulah negri ini diharapkan sebagaimana tersandang dalam namanya Ngayogyakarta Hadiningrat, tempat yang pantas dan prayoga yang menjadi suri keindahan semesta. Pendakuan sebagai negri yang bermatra semesta, berkonsekuensi Yogyakarta memberikan sumbangsih kepada dunia dan juga sekaligus menerima dunia dalam dirinya. Kerelaan untuk berbagi dan menerima paling tidak dalam ranah budaya akan memperkaya khasanah budaya Yogyakarta.
Dengan perkataan lain, “Bringing Yogyakarta to the World, and Bringing the World to Yogyakarta”, sebuah potensi terpendam yang harus digali, dikaji dan diuji untuk dikembangkan serta diisi secara kreatif oleh segenap warga Yogya untuk Indonesia, dengan “Merajut Budaya Yogya, Membangun Peradaban Baru Indonesia” yang bermartabat.
DALAM kerangka pikir seperti itu, Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-5 ini digelar dengan menghadirkan Dr. Ir. (Ars) Revianto Budi Santosa, Dosen Jurusan Arsitektur UII & Dr. Widya Nayati, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, dua nara sumber yang menjadi “tandem” penulisan buku Peringatan 250 Tahun Kota Yogyakarta. Ditambah Prof. Dr. H. Muhammad Machasin, MA, Guru Besar & Anggota Senat UIN “Sunan Kalidjaga”, akan melengkapinya dengan nilai-nilai Islami yang terserap dalam Budaya Yogya.
Dialog dipandu oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti & Hari Dendi. Gelar Seni di bawah arahan Bondan Nusantara, dibantu Drs. Sumaryono, MA & Drs. Sunardi dengan latar “gamelan ringkes” dari siswa-siswa dan lulusan SMKI Yogyakarta. Tempat & Waktu: di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY pada Slasa Wage, 4 September 2007, jam 19.00-22.00.
Yogyakarta, 28 Agustus 2007
Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,
Hari Dendi
HB/hd.
[1] Budiarto Shambazy, “Gerhana Nurani”, Kompas, 28 Agustus 2007.
[2] M Kristiyanto, “Merekonstruksi Keadaban Baru Indonesia”, Kompas, 14 Maret 2005.
[3] Revianto Budi Santosa, “Menjadi Jogja, Memahami Jatidiri & Transformasi Yogyakarta “, Buku Peringatan 250 Tahun Kota Yogyakarta, Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta & Pusat Studi Kebudayaan UGM, cetakan I, September 2006.
No comments:
Post a Comment