Wednesday, 10 October 2007

Pelurusan Sejarah Indonesia Baru

Mata Acara:
“SABDATAMA” di JogjaTV
Senin, 8 Oktober 2007 jam 20.30 - 21.30

Topik :

PELURUSAN SEJARAH INDONESIA BARU


“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
--Bung Karno

Hakikat Sejarah
Dengan mengutip pendapat Huizinga, Sarwono Pusposaputro dalam Catatan Editorial atas buku Pemikiran & Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif (Sartono Kartodirdjo, 1982) menyebutkan, bahwa sejarah adalah pertanggungjawaban masa silam. Dalam pertanggungjawaban tersebut, manusialah yang menentukan arti masa silam itu. Artinya, masa silam bukanlah masa silam sebagai tabula rasa. Melainkan masa silam yang lembaran-lembarannya telah ditulisi oleh manusia dengan tindakan-tindakannya. Tindakan-tindakan itulah yang dinamakan sejarah-sebagai-peristiwa.

Dalam proses mempertanggungjawabkan masa silam yang adalah sebuah sejarah-sebagai peristiwa itu, maka manusia berhak dan wajib memberikan arti sehingga sejarah-sebagai-peristiwa tersebut menjadi sejarah-sebagai-kisah, sejarah-sebagai-tulisan, yang memiliki pokok kaidah sejarah sebagai ilmu.

Ada pun arti itu tak lain dan tak bukan ialah azas yang menentukan saling hubungan bagian-bagian terhadap satu keseluruhan. Bila keseluruhan itu adalah kehidupan, gerak, atau dinamika suatu bangsa, maka bagian-bagian dari kisah atau pertanggungjawaban itu harus disusun sedemikian rupa sehingga senantiasa berlandaskan atas dinamika kehidupan bangsa tersebut. Menjadi menarik, jika bangsa yang hendak mempertanggungjawabkan masa silamnya itu adalah bangsa Indonesia yang belum lama merdeka, dan sedang berproses untuk mencari identitas diri sebagai bangsa yang mandiri…

“Wong Agung”
Memang diakui, penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Napoleon misalnya, bahkan menganggap sejarah sebagai fabel yang disepakati bersama, seperti halnya Babad Tanah Jawi yang bercerita dalam dua dunia: faktual dan fantasi. Maka, sejarah seringkali mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan layaknya sosok "Wong Agung", sehingga daya nalar kita menjadi beku, tanpa bisa menarik pelajaran dari kesuksesan dan kegagalan para pendahulu bangsa.
Dengan konsep the Great Man, menempatkan orang banyak dalam posisi underdog dan hanya menjadi orang pinggiran. Bung Karno dan Pak Harto, sebagai misal, sebelumnya adalah orang-orang kebanyakan, orang biasa seperti kita juga. Yang membuat seseorang menjadi tokoh sejarah di suatu zaman, tidak lain adalah kita-kita, yang kemudian di suatu zaman yang lain mempurukkannya dan sekaligus menghujatnya, adalah kita-kita juga. Dengan semangat primordial, kita tidak akan bisa memetik hikmah bagi penguatan identitas bangsa dalam perjalanan bangsa ke depan yang penuh tantangan.

Gejala ini oleh ahli penulisan sejarah disebut "hagiografi" yang mengkultuskan tokoh sejarah. Sebaliknya historiografi, harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh verifikasi, untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku sejarah dalam kaitan peristiwa sejarah.

Belajar dari Sejarah
Dalam konteks ini, Bung Karno pernah mengingatkan kita dengan ungkapan bersayap ”Jali Merah” --”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Artinya, jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan bangsa ini di masa silam.

Tetapi alangkah sedihnya para bapak bangsa, seandainya mereka melihat bahwa di zaman multikrisis begini ternyata sensitivitas sosial dan sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Bung Karno, Bung Hatta mungkin juga sedih karena hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal bukankah hakikat kemerdekaan adalah meningkatkan harkat dan martabat bangsa?

Jika demikian, maka benarlah ungkapan sejarawan Taufik Abdullah, bahwa ”sejarah tidak memberikan pelajaran apa-apa, kitalah yang harus belajar daripadanya”. Betapa pun kita membesar-besarkan suatu momentum sejarah, kalau tak bisa menarik pelajaran daripadanya, kita tak memperoleh apa-apa, kecuali cuma bermakna upacara seremonial belaka.

Padahal, kelangsungan hidup bangsa tergantung pada keberhasilan membangkitkan, menggerakkan, menata dan mengarahkan seluruh potensi nasional. Nilai-nilai kejuangan yang dulu kita miliki, sungguh tetap penting guna bekal menapaki masa depan.

Oleh sebab itu, marilah kita bersiap diri menghadapi tantangan itu dengan berbenah diri, dengan mengkonsolidasikan semua prestasi, agar dapat kita dayagunakan secara maksimal. Bersamaan dengan itu, kita perbaiki kelemahan dan kekurangan, agar semua sumberdaya dapat kita manfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia.



Pelurusan Sejarah
Semua peristiwa di negeri ini selalu menghadirkan lebih dari sebuah versi. Meminjam metafora Budiarto Shambazy (Kompas, 29/09/2007), layaknya sebuah lagu: ada versi rekaman, remix, live, dangdut, sampai akustik. Suburnya multiple versions mencerminkan kehidupan masyarakat yang menderita penyakit kepribadian jamak atau multiple personality disorder, di mana pemimpin, pemerintah, dan masyarakat gemar bersandiwara. Tampaknya ia ingin mengkaitkannya dengan peristiwa tragis 30 September 1965. Soalnya, penyebab peristiwa G30S itu muncul dalam berbagai versi, mulai dari versi CIA, pakar Barat, PKI, China, Rusia, sampai Buku Putih.

Menurut Ngarsa Dalem dalam berbagai kesempatan, beliau mengatakan, bahwa seorang pelaku atau tokoh sejarah yang memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya, tidak hanya merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga merusak bangsa. Sebab apa yang ditulis berdasarkan keterangannya itu akan memberikan nuansa tertentu dalam proses pemahaman terhadap jatidiri bangsanya.

Karena sekarang ini kita hidup di suatu masyarakat yang terus bergerak dinamis, maka akan dihadapkan semakin susutnya para pelaku sejarah, dan semakin jauhnya jarak antara peristiwa sejarah tersebut dengan generasi di masa depan. Karena itu, tidak berlebihan kiranya, jika kita selalu berupaya membuka lembaran baru bagi pelurusan sejarah perjuangan bangsa. Dengan harapan, agar semua yang mengetahui, untuk memberi keterangan sejujur-jujurnya dengan tidak untuk mengagungkan atau pun menjatuhkan nama siapa pun.

Kita sadari, bahwa upaya-upaya mendistorsi sejarah dengan membangun citra kebenaran tunggal secara sistematis dan intensif lewat versi resmi tentang peristiwa sejarah tertentu ke dalam mata ajaran di sekolah, telah berjalan selama tiga dekade ini. Jelas ini membutuhkan waktu, untuk membenahi sesuatu yang telah diporak-porandakan sekian lama itu.

Setiap bangsa agaknya memerlukan rangkaian peristiwa bersejarah untuk dikenang secara periodik, sebagai pegangan untuk menemukan identitasnya. Oleh sebab itu, jikalau penulisan suatu peristiwa sejarah tidak seperti apa adanya, disengaja atau pun tanpa disadari, maka adalah tugas kita bersama untuk meluruskan dan melengkapinya.

Peran Sejarawan
Sejarah, menurut buku: “What is History” adalah proses berkesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta, yang menjadikan suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa kini dengan masa lampau. Jadi kiranya bisa dimengerti, bahwa tidak ada penulisan atau buku sejarah yang final.

Memang harus diakui, bahwa senantiasa ada korelasi antara kekuasaan dengan penulisan sejarah. Sungguh pun demikian, semakin dewasa suatu bangsa, akan semakin mampu warganya menerima sejarah sebagaimana adanya. Dengan mengutip Alain Decaux, kesadaran sejarah ini perlu kita miliki, karena bangsa yang tidak memiliki kesadaran sejarah adalah bangsa yang yatim piatu.

Iklim reformasi yang ditandai suasana keterbukaan, telah menumbuhkan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi sejarah untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan momentum yang tepat, karena sesungguhnya penulisan sejarah bukanlah persoalan kecil.

Momentum inilah, yang hendaknya dimanfaatkan oleh para sejarawan dan mereka yang peduli pada sejarah bangsanya, untuk secara kritis melakukan pelurusan sejarah, agar bisa menjadi cermin dan bahan pelajaran bagi generasi yang kemudian.

Dialog Interaktif
Topik “Pelurusan Sejarah Indonesia Baru” ini akan dibahas oleh tiga narasumber dari sudut pandang yang berbeda oleh Prof. Dr. Suhartono, Guru Besar Sejarah FIB-UGM, Dr. Purwo Santoso, MA, Pakar Politik Fisipol-UGM dan Lono Lastoro Simatupang, PhD, Ketua Jurusan Antropologi FIB-UGM. Dilengkapi dengan Dialog Interaktif dengan pemirsa, diharapkan ada setitik nyala api guna mendukung upaya-upaya pelurusan sejarah modern Indonesia. Dialog akan dipandu oleh presenter KAW Wibie Maharddika, S.Fil (Gus Wibie).


Yogyakarta, 2 Oktober 2007

Penanggung Jawab/Script Writer
Program “SABDATAMA”,



H a r i D e n d i





HB/hd.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan