Wednesday 26 March 2008

Ringkasan Singkat buku : Merajut Kembali KE-INDONESIA-AN kita

Judul Buku : Merajut Kembali keIndonesiaan Kita
Penulis : Sri Sultan Hamengku Buwana X
Editor : Julius Pour
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : i-viii+310 halaman

Bagian 1 Merajut Kembali Kebudayaan
1. Strategi Kebudayaan
Semakin tinggi tingkat keanekaragaman dan kemajemukan masyarakat ekuivalen dengan tingkat kesulitan yang dihadapi agar pengelolaan administrasi negara dapat berjalan efektif dan efisien. Indonesia diwarnai kemajemukan budaya dan etnis. Ketika terjadi proses modernisasi diikuti oleh mobilitas sosial dan geografis, misalnya maka seriusitas masalah-masalah etnis yang berakar pada budaya seperti prasangka, ketegangan, dan konflik juga mengalami peningkatan. Keadaan ini makin diperparah oleh dampak negatif dari kebijakan otonomi daerah yang dipersepsi secara salah karena cenderung mengedepankan putra daerah serta primordialisme kesukuan - sebuah penguatan chauvinism. Oleh karenanya untuk merajut kembali ke Indonesia-an kita, terutama dari perspektif kebudayaan, langkah-langkah strategis perlu dilakukan. Semua itu bisa dimulai dari pemahaman utuh tentang pendekatan budaya dan koordinat kebudayaan Indonesia itu sendiri. Indonesia baru hanya bisa dicapai dengan melakukan transformasi sosial budaya dengan menyaring dan mengadaptasi budaya iptek global yang bermutu, seraya mengukuhkan jati diri bangsa yang berbasis pada kebhinnekaan budaya sendiri.
Identitas kebudayaan Indonesia seyogyanya ditempatkan dalam konteks budaya yang dicapai lewat proses dialektis antara sistem-sistem yang hidup di masyarakat. Dalam hubungan ini, apa yang disebut identitas kebudayaan sampai hari ini sesungguhnya memang belum ada karena ia masih dalam proses dialektika itu. Pendekatan kebudayaan sudah sangat diperlukan untuk bisa diterapkan integral dengan pendekatan lain. Jaringan kerja yang berakar dari bawah dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan yang terdiri dari berbagai pihak dapat mewujudkan desentralisasi dan otonomi budaya sebagai kebijakan dan strategi kebudayaan guna pembangunan manusia Indonesia dengan makna yang lebih hakiki.
2. Kearifan Budaya Lokal
Nusantara negeri taman dunia. Ini merujuk pada keanekaragaman Indonesia yang bukan saja terdiri dari sekitar 17.500 pulau yang dihubungkan oleh lautan tetapi juga kekayaan etnis, budaya dan agama - ibarat keindahan aneka bunga dalam sebuah taman. Taman tersebut berada dalam ruang gerak kehidupan yang dinamis yang bergulat dalam kepentingan lokal, nasional dan global. Pelestarian nilai-nilai budaya daerah dengan upaya mencari, menggali dan mengkaji serta mengaktualisasikan kearifan budaya lokal merupakan modal dasar baru yang dapat digunakan untuk memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Agar kebudayaan lokal tidak menjadi kusut, solidaritas sosial budaya yang saling menghargai sesama warga bangsa perlu diaktualisasikan kembali. Pendekatan sentralistis mengandung kerentanan terhadap perubahan daripada pendekatan non sentralistis. Pendekatan nonsentralistis dalam aktualisasi solidaritas sosbud bangsa akan lentur, adaptif, tidak membingungkan ketika terjadi krisis. Pembangunan yang mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan bermasalah karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat tersebut.
3. Dialog Antarumat Beragama
Dalam hubungan antaragama perlu dilakukan terobosan dan titian baru yang tidak mengingkari iman yag dipeluk. Iman seseorang haruslah kuat dulu untuk dapat memulai suatu dialog antaragama yang luas dan mendalam. Namun demikian, karena terminologinya adalah dialog (Perjumpaan) dan bukan perang, maka tabir-tabir dan benteng-benteng itu mesti diubah menjadi semacam jembatan kultural. Kegiatan keber-agama-an marak di mana-mana, tetapi konflik berbau agama justru meletus di mana-mana. Ternyata efek demojrasi tdak selalu baik, karena ekspresi tiap individu dan kelompok bisa berbenturan dengan pihak lain. Isu agama sering menyulut konflik, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan agama sebagai rahmat bagi semua umat dengan cara paling tidak meruksi atau kalau mungkin mengeliminasi faktor agama ini sebagai sumber konflik sosial. Disini, dialog antar agama melalui para pemeluknya menjadi salah satu kunci penting bagi tumbuhnya keamanan dan ketentraman hati masyarakat.
4. Studi Kasus : Membawa Yogyakarta ke Pentas Global
Dalam forum kontak dagang, pameran produk ekspor, malam kolaborasi seni dan gelar seni-budaya Yogyakarta, baik yang bertema "Batik" maupun "Seni Suara", Yogya memang sudah mampu merambah pentas dunia. Banyak pemiat seni kelas dunia berinteraksi dengan napas kebudayaan tersebut.
Selama ini terjadi metamorfosis ruang budaya ke ruang komersial. Kehidupan manusia kini telah terkomodifikasi menjadi sebatas komoditas atau barang dagangan - dimaa antara komunikasi, komuni dan komersial pun menjadi tidak terbedakan. Telah terjadi metamorfosis dari produksi industrial ke kapitalisme budaya yang menyebabkan pergeseran mendasar dari ruang budaya (cultural sphere) ke ruang komersial (commercial sphere), di mana semua pengalaman hidup tak lebih seperti halnya pasar komersial. Kapitalisme global telah mengubah dunia menjadi panggung kehidupan yang berorientasi ukuraan kebendaan atau kepemilikan, bukan kekayaan rohani. Kapitalisme global telah menjadi pelaku utama, penulis skenario, produser, perekonstruksi keebutuhan yang mendiktekan selera atau gaya hidup, dan menentukan desain kebudayaan global yang cenderung seragam (homogenized). Produser budaya dan gaya hidup global yang menjadi pengemas industri hiburan seperti MTV dan Hollywood atau perekayasa mode Paris, kini menjadi penentu selera bagi kebanyakan orang kaya dan anak muda di seluruh penjuru dunia. Fenomena budaya Indo berkembang sebagai proses kreolisasi, di mana elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktikkan dengan tidak mempertimbangkan makana aslinya. Di kota-kota bermunculan pasar yang bergerak menjadi bangunan ruko, supermarket, hypermall, factory outlet, atau pusat-pusat perbelanjaan yang megah. Di era dream society masih ada satu jenis pasar sebagai substitusi terhadap budaya produktif. Namanya adalah the market for care; permintaan untuk menolong mereka yang mengalami kesulitan, penderitaan, kaum duafa, yang menjadi tidak prodduktif, tetapi ada yang sifatnya substitutif yang cenderung merusak, yaitu menciptakan ketergantungan atau bahkan mengorganisasi kekuatan emosional untuk kepentingan tertentu yang tidak produktif.
Kalau ingin bangsa ini menjadi produktif, kita jangan bertindak populis merusak budaya produktif. Di sini kita dapat melihat dua paradigma pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam aplikasinya pada industri. Pertama pada tradisi di Eropa dan Amerika yang memulai pengembangan teknologi dari temuan di bidang sains dasar: maatematika, fisika, kimia dan biologi yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk teknologi, sedangkan tradisi di Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Cina, tradisi matematis tidak terlalu kuat, tetapi memiliki tradisi rekayasa yang kuat.
Bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya Yogyakarta memiliki tradisi ke-pengrajin-an (craftsmanship) lebih cocok menerapkan tradisi yang kedua, akan tetapi riset-riset ilmu dasar perlu diterapkan untuk pengembangan teknologi-teknologi baru, seperti bioteknologi, teknologi informasi, dan lain-lain. Jalur yang paling murah dan cepat adalah melalui rekayasa berbalik. Dengan terbatasnya sumber daya ekonomi, Yogyakarta perlu memperluas aplikasi modal budaya dan modal sosial sebagai sumber daya yang mampu ditransformasikan menjadi nilai tambah. Gelar seni dan budaya perlu dihidupkan terus guna mengakselerasi masuknya Yogyakarta ke pentas dunia. Yogyakarta selalu terbuka bagi setiap gelar seni budaya, baik yang klasik dan kontemporer maupun gelar seni etnis-etnis Nusantara dan snei budaya dari mancanegara. Yogyakarta seakan sebuah jendela budaya di mana kita bisa melihat ragam budaya dunia, juga sebagai pintu budaya yang terbuka bagi penyemaian kreatifitas dan pengembangan budaya-budaya etnis Nusantara.
Sebenarnya buku ini terdiri dari 5 bagian, yakni :
Bagian 1 Merajut Kembali Kebudayaan
1. Merajut Kebudayaan
2. Kearifan Budaya Lokal
3. Dialog Antarumat Beragama
4. Studi Kasus : Membawa Yogyakarta ke Pentas Global
Bagian 2 Merajut Kembali Kebangsaan
1. Membangun Jati Diri Bangsa
2. Revitalisasi Nasionalisme Indonesia
3. Pancasila
Bagian 3 Merajut Kembali Ekonomi
1. Teknologi bagi Pemberdayaan Ekonomi
2. Menjawab Tantangan Ekonomi dan Bisnis
3. Strategi Ekonomi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
4. Ketenagakerjaan dan Pemberdayaan Perempuan
Bagian 4 Merajut Kembali Politik
1. Konstitusi yang berpihak pada Rakyat
2. Transformasi Budaya Birokrasi
3. Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Hubungan Luar Negeri
Bagian 5 Merajut Kembali Hukum dan Pertahanan-Keamanan
Bapak Sultan di bagian ke 5 ini mengulas mengenai :
1. Profesionalisme Penegak Hukum
2. TNI Abad ke-21: Aktualisasi Semangat Soedirman
3. Strategi Keamanan nasional
Untuk mengetahui isi lebih lengkap bagian demi bagian dari buku ini, maka Anda dapat mencari bukunya di toko buku Gramedia terdekat di kota Anda.
***********

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan