Wednesday 10 October 2007

Anak Muda Jogja Yang Bebas Narkoba

Yogyakarta merupakan kota pendidikan, kota budaya dan kota tujuan pariwisata. Banyak orang dari luar daerah atau luar negara datang ke Yogyakarta baik secara permanen maupun non permanen. Kedatangan mereka bisa dibarengi dengan obat-obatan terlarang yang akan melunturkan pesona kota pusaka budaya ini. Oleh karenanya Pemda DIY bekerja sama dengan POLDA untuk melakukan tindakan preventif agar kasus narkoba tidak merajalela di dalam masyarakat Yogyakarta.
Dr Widya Fatmawati di Ruang Rapat Acara Dharma Wanita BAPEDA Prov. DIY, praktisi di RSJ Ghrasia, Pakem menceritakan tentang NAFSA. Menurut dia, NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/ zat/ obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik,psikis, dan fungsi sosialnya krn trjd kebiasaan, ketagihan, dan ketergantungan.

Jenis NAPZA yang disalahgunakan
1. Narkotika
adalah zat atau obat yang dpt menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
morfin, heroin, petidin, ganja/ kanabis dll

2. Psikotropika
adalah zat atau obat yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
ekstasi, shabu, amfetamin dll

3. Zat adiktif lainnya
adalah bahan/ zat yg berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut narkotika dan psikotropika, meliputi:
- minuman beralkohol (whiskey, vodca, manson house, TKW dll)
- Inhalansia (gas yg dihirup)
- lem, thinner, nail remover, bensin

PENGGUNAAN NAPZA

* Diperlukan untuk dunia pengobatan/Medik
* Penggunaan diatur oleh UU RI tentang Narkotika dan Psikotropika
* Morfin sebagai anti nyeri yang kuat penggunaannya hanya untuk kepentingan medik dan diatur dengan Pedoman Penggunaan Morfin yang dikeluarkan Depkes
Penyalahgunaan dan Ketergantungan

Penyalahgunaan NAPZA
Penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA scr berkala atau teratur di luar indikasi medis, shg menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan gangguan fungsi sosial.

Ketergantungan NAPZA
Keadaan dimana tlh terjadi ketergantungan fisik dan psikis, shg tubuh memerlukan jumlah NAPZA yg makin bertambah(toleransi)

POLA PENGGUNAAN NAPZA
Pengaruh dan Akibat Penyalahgunaan NAPZA
Bergantung pd beberapa faktor, yaitu:
Jenis yg digunakan
Jumlah atau dosis yg dipakai
Frekuensi pemakaian
Cara pemakaian
Beberapa NAPZA yg digunakan bersamaan
Kondisi fisik pemakai
A. Pengaruh terhadap Susunan Saraf Pusat
Gangguan daya ingat
Gangguan perhatian
Gangguan persepsi
Gangguan motivasi
Gangguan kendali diri
Gejala yang muncul
Intoksikasi
- ganja: perasaan melambung, inkoherensi dan asosiasi longgar, bicara cepat, percaya diri meningkat, disorientasi, halusinasi, mual, diare, parestesi, pusing
- obat tidur dan alkohol: lepas kontrol, agresif, mudah tersinggung, dll
- stimulansia (amfetamin, ekstasi, shabu): denyut nadi meningkat, TD meningkat, mual, muntah, mulut kering, tidak bisa diam, gemetar
- opioid (heroin/ putauw, morfin): cadel, apatis, mengantuk, daya ingat terganggu, gerak lamban

Kelebihan dosis (over dosis):
- heroin/ putauw: penekanan sistem pernafasan, shg dpt berakibat kematian
- amfetamin (ekstasi, shabu): kematian akibat pecahnya pembuluh darah otak

Sindrom ketergantungan
- Ketergantungan Fisik, ditunjukkan dengan adanya toleransi dan atau gejala putus zat
- Ketergantungan Psikologis, adalah keadaan dimana adanya keinginan/ dorongan yang tak tertahankan (kompulsif) untuk menggunakan NAPZA.

B. Komplikasi Medik-psikiatri (Ko-morbiditas)
Gangguan tidur, gangguan fungsi seksual, cemas, depresi berat, pada penyalahguna heroin/ putaw
Paranoid, psikosis, depresi berat kadang-kadang percobaan bunuh diri, mania, agitasi, cemas sampai panik, keadaan ini dijumpai pada penyalahguna stimulansia
Gangguan psikotik, gangguan cemas, kehilangan motivasi, acuh tak acuh dan gangg daya ingat. Sering ditemukan pada penyalahguna ganja
Depresi, cemas sampai panik dan paranoid sering ditemukan pd penyalahgunaan alkohol dan sedatif hipnotika

c. Komplikasi Medik

Akibat pemakaian yang lama:

Opiat (heroin, putaw)
-Paru: bronkhopneumonia, edema paru
-Jantung: endokarditis
-Hepar: hepatitis C
-Penyakit menular seksual & HIV/AIDS
Kanabis (ganja, cimeng)
-Daya tahan tubuh turun ® mudah infeksi
-Kerusakan mukosa mulut ® hitam & kotor
-Radang saluran nafas kronis

c. Kokain
-Aritmia jantung
-Ulkus lambung
-Perforasi septum nasi
-Kerusakan paru
-Malnutrisi & anemia
d. Alkohol
-Sal.Cerna: tukak lambung, perdarahan usus, kanker
-Hepar: sirosis hepatis & kanker hati

Stimulansia (amfetamin, ekstasi, shabu)
-Perdarahan intrakranial
-Denyut jantung tidak teratur
-Malnutrisi & anemia
-Gangguan jiwa (depresi berat, psikosis, paranoid)
Inhalansia
-Toksis pada hepar, otak, paru, jantung & ginal
-Cepat lelah
-Kulit membiru

2. Akibat pola hidup yang berubah:
Berkurangnya selera makan
Kurangnya perhatian terhadap mutu makanan & kebersihan diri, kurang gizi, kurus, pucat, penyakit kulit & gigi berlubang

3. Akibat alat suntik & bahan pencampur yang tidak steril:
Hepatitis
Endokarditis
HIV/AIDS
Infeksi kulit/abses pada bekas suntikan

Penanganan

Tujuan terapi:
Penghentian total
Pengurangan frekuensi & keparahan kekambuhan
Perbaikan fungsi psikologis & adaptasi sosial

Macam terapi:
Detoksifikasi
-Tujuan: mengatasi sindrom putus zat ® tubuh bersih dari metabolit
metode:
1. Cold Turkey
2. Konvensional/simptomatik
3. Substitusi/pengganti
4. Rapid detox

Terapi rumatan
-Tujuan:
mencegah/mengurangi terjadinya craving terhadap opioid, mencegah relaps, restrukturisasi kepribadian, memperbaiki fungsi psikologi organ


-Cara:
terapi psikofarmaka (naltrexon, metadon, buprenorfin)
terapi perilaku

Terapi Rehabilitasi

-Tujuan:
1. mempunyai motivasi kuat tidak pakai lagi
mampu menolak tawaran
menghilangkan rendah diri & kembali PD
mampu mengelola waktu
memperbaiki perilaku sehari-hari
konsentrasi belajar/bekerja
dapat diterima lingkungan
dapat membawa diri

Terapi Pasca Rawat
-Tujuan: memperkecil kekambuhan


Model Pelayanan NAPZA di RS Grhasia

Sebelum Tahun 2005, pasien kasus NAPZA masih jadi satu dengan pasien gangguan jiwa lain. Sesudah Tahun 2005 sudah dikarantina di gedung tersendiri, 40 tempat tidur, program rawat jalan dan ranap, dll. Oleh karenanya akan terasa aman & nyaman bagi pasien maupun dokternya karena lingkungan terpisah dengan unit jiwa, dan privacy terjaga.

Fasilitas RS Grashia bagi pasien rawat Jalan meliputi UGD NAPZA, poliklinik NAPZA, layanan VCT, dan layanan Metadon (dalam proses), Elektromedik lantai II (LAB KLINIK), pemeriksaan laboratorium darah dan urin lengkap ( Hepatitis B Dan C,HIV/AIDS,LFT (test fungsi hati, NAPZA, dll). Bantuan alat Laborat dari BNN (Tahun 2004 dan 2005): Gas Chromatograf dan ELIZA

Bagi pasien rawat Inap dilengkapi dengan 44 tempat tidur à VIP, KL I, KL II, Ruang makan bersama, Ruang olah raga, Perpustakaan, Mushola, Ruang Hipnoterapi.

Di samping itu SDM untuk ruang NAPZA sudah terlatih, 2 psikiater, 3 dokter umum, 2 psikolog,
9 paramedis, 2 konselor junkies, 5 konselor VCT, 4 untuk CST, 5 untuk TRM, 5 konselor VCT
(2 psikiater, 1 psikolog, 1 dokter umum, 1 paramedis), 4 tenaga CST (1 internist, 1 dokter umum, 2 paramedis), 5 tenaga TRM (1 psikiater, 1 dokter umum, 2 paramedis, 1 AA)

Layanan bagi pasien NAPZA di RS Grashia dapat berupa Rawat jalan/rawat inap, Detoksifikasi,
Psikoterapi, Hypnoterapi, Terapi rumatan, VCT, CST.

Pelurusan Sejarah Indonesia Baru

Mata Acara:
“SABDATAMA” di JogjaTV
Senin, 8 Oktober 2007 jam 20.30 - 21.30

Topik :

PELURUSAN SEJARAH INDONESIA BARU


“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
--Bung Karno

Hakikat Sejarah
Dengan mengutip pendapat Huizinga, Sarwono Pusposaputro dalam Catatan Editorial atas buku Pemikiran & Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif (Sartono Kartodirdjo, 1982) menyebutkan, bahwa sejarah adalah pertanggungjawaban masa silam. Dalam pertanggungjawaban tersebut, manusialah yang menentukan arti masa silam itu. Artinya, masa silam bukanlah masa silam sebagai tabula rasa. Melainkan masa silam yang lembaran-lembarannya telah ditulisi oleh manusia dengan tindakan-tindakannya. Tindakan-tindakan itulah yang dinamakan sejarah-sebagai-peristiwa.

Dalam proses mempertanggungjawabkan masa silam yang adalah sebuah sejarah-sebagai peristiwa itu, maka manusia berhak dan wajib memberikan arti sehingga sejarah-sebagai-peristiwa tersebut menjadi sejarah-sebagai-kisah, sejarah-sebagai-tulisan, yang memiliki pokok kaidah sejarah sebagai ilmu.

Ada pun arti itu tak lain dan tak bukan ialah azas yang menentukan saling hubungan bagian-bagian terhadap satu keseluruhan. Bila keseluruhan itu adalah kehidupan, gerak, atau dinamika suatu bangsa, maka bagian-bagian dari kisah atau pertanggungjawaban itu harus disusun sedemikian rupa sehingga senantiasa berlandaskan atas dinamika kehidupan bangsa tersebut. Menjadi menarik, jika bangsa yang hendak mempertanggungjawabkan masa silamnya itu adalah bangsa Indonesia yang belum lama merdeka, dan sedang berproses untuk mencari identitas diri sebagai bangsa yang mandiri…

“Wong Agung”
Memang diakui, penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Napoleon misalnya, bahkan menganggap sejarah sebagai fabel yang disepakati bersama, seperti halnya Babad Tanah Jawi yang bercerita dalam dua dunia: faktual dan fantasi. Maka, sejarah seringkali mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan layaknya sosok "Wong Agung", sehingga daya nalar kita menjadi beku, tanpa bisa menarik pelajaran dari kesuksesan dan kegagalan para pendahulu bangsa.
Dengan konsep the Great Man, menempatkan orang banyak dalam posisi underdog dan hanya menjadi orang pinggiran. Bung Karno dan Pak Harto, sebagai misal, sebelumnya adalah orang-orang kebanyakan, orang biasa seperti kita juga. Yang membuat seseorang menjadi tokoh sejarah di suatu zaman, tidak lain adalah kita-kita, yang kemudian di suatu zaman yang lain mempurukkannya dan sekaligus menghujatnya, adalah kita-kita juga. Dengan semangat primordial, kita tidak akan bisa memetik hikmah bagi penguatan identitas bangsa dalam perjalanan bangsa ke depan yang penuh tantangan.

Gejala ini oleh ahli penulisan sejarah disebut "hagiografi" yang mengkultuskan tokoh sejarah. Sebaliknya historiografi, harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh verifikasi, untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku sejarah dalam kaitan peristiwa sejarah.

Belajar dari Sejarah
Dalam konteks ini, Bung Karno pernah mengingatkan kita dengan ungkapan bersayap ”Jali Merah” --”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Artinya, jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan bangsa ini di masa silam.

Tetapi alangkah sedihnya para bapak bangsa, seandainya mereka melihat bahwa di zaman multikrisis begini ternyata sensitivitas sosial dan sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Bung Karno, Bung Hatta mungkin juga sedih karena hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal bukankah hakikat kemerdekaan adalah meningkatkan harkat dan martabat bangsa?

Jika demikian, maka benarlah ungkapan sejarawan Taufik Abdullah, bahwa ”sejarah tidak memberikan pelajaran apa-apa, kitalah yang harus belajar daripadanya”. Betapa pun kita membesar-besarkan suatu momentum sejarah, kalau tak bisa menarik pelajaran daripadanya, kita tak memperoleh apa-apa, kecuali cuma bermakna upacara seremonial belaka.

Padahal, kelangsungan hidup bangsa tergantung pada keberhasilan membangkitkan, menggerakkan, menata dan mengarahkan seluruh potensi nasional. Nilai-nilai kejuangan yang dulu kita miliki, sungguh tetap penting guna bekal menapaki masa depan.

Oleh sebab itu, marilah kita bersiap diri menghadapi tantangan itu dengan berbenah diri, dengan mengkonsolidasikan semua prestasi, agar dapat kita dayagunakan secara maksimal. Bersamaan dengan itu, kita perbaiki kelemahan dan kekurangan, agar semua sumberdaya dapat kita manfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia.



Pelurusan Sejarah
Semua peristiwa di negeri ini selalu menghadirkan lebih dari sebuah versi. Meminjam metafora Budiarto Shambazy (Kompas, 29/09/2007), layaknya sebuah lagu: ada versi rekaman, remix, live, dangdut, sampai akustik. Suburnya multiple versions mencerminkan kehidupan masyarakat yang menderita penyakit kepribadian jamak atau multiple personality disorder, di mana pemimpin, pemerintah, dan masyarakat gemar bersandiwara. Tampaknya ia ingin mengkaitkannya dengan peristiwa tragis 30 September 1965. Soalnya, penyebab peristiwa G30S itu muncul dalam berbagai versi, mulai dari versi CIA, pakar Barat, PKI, China, Rusia, sampai Buku Putih.

Menurut Ngarsa Dalem dalam berbagai kesempatan, beliau mengatakan, bahwa seorang pelaku atau tokoh sejarah yang memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya, tidak hanya merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga merusak bangsa. Sebab apa yang ditulis berdasarkan keterangannya itu akan memberikan nuansa tertentu dalam proses pemahaman terhadap jatidiri bangsanya.

Karena sekarang ini kita hidup di suatu masyarakat yang terus bergerak dinamis, maka akan dihadapkan semakin susutnya para pelaku sejarah, dan semakin jauhnya jarak antara peristiwa sejarah tersebut dengan generasi di masa depan. Karena itu, tidak berlebihan kiranya, jika kita selalu berupaya membuka lembaran baru bagi pelurusan sejarah perjuangan bangsa. Dengan harapan, agar semua yang mengetahui, untuk memberi keterangan sejujur-jujurnya dengan tidak untuk mengagungkan atau pun menjatuhkan nama siapa pun.

Kita sadari, bahwa upaya-upaya mendistorsi sejarah dengan membangun citra kebenaran tunggal secara sistematis dan intensif lewat versi resmi tentang peristiwa sejarah tertentu ke dalam mata ajaran di sekolah, telah berjalan selama tiga dekade ini. Jelas ini membutuhkan waktu, untuk membenahi sesuatu yang telah diporak-porandakan sekian lama itu.

Setiap bangsa agaknya memerlukan rangkaian peristiwa bersejarah untuk dikenang secara periodik, sebagai pegangan untuk menemukan identitasnya. Oleh sebab itu, jikalau penulisan suatu peristiwa sejarah tidak seperti apa adanya, disengaja atau pun tanpa disadari, maka adalah tugas kita bersama untuk meluruskan dan melengkapinya.

Peran Sejarawan
Sejarah, menurut buku: “What is History” adalah proses berkesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta, yang menjadikan suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa kini dengan masa lampau. Jadi kiranya bisa dimengerti, bahwa tidak ada penulisan atau buku sejarah yang final.

Memang harus diakui, bahwa senantiasa ada korelasi antara kekuasaan dengan penulisan sejarah. Sungguh pun demikian, semakin dewasa suatu bangsa, akan semakin mampu warganya menerima sejarah sebagaimana adanya. Dengan mengutip Alain Decaux, kesadaran sejarah ini perlu kita miliki, karena bangsa yang tidak memiliki kesadaran sejarah adalah bangsa yang yatim piatu.

Iklim reformasi yang ditandai suasana keterbukaan, telah menumbuhkan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi sejarah untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan momentum yang tepat, karena sesungguhnya penulisan sejarah bukanlah persoalan kecil.

Momentum inilah, yang hendaknya dimanfaatkan oleh para sejarawan dan mereka yang peduli pada sejarah bangsanya, untuk secara kritis melakukan pelurusan sejarah, agar bisa menjadi cermin dan bahan pelajaran bagi generasi yang kemudian.

Dialog Interaktif
Topik “Pelurusan Sejarah Indonesia Baru” ini akan dibahas oleh tiga narasumber dari sudut pandang yang berbeda oleh Prof. Dr. Suhartono, Guru Besar Sejarah FIB-UGM, Dr. Purwo Santoso, MA, Pakar Politik Fisipol-UGM dan Lono Lastoro Simatupang, PhD, Ketua Jurusan Antropologi FIB-UGM. Dilengkapi dengan Dialog Interaktif dengan pemirsa, diharapkan ada setitik nyala api guna mendukung upaya-upaya pelurusan sejarah modern Indonesia. Dialog akan dipandu oleh presenter KAW Wibie Maharddika, S.Fil (Gus Wibie).


Yogyakarta, 2 Oktober 2007

Penanggung Jawab/Script Writer
Program “SABDATAMA”,



H a r i D e n d i





HB/hd.

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-6

Komunitas Budaya Yogya Semesta
Jl. Cendana 9 Yogyakarta tel: 0274 7460235 fax: 0274 374919 email: yogya_semesta@yahoo.co.id


Mujahadah Kawula Alit:
Manekung, Maneges, Munajat Ing Gusti


“Duh Gusti ...
Nuwun sewu-sewu sembah kawula
Saking raos kang ginolong-gilig lan nyawiji,
Kawula alit ginugat-ginurit, nyuwun sih Asihing Gusti ...”
--Djoko Rahardjo


IMAM Ja’farAl-Shadiq AS. berkata, “Hati orang-orang arif terdiri atas tiga unsur: rasa takut, harapan, dan cinta. Takut adalah cabang ilmu, harapan cabang keyakinan, dan cinta cabang makrifat. Bukti takut adalah berlari, bukti harapan adalah meminta, dan bukti cinta adalah mengutamakan Kekasih daripada yang lain. Kalau terdapat ilmu dalam hati, ia takut. Kalau terjadi rasa takut, ia berlari. Kalau berlari, ia selamat. Kalau bersinar cahaya keyakinan dalam hati, ia menyaksikan kebaikan, kalau bisa melihat kebaikan, ia berharap. Kalau merasakan manisnya harapan, ia mencari, dan kalau berhasil dalam mencari, ia pun mendapatkan.

Kalau cahaya makrifat bersinar dalam hati, maka bertiup kencang angin cinta. Kalau bertiup kencang angin cinta dan merasa senang dalam bayang-bayang Kekasih, ia mengutamakan Sang Kekasih atas selainnya, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta mendahulukan pilihan pada keduanya atas segala sesuatu selain keduanya itu. Dan jika istiqamah bersama hamparan kesenangan bersama Sang Kekasih, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, ia sampai pada inti munajat dan kedekatan.

Hati Orang-orang Arif
Maka, ingatlah! Hai orang-orang mukmin, terutama segenap kawula alit yang “manekung, maneges, munajat ing Gusti” dalam Mujahadah ini, jika ingin memperoleh ridha-Nya, hendaklah memiliki hati yang arif agar dapat menangkap ilmu, keyakinan dan cahaya makrifat itu.



Ketiga unsur ini layaknya al-haram, masjid, dan Ka’bah. Maka, siapa yang masuk al-haram, ia aman dari segenap makhluk. Siapa yang masuk masjid, aman anggota raganya dari digunakannya dalam maksiat. Siapa masuk Ka’bah, aman hatinya dari disibukkan oleh mengingat selain Allah Yang Maha Luhur.

Hukum-hukum Hati
Selanjutnya Imam Ja’far Al-Shadiq AS. pun menambahkan, “I’rab hati ada empat bentuk: raf’ (mengangkat), fath (membuka), khofdh (merendahkan), dan waqf (berhenti)”. Mengangkat hati dalam keadaan mengingat Allah Yang Maha Luhur, membuka hati dalam keadaan ridha terhadap Allah, merendahkan (menistakan) hati dalam keadaan sibuk dengan selain Allah, dan berhenti (tidak mengingat Allah) dalam keadaan kelalaian dari Allah. Tanda mengangkat ada tiga: kepatuhan, tidak ada penentangan, dan kesenantiasaan rindu. Tanda membuka ada tiga: tawakal, jujur, dan yakin. Tanda merendahkan ada tiga: sombong, ria, dan tamak. Tanda berhenti ada tiga: hilang manisnya ketaatan, tidak ada rasa pahitnya maksiat, dan rancu dalam ilmu tentang halal dan haram.

Maka, lihatlah pula, hai orang-orang mukmin, terutama kawula alit yang ber-munajat, apakah kamu tidak menyaksikan bahwa seorang hamba kalau mengingat Allah dengan takzim secara tulus, terangkat segala tirai antara dia dan Allah yang ada sebelumnya? Dan kalau hati tunduk pada qadha’ Allah Yang Maha Luhur dengan syarat rela dari-Nya, betapa terbuka dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan ketenangan?

Penjagaan Hati
Imam Ja’far Al-Shadiq AS. berkata lagi, “Siapa yang menjaga hatinya dari kelalaian, dirinya dari syahwat, dan akalnya dari kebodohan, ia telah masuk dalam istana orang-orang yang selalu ingat. Lalu siapa yang menjaga ilmunya dari hawa nafsu, agamanya dari bid’ah, dan hartanya dari yang haram, ia termasuk golongan orang-orang saleh.

Rasulullah SAW. bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah”, maksudnya adalah ilmu tentang diri. Maka wajib bagi setiap diri seorang mukmin pada setiap keadaan agar senantiasa bersyukur dan memohon maaf, dengan makna jika Dia menerimanya, Dia telah bermurah hati dan kalau menolaknya, Dia telah berlaku adil (Mishbah As-Syari’ah). Itulah wujud “Asihing Gusti”, tertuang dalam intro tulisan ini, yang bagaimana pun juga pilihan itu harus diterima dengan lapang dada oleh para kawula alit, sebagai bentuk ketertundukan kepada-Nya.




Malam Seribu Bulan
Malam seribu bulan, laylat al qadr, telah datang. Dalam tradisi Jawa diawali dengan Malêm Sêlikuran, yang menandai malaikat-malaikat pada turun ke bumi menjemput doa, untuk nanti dibawa ke langit. Malêm Sêlikuran bisa disebut “lampah ratri ambirat wengi”, yang mengandung makna mengatasi kegelapan mengusir kekelaman. Adalah juga momentum mendekatkan diri ke haribaan-Nya –manekung-maneges-munajat kersaning Hyang Widdhi (Sri Sultan HB X).

Rasulullah SAW. adalah orang pertama yang meraih Lailatul Qadar, sekaligus menandai momentum pengangkatannya sebagai Rasul-Nya. Dengan begitu, bukan hanya garis tangan beliau saja yang berubah, tapi juga mengubah dunia, membawa berkah bagi umat manusia. Dan tentunya kita berharap, para kawula alit yang ber-munajat pada malam Mujahadah ini pun juga memperoleh limpahan hidayah-Nya.

Mujahadah Kawula Alit
Dalam bingkai spiritual seperti itu, bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan ini, maka kegiatan “YogyaSemesta” Seri-6 secara khusus dikemas dalam Mujahadah Kawula Alit. Mujahadah adalah perjuangan para hamba-Mu, kawula alit, yang mengharap pertolongan Allah SWT., dan secara konstekstual merupakan gerakan spiritual anak-anak bangsa yang mengalami musibah dan ujian hidup.

Mujahadah dimaksudkan menstimuli potensi nurani para Jama’ah, sebagai kunci hamba-Nya dalam menghadapi beratnya masalah-masalah kehidupan. Sinergi potensi itu adalah keikhlasan, khusnudzon, tawakal, optimisme, disertai kesabaran dalam berharap. Maka, bersabarlah wahai Saudaraku, semoga senantiasa bijak dan mampu memetik hikmah di balik kehendak-Nya yang tak terduga. Innallaha ma’shobirin.

Insya’ Allah Mujahadah pada Malam Seribu Bulan ini menjadi punya makna lebih, karena menjadi telaga spiritual yang mencerahkan hati dan menguatkan iman bagi kawula alit, agar dapat segera lepas dari beban hidup yang menghimpit. Amien ya Rabbal Alamien.

Tausyiah
Mujahadah ini akan diisi Tausyiah (tanpa dialog) oleh “Duo Kyai”: HM Jazir ASP, Pengelola Pondok Pesantren “Abdullah Ibnu Abbas”, Grojogan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, dan HM Nasruddin Anshoriy Ch, Pengasuh Pondok PesanTrend “Ilmu Giri”, Selapamiara, Bantul.



Diselingi tembang macapat “Sardula Kawekas” dan geguritan kawula alit oleh RAy. Hj. Sitoresmi Prabuningrat. Dipandu oleh Tazbir, SH, MHum, Kepala BAPARDA DIY, dan KAW Wibi Maharddika, SFil, Pimpinan Maharddika Java International (MhaJava).

Gelar Seni berupa Seni Hadrah arahan Gus Wibie merupakan kolaborasi seni Islami Sami’in Setia Sema’an Al-Qur’an Moloekatan Jantiko Mantap, Kelompok Shalawat Al-Mizan UIN “Sunan Kalidjaga”, Kelompok Gamelan Dusun Sedan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Tempat & Waktu: di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY pada malam Slasa Wage, 9 Oktober 2007, jam 18.30-22.00. Diawali dengan shalat isya’ dan shalat tarawih, dilanjutkan dengan mujahadah.


Yogyakarta, 1 Oktober 2007

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



Hari Dendi



HB/hd.

Tuesday 9 October 2007

Revitalisasi Kebudayaan Yogyakarta Menjelang Era Global

Abstraksi
Kebudayaan menjadi modal pembangunan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebudayaan dapat menjadi motor penggerak dan motivator dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Pembangunan kebudayaan tidak bisa lepas dari fenomena globalisasi. Era globalisasi menawarkan banyak kepraktisan, kemudahan, kebebasan yang memiliki daya tarik besar bagi generasi muda. Kebudayaan Jawa dianggap memiliki kaidah-kaidah yang justru menjauhkan diri dari pendukung-pendukungnya. Padahal Yogyakarta memiliki kekayaan kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Kebudayaan sebagai salah satu pilar daya saing daerah memerlukan strategi perencanaan yang berbasis kebudayaan. Dalam perencanaan berstrategi kebudayaan diperlukan ketahanan budaya, yang mencakup kemampuan budaya Jawa di Jogja menghadapi ancaman penggerusan baik dari dalam maupun budaya global.

Pendahuluan
A. Latar Belakang Permasalahan

Banyak faktor yang menentukan daya saing, seperti teknologi, sumber daya manusia, prasarana, lingkungan, atau budaya. Masalah daya saing bukan hanya menyangkut industri dan perdagangan. Budaya merupakan salah satu pilar daya saing daerah yang sangat penting. Budaya yang khas akan menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Ketertarikan suatu masyarakat terhadap budaya tertentu akan berpengaruh pada peluang yang lain. Budaya yang manakah yang bisa dijadikan daya saing daerah ?
Dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional terkandung keinginan untuk mewujudkan masyarakat bermoral, beretika, dan berbudaya. Dalam membangun peradaban bangsa diperlukan strategi pembangunan kebudayaan. Oleh karenanya pembangunan kebudayaan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mewujudkan misi tersebut. Misi RPJP nasional bersinergi dengan misi pembangunan DIY yang ingin mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka 2020.
Membicarakan kebudayaan, yang manakah yang menjadi sasaran program pembangunan kebudayaan di Yogyakarta. Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: Kebudayaan material dan Kebudayaan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Kebudayaan Yogyakarta merupakan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY yang berakarkan kebudayaan lama dan asli serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap, pemerkaya, dan penyempurna.
Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, Yogyakarta memiliki modal besar dalam program pembangunan nasional. Dalam hal kesejahteraan dan kepurbakalaan, DIY memiliki 365 buah Benda Cagar Budaya, yang terdiri dari kraton, rumah adat, bangunan kolonial, goa, tempat beribadah, situs kota, benteng, dan lain-lain yang masing-masing memiliki keunikan dan kelangkaan tersendiri dan 13 Kawasan Cagar Budaya. Selain itu juga terdapat 30 museum. Dalam hal adat tradisi, kesenian dan nilai budaya, DIY diperkaya oleh 2863 grup/ormas kesenian, 46 jenis potensi kesenian, 45 buah potensi kesenian, 45 buah sentra industri kerajinan, dan 32 desa budaya. (Berdasarkan data tahun 1995). Para leluhur Yogyakarta juga mewariskan nilai-nilai filosofis yang bisa menjadi dasar dalam setiap tata perilaku kita. Potensi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa eksistensi Sultan dan insitusi Kraton masih diakui di tingkat nasional dan internasional.
Apabila kita melihat kuantitas dari potensi budaya di DIY, dapat dikatakan bahwa DIY memiliki modal besar dalam pembangunan kebudayaan di daerah. Akan tetapi, kenyataannya kuantitas dan kualitas pelestarian terhadap warisan budaya masih belum optimal, apalagi pasca gempa 27 Mei 2006 tingkat kerusakan BCB semakin tinggi, tingkat kesadaran masyarakat terhadap keberadaan BCB/KCB masih rendah. Belum lagi aset budaya fisik harus terancam tergusur kepentingan investasi dan ekonomi. Museum sebagai tempat penyimpanan warisan budaya fisik dan sebagai tempat pembelajaran dan penelitian wisata bagi masyarakat, ternyata kurang diminati oleh masyarakat lokal. Fasilitasi terhadap apresiasi seni budaya dari masyarakat belum maksimal, minimnya dana untuk sektor kebudayaan. Wajarlah jika atraksi-atraksi seni pada ruang-ruang publik masih rendah dan masih bersifat lokal, belum meng-internasional. Selain itu juga nilai-nilai luhur budaya belum menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Keadaan umum di atas, diperparah oleh fenomena globalisasi yang datang bagaikan hantu bagi pejuang kebudayaan di daerah. Globalisasi adalah berkurang atau hilangnya batasan negara dalam pertukaran sukarela lintas batas dan produksi global yang semakin terintegrasi. Globalisasi diasumsi akan membawa budaya dunia menuju homogenitas. Yang lebih mengherankan lagi, daya serap masyarakat lokal lebih besar pada budaya yang dibawa dunia global, daripada daya serap terhadap nilai-nilai lokal.
Globalisasi dan percampuran dengan budaya lain tidak bisa terelakkan, mengingat posisi Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan DIY didiami oleh masyarakat dari luar daerah. DIY merupakan kota yang memiliki romantika sejarah, dari klasik hingga zaman revolusi kemerdekaan, yang meninggalkan kesan mendalam bagi orang-orang yang pernah datang ke sana. Selain itu DIY menjadi salah satu daerah tujuan wisata bagi penduduk dunia. Masyarakat Yogyakarta memiliki nilai-nilai keterbukaan bagi orang-orang asing, sehingga akulturasi budaya sering terjadi.
B. Permasalahan
Suatu kebudayaan dikatakan bernilai tinggi apabila dia mampu menjawab tantangan yang ada dengan bertanggung jawab. Kebudayaan tidak diam, tetapi bergerak, tumbuh dan berkembang. Kebudayaan memang harus memiliki challenge agar kebudayaan itu hidup, tetapi challenge harus diimbangi dengan response. Jika dikatakan bahwa suatu budaya tak boleh dipengaruhi oleh budaya lain diluarnya, atau dilindungi dari pengaruh globalisasi, maka sama saja, menurut Tom G. Palmer, menggiring budaya tersebut keambang kehancuran.
Akan tetapi, ketika kebudayaan lain tersebut justru mengancam peradaban masyarakat lokal, apa kita perlu menyambut dan merangkul dunia global atau justru kita mengisolasi diri dengan budaya lain.
Gempuran budaya luar yang lebih kuat daripada ketahanan budaya masyarakat lokal tentu akan membahayakan eksistensi budaya lokal. Kalau masyarakat setempat sendiri sudah tidak memiliki daya saring dan daya tahan agar budaya lokal tetap eksis, mungkinkah kebudayaan Yogyakarta mampu bertahan dua puluh lima tahun yang akan datang ? Akankah kebudayaan Yogyakarta menjadi tamu asing yang aneh bagi penduduk Yogya di ruang budayanya sendiri ? Siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi dan pengembangan kebudayaan lokal ?
Dalam realita sehari-hari kebudayaan lokal sedang mengalami kondisi mati segan, hidup tidak mau.
II. Pembahasan
Globalisasi bukan faktor tunggal melunturnya ketahanan budaya
Fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya.
Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal. Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.
Realita sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.
Sesungguhnya permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini dianggap telah meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan sehari-hari :
a. Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b. Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan, sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c. Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking, karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan dengan budaya asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan.
Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya.
Etos kerja dan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta masih memiliki desa-desa budaya, yang di dalamnya diperkaya arsitektur tradisional, upacara ritual, kesenian, barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk menjamin kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja secara berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap. Dalam hal ini pihak pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara bergotong-royong menyediakan satu sumber dana secara berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke pasaran, hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi kebudayaan membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer untuk menawarkannya.
Budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi, sesuai dengan perkembangan media. Daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai penggerak ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing budaya pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni, pendirian dan pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan pengusaha di bidang seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan pertunjukan seni budaya, peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
III. Rekomendasi
Permasalahan utama dari pembangunan kebudayaan bukan hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut kondisi ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami stagnasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
A. Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal

1. Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan RW.
2. Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
4. Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian para pemangku
kebijakan
5. Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan, agronomi.
B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1. Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
3. Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
C. Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual, kesenian, rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.

1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat dan universitas
2. Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni pertunjukan lokal melalui website.
3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya Jawa
4. Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
5. Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan budaya.
D. Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
2. Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun fisik.
3. Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.

Sekilas Deskripsi Pusaka Yogyakarta


Kebudayaan Yogyakarta dapat didefinisikan sebagai kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di DIY berakarkan kebudayaan lama dana asli serta sebagai hasil interaksi dari kebudayaan lain sebagai pelengkap, pemerkaya, dan penyempurna. Adapun aset budaya yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi budaya yang bersifat tangible (fisik) dan intangible (non fisik).

1. Kondisi Budaya Tangible (Fisik)

a. Kondisi Sejarah dan Kepurbakalaan
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi budaya fisik “Tangible Culture” terdiri dari Kawasan Cagar Budaya. Benda Cagar Budaya bergerak dan tidak bergerak, museum dan pusaka budaya lain (Saujana).
Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan dengan SK Gubernur 326/KPYS/1995 baru mencakup 7 Kawasan Cagar budaya (Kraton, Puro Pakualaman, Prambanan, Ambar Binangun, Ambar Ketawang dan Parangtritis serta Kotagede) sedangkan pada saat ini telah mencapai 13 Kawasan Cagar Budaya yang tersebar di 4 Kabupaten dan Kota terdiri dari 6 KCB di wilayah urban kota (Kraton, Tamansari, Puro Pakualaman, Kotabaru, Malioboro, Kotagede) 3 KCB di wilayah suburban (Prambanan, Ambar Ketawang, Ambar Binangun) dan 4 KCB di wilayah Rural (Parangtritis, Sukoliman, Plered, Imogiri).
Di DIY terdapat 78 kecamatan dengan jumlah potensi Benda Cagar Budaya yang dimiliki sebanyak 365 buah dengan rincian sebagai berikut : Kraton 4 buah, fasilitas Kraton 9, rumah adat 103, candi 76, bangunan kolonial 27, makam 27, megalitik 20, masjid 18, Pasanggrahan 14, goa prasejarah 11, goa sejarah 9, gereja 7, Bangunan Perjuangan 5, benteng 5, situs tanpa bangunan 3, Klenteng 2, situs kota 2, dan bangunan lainnya 33 buah.
Sebagian besar benda cagar budaya tidak memiliki “Buffer Space”. Buffer Space yaitu kebutuhan ruang minimal yang melingkupi situs dari benda cagar budaya berfungsi sebagai ruang pandang minimal pada site dan ruang pantau dari bahaya kebakaran maupun perusakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Di samping itu serta belum adanya pemanfaatan / tata ruang bagi pelestarian dan perlindungan serta ruang bagi aktifitas sosial budaya dan pariwisata masyarakat, pelestarian dan pengamanan aset-aset Kawasan Cagar Budaya yang terancam punah seperti misalnya Kawasan Plered yang merupakan situs kerajaan Mataram (Sultan Agung) dan mempunyai nilai sangat penting berkaitan dengan latar belakang keberadaan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Belum adanya buffer space dan kepadatan pemukiman di kawasan cagar budaya atau situs berakibat perubahan lahan dan penyerobotan tanah serta pengalihan fungsi lahan dan bangunan serta penggerusan/penempelan pada aset cagar budaya oleh pemukiman atau mendirikan bangunan rumah di atas artefak cagar budaya misalnya di atas puing-puing beteng alun-alun di kawasan Kotagede dan pada artefak Tamansari. Dengan tidak adanya buffer space juga berakibat tidak adanya ruang untuk mengamankan dan mengendalikan diri dari bahaya kebakaran, keruntuhan dan pengrusakan. Hal ini merupakan kondisi yang kontra produksi yang dapat merusak dan menghilangkan nilai keantikan dan keindahan dari aset pusaka budaya yang bernilai tinggi sehingga dalam kurun waktu 15 – 25 tahun yang akan datang akan terjadi kepunahan dan kehilangan aset penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan sosial budaya.
Hal tersebut di atas terjadi hampir di sebagian besar situs atau KCB namun kecuali Situs yang sudah tertangani dengan baik seperti Candi Prambanan, Candi Boko dan Kraton Yogyakarta.

b. Kondisi Keberadaan Permuseuman
Salah satu aset budaya adalah banyaknya potensi museum yang dimiliki DIY baik museum negeri maupun museum swasta sejumlah 30 buah museum yang terdiri Museum Benda Cagar Budaya dan kesenian, 7 Museum Pendidikan dan Ilmu Penegtahuan dan 9 Museum perjuangan, bila dikelompokkan terdiri dari museum umum 26 buah dan museum khusus 4 buah yang tersebar di lima Kabupaten / Kota. Keberadaan Museum tersebut adalah kota Yogyakarta 18 buah, Kabupaten Sleman 9 buah, Kabupaten Bantul 2, dan Kabupaten Gunung Kidul 1 buah dengan jumlah 6.152 koleksi yang sangat banyak terutama di Museum Sonobudoyo kurang lebih 42.589 dengan jumlah pengunjung mencapai 1.900.000 orang terdiri dari pelajar dan umum serta wisatawan manca negara.
Dari keseluruhan jumlah museum tersebut yang banyak mengalami kendala adalah perawatan baik yang bersifat preventif maupun kuratif yang disebabkan banyaknya jumlah koleksi dalam berbagai jenis tidak sebanding dengan sarana dan prasarana laboratorium bengkel preparasi, tenaga ahli dan biaya.
Adapun sebagian dari Museum-Museum tersebut juga belum memenuhi standard kualiatas minimal baik dalam bentuk : Kelembagaan, produk dan jasa layanan, pelayanan, sistem pengelolaan, pola pemanduan, kualitas SDM, publikasi dan promosi (metode penjaringan pelanggan, metode penjualan), rendahnya tingkat diversifikasi usaha dan alternatif pengembangan jaringan serta kegiatan penunjang masih menjadi kendala yang hampir menyeluruh secara fisik kondisi tata pamer koleksi, pencahayaan ruang, tata sirkulasi udara dan sistem penghawaan ruang, tata eksterior, tata interior, tata lansekap, dan tampilan fisik visual lainnya yang kesemuanya dalam rangka layanan pada pengunjung yang akhirnya akan memberi kepuasan kepada pelanggan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
1. Kondisi Budaya Intangible (Non Fisik)

Di DIY terdapat potensi kesenian, bahasa dan sastra, nilai-nilai budaya dan tradisi dalam bentuk nilai budaya rakyat, permainan rakyat, upacara tradisional dan sistem budaya, sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, sistem religi dan pengetahuan, sistem teknologi tradisional serta lingkungan, dan hubungan antar budaya.
a. Kondisi Kesenian
Potensi budaya non fisik “intangible culture” Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi kesenian dalam berbagai jenis dan seni rupa, seni tari, seni musik, seni teater, film/dokumentasi baik bersifat modern dan seni tradisional, dari sisi jumlah organisasi dan group kesenian DIY sebanyak 2863 buah yang tersebar di empat kabupaten dan kota masing-masing, Kota Yogyakarta 451 organisasi, Kabupaten Bantul 558 organisasi, Kabupaten Sleman 505 organiasai, Kabupaten Kulon Progo 8458 organisasi dan Kabupaten Gunung Kidul 501 organisasi, dengan jenis kesenian lebih dari 46 jenis.
Sumber daya manusia di bidang pelestarian kesenian baik yang bersifat modern, tradisional hampir mengalami stagnasi dalam kreatifitas yang disebabkan kurangnya apresiasi dan manajemen pasca kreasi, termasuk rendahnya tingkat regenerasi.

b. Kondisi Adat dan Tradisi
Upacara adat sebagai salah satu kegiatan budaya masih dilakukan oleh masyarakat dengan jumlah di kota Yogyakarta 5 upacara adat, kabupaten Sleman terdapat 11 upacara adat pada 9 kecamatan, Kabupaten Bantul terdapat 24 upacara adat pada 14 kecamatan, Kabupaten Kulon progo terdapat 10 upacara adat pada 6 Kecamatan, Kabupaten Gunung Kidul 16 upacara adat pada 9 kecamatan.
Potensi Upacara Adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat, apabila tidak dikelola atau didukung dengan adanya pengelola yang mempunyai manajemen yang baik akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.

c. Bahasa dan Sastra
Yogyakarta merupakan pusat bahasa dan sastra jawa yang meliputi bahasa (parama sastra, ragam bahasa, bausastra, dialek, sengkalan dan lain-lain) serta lisan dalam bentuk (dongeng, japamantra, pawukon dll.) dan Aksara Jawa.
Potensi tersebut di atas apabila tidak mendapat penanganan / manajemen yang baik lama kelamaan akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas seperti berkurangnya jumlah penutur bahasa dan media berbahasa dan Sastra Jawa.

2. Prasarana Budaya
Prasarana budaya sebagai penunjang terhadap kelestarian dan pengembangan kreatifitas seniman telah ada sebanyak 130 buah dalam berbagai bentuk (panggung, pendopo, ruang pamer, ruang pertunjukan, studio musik balai desa, auditorium, sanggar, lapangan) sedangkan pusat-pusat pelestarian budaya tradisional yang disebut desa budaya di Propinsi DIY terdapat kurang lebih 60 desa budaya dan 22 desa wisata dengan potensi baik fisik maupun non fisiknya.
Potensi prasarana budaya tersebut belum merupakan jumlah ideal dengan potensi kesenian dan adat tradisi yang ada. Dalam segi kualitas pun belum ada yang mempunyai standard minimal internasional.

d. Lembaga Budaya
Untuk mengembangkan potensi tersebut di atas tidak bisa lepas dari peran lembaga-lembaga budaya yang cukup banyak di DIY yang berjumlah 178 lembaga terdiri dari yayasan, organisasi, lembaga pendidikan, instansi pemerintah (Kota Yogyakarta 90 lembaga, Kabupaten Sleman 44 lembaga, Kabupaten Gunung Kidul 4 lembaga, dan Kabupaten Kulon progo 1 lembaga) serta organisasi penghayat kepercayaan yang melestarikan nilai budaya daerah sebanyak 84 organisasi yang tersebar di 4 Kabupaten / Kota.
Potensi lembaga budaya belum menjadi suatu jaringan kerja (networking) yang mampu mengorganisasikan dan memanajemeni seluruh aktifitas budaya di DIY.

Kapan Yogya Menjadi Ibukota Buku Sedunia ?

A. Latar Belakang Permasalahan

Setiap tahun UNESCO dan tiga penerbit buku raksasa the International Publishers Association (IPA), the International Booksellers Federation (IBF), the International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) memutuskan kota buku dunia untuk kurun masa 12 bulan antara dua perayaan yaitu hari buku Internasional dan hari Hak Cipta Internasional (23 April). Kota-kota yang pernah menjadi Ibukota Buku Dunia berturut-turut adalah: Madrid (Spanyol-Eropa) tahun 2001 (23 April 2001 sampai dengan 22 April 2002), Alexandria (Mesir-Afrika) tahun 2002, New Delhi (India-Asia) tahun 2003, Antwerp (Belgia-Eropa) tahun 2004, Montreal (Kanada-Amerika) tahun 2005, Turin (Italia-Eropa) tahun 2006 (23 April 2006 sampai dengan 22 April 2007), giliran berikutnya yaitu Bogota (Colombia-Amerika) tahun 2007, Amsterdam (Belanda-Eropa) tahun 2008. Sebutan Ibukota Buku Dunia ini dipilih dan ditetapkan berdasarkan program dan peran kota-kota yang dinominasikan dalam usaha mereka memandang dan menjadikan peran penting buku dan dalam rangka mengupayakan minat membaca.

Dalam rangka menigkatkan mewujudkan DIY sebagai Ibukota Buku Dunia diperlukan peningkatan partisipasi dari semua pihak, dari tingkat kota, nasional, regional, dan internasional; dampak potensi positif dari program yang dilaksanakan; ruang lingkup dan kualitas kegiatan yang diajukan oleh kota-kota calon; termasuk sejauh mana mereka melibatkan penulis, penerbit, toko buku, dan perpustakaan; kegiatan lain dalam rangka mempromosikan buku dan kegiatan membaca; kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab. Selain itu, diperlukan suatu kondisi masyarakat dengan budaya baca sebagai aktualisasi budaya belajar yang telah mendarah daging di dalam masyarakat. Sebenarnya minat baca masyarakat Yogyakarta sudah meningkat, tetapi cenderung tidak merata, karena jangkauannya terbatas dan pertumbuhannya kecil. Sementara itu lambat laun budaya baca dan belajar akan tergusur oleh budaya menonton.
B. Permasalahan
Kenapa DIY harus menjadi Ibukota Buku Sedunia? ”Yogyakarta menjadi kota kutu buku”, ”Yogyakarta menjadi Ibukota Buku Dunia” mimpikah ini? Bagaimanakah membangkitkan minat baca masyarakat, hingga menjadi sebuah budaya baca dan budaya belajar? Trik-trik dan prakondisi apa untuk mengelola faktor pendukung dan penghambat budaya membaca?
C. Pembahasan

Peranan DIY sebagai kota pendidikan, kota budaya dan kota wisata secara langsung dan tidak langsung menjadi modal besar untuk mewujudkannya menjadi ibukota buku dunia. Hal tersebut didukung oleh sekian banyak penulis dan penerbit buku, koran, taman bacaan, perpustakaan. Daerah Yogyakarta selama ini juga dikenal sebagai barometer bagi penilaian kualitas dari sebuah buku. Dengan menjadi Ibukota Buku Dunia berarti Yogyakarta diperhitungkan oleh dunia dalam program pengembangan IPTEK dan dunia karya cipta perbukuan di dunia. Oleh karenanya akan membuka lebar kesempatan investasi perbukuan. Untuk mewujudkan impian tersebut harus didukung SDM yang memiliki budaya baca dan budaya belajar.
Jepang dapat menjadi sampel dalam pengembangan budaya baca dan belajar kita, karena Jepang menjadi satu-satunya negara di Asia yang mempunyai kedudukan sejajar dalam iptek dan perekonomian dengan raksasa dunia seperti Amerika, disusul Cina dan Korea Selatan. Budaya tulis dan baca mereka yang tinggi didorong oleh besarnya apresiasi mereka terhadap hasil karya orang lain, hasil proses kreatif orang lain, juga besarnya keinginan mereka untuk berbagi informasi dengan orang lain dan mengekspresikan diri.
Kebiasaan membaca anak-anak Indonesia peringkatnya paling rendah di dunia (skor : 51,7), di bawah Filipina (skor : 52,6), Thailand (skore : 65,1), Singapura (skor : 74,0) dan Hongkong (skor :75,5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30%. Hasil survei juga menunjukkan minat baca para siswa SD dan SMP di Indonesia menduduki urutan ke-38 dan ke-34 dari 39 negara, diukur dari kemampuan membaca rata-rata.
Minat baca masyarakat DIY cenderung meningkat. Koran SINDO menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei dari AC Nielsen Media Research belum lama ini, tingkat minat baca masyarakat DIY pada 2007 meningkat 4,3% dibanding pada 2006 lalu. Minat baca masyarakat Yogyakarta menempati peringkat kedua setelah Jakarta. Akan tetapi kondisi ini tidak merata.

Minat baca warga Kabupaten Kulonprogo paling rendah dibanding kabupaten/kota lain di DIY. Minat baca tertinggi adalah masyarakat ibukota Yogyakarta. Penilaian itu didasarkan rendahnya kunjungan masyarakat ke perpustakaan komunitas di wilayah tersebut.
Menjadikan DIY sebagai ibukota buku dunia perlu didukung aspek-aspek kondusif yang memang sudah ada, antara lain sebagai berikut :
1. Banyaknya lembaga pendidikan baik formal maupun non formal.
2. Maraknya penerbit buku seperti Andi Offset, Resist Book, Lkis, Jalasutra, Ombak, Kanisius, dan sebagainya. Selain itu juga toko-toko buku besar seperti Gramedia, Tiga Serangkai, Gunung Agung, Social Agency.
3. Di DIY juga beredar surat kabar harian Kedaulatan Rakyat, Bernas yang sangat membumi, sehingga semua lapisan masyarakat bisa menjangkaunya, selain itu beredar Mekar Sari, Minggu Pagi, Radar Yogya, Kompas Yogya.
4. Perpustakaan-perpustakaan dari koleksi klasik hingga kontemporer, seperti di Kraton, Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Perpustakaan Malioboro, Perpustakaan Hatta, Perpustakaan Daerah, dan sebagainya.
5. Kemudahan mobilisasi karena tersedianya sarana dan prasarana transportasi.
Maraknya alat-alat audiovisual berteknologi canggih, murah, dan tersebar luas hingga ke pelosok-pelosok menjadi salah satu tantangan pembiasaan minat baca. Radio, tape recorder, televisi, kaset, VCD, DVD, playstation, dan lain sebagainya lebih menarik dan dicerna. Budaya konsumtif meradang di kalangan remaja-remaja usia sekolah karena pertumbuhan supermarket, swalayan, restoran-restoran. Gaya hidup dunia sinetron akan dan telah mengalahkan budaya minat baca. Pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak / siswa/mahasiswa harus membaca (lebih banyak lebih baik), mencari informasi / pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan.
Membaca belum membudaya dalam masyarakat. Tradisi lisan (dari mulut ke mulut) mendominasi kehidupan dan dunia pembelajaran kita. Sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi, jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
* Rencana Aksi Peningkatan Minat Baca Masyarakat*
Mewujudkan budaya baca dan belajar dalam masyarakat menjadi agenda rencana aksi bersama, dengan kekuatan dari masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai fasilitator.
1. Pengelolaan perpustakaan dengan managemen dan tampilan yang baik, sehingga perpustakaan mampu menebarkan pesona minat baca bagi masyarakat.
2. Pengembangan perpustakaan keliling, motor pintar, mobil pintar, taman bacaan, kelompok baca, kelompok diskusi, klompencapir, dan sebagainya.
3. Penyusunan kurikulum dan metode mengajar dari semua level pendidikan yang memberikan stimulasi kondusif menuju budaya baca.
4. Membantu masyarakat dan sekolah-sekolah yang kurang mampu untuk mendapatkan bahan bacaan yang bermutu serta bimbingan membaca baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
5. Sekolah harus bekerja sama dengan keluarga untuk menumbuhkan minat baca, hingga membaca itu menjadi budaya membaca dan budaya belajar.
6. Kampanye pembiasaan membaca di lingkungan keluarga sejak dini, hingga menjadi kebiasaan kolektif yang akan menciptakan budaya baca dan belajar.
7. Program promosi serta peran aktif Yogyakarta baik di tingkat daerah, nasional dan internasional di sektor swasta maupun pemerintah dalam sektor produksi buku.
8. Upaya dan program perencanaan yang menyangkut isu hak cipta penerbitan buku-buku ilmiah yang mengandung inter-kultural aspek dari karya-karya literatur dan buku anak-anak, pembukaan perpustakaan baru, pameran.
D. Kesimpulan dan Saran
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi besar untuk menjadi Ibukota buku dunia. Hal tersebut didukung oleh dunia perbukuan, dunia pendidikan, dan dunia perpustakaan. Kerjasama pemerintah, sekolah, perpustakaan, LSM, penerbit, media, masyarakat harus dipererat guna mensosialisasikan budaya baca dan belajar, sehingga mereka bisa berjalan bersama-sama guna mewujudkan DIY sebagai Ibukota Buku Dunia. Selain diperlukan pembiayaan yang besar dan berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, perlu ada kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Budaya membaca harus dibina dalam unit-unit kecil, keluarga, individu sehingga terbentuk komunitas-komunitas baca, sejak masa-masa emas pertumbuhan anak-anak, sehingga akhirnya membaca dan belajar menjadi budaya kolektif masyarakat DIY, baik di pedesaan maupun perkotaan. Event-event yang menstimulasi kegairahan dunia perbukuan, budaya membaca dan belajar, apresiasi hasil karya orang lain harus digalakkan secara rutin.

Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-5:

Tulisan ini merupakan kontribusi dari Romo Hary Dendi

Merajut Budaya Yogya,
Membangun Peradaban Baru Indonesia


“.....bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa
hidup dalam damai dan persaudaraan.....” [Bung Karno, “To Build the World a New”]


BAGAIMANA merekonstruksi peradaban baru Indonesia? Siapa yang harus merekonstruksi peradaban itu? Dua pertanyaan itu harus segera kita jawab. Kita tidak membutuhkan lagi bukti atau diskusi berbelit-belit guna menegaskan bahwa peradaban bangsa mulai rapuh. Setiap hari, media massa menyuguhkan aneka tragedi kerapuhan peradaban kita. Meminjam istilah dalam rubrik politika Budiarto Shambazy [1], telah terjadi “gerhana nurani”.

Kini saatnya kita merekonstruksi peradaban bangsa Indonesia seturut sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Banyak pihak berpikir dan berusaha merekonstruksi peradaban baru Indonesia. Para pakar politik dan politikus berusaha merekonstruksi peradaban baru di bidang politik dengan reformasi politik. Sayang, reformasi “setengah hati” itu justru melahirkan kultur politik baru, yaitu kultur politik kekerasan. Kata-kata mutiara Bung Karno di depan Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 yang dikutip di awal tulisan ini, tampaknya masih relevan dengan situasi bangsa saat ini yang lagi menghadapi potensi ancaman budaya kekerasan di berbagai bidang kehidupan.

Penyebab Krisis
Kita masih saja dilanda krisis multidimensional. Jika krisis itu tidak digarap, peradaban bangsa kita akan kian luntur. Federico Ruiz (1999), seorang teolog spiritualitas Spanyol, menyebutkan tiga penyebab krisis peradaban manusia [2]. Pertama, globalitas (globalità), yaitu kompleksitas dari berbagai elemen dalam suatu situasi atau keadaan. Kedua, radikalitas (radicalitá), yaitu karakter ekstrem dari aneka kelompok masyarakat. Ketiga, kecepatan (rapiditá), yaitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Di hadapan kita terbentang globalitas budaya, tata nilai, gaya politik, cara hidup, agama, dan sebagainya. Di satu pihak ada kelompok-kelompok masyarakat yang hanyut dalam globalitas itu. Mereka lebih suka ikut arus karena bebas memilih apa yang disukai. Akibatnya, identitas dirinya menjadi tidak jelas. Peradaban mereka ambigu. Di lain pihak sekelompok orang mengambil sikap radikal. Mereka lebih suka menutup diri terhadap globalitas dan bertahan pada “keyakinan” dan cara hidup secara ketat. Muncullah kelompok-kelompok radikal di berbagai tempat.

Di Indonesia jurang antara kedua kelompok itu tampaknya kian melebar. Tambahan lagi, kita tidak bisa membendung kecepatan (rapidità) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Didukung kecepatan teknologi informasi, globalitas membanjiri kita. Kecepatan kian memperparah keberadaban saat orang tidak punya ”filter” yang kuat.

KRISIS peradaban yang kita hadapi sebenarnya krisis gaya hidup. Kita mau ikut arus zaman atau sebaliknya. Banyak orang bingung menentukan pilihan. Yang paling mudah adalah ikut arus. Muncullah peradaban baru yang ambigu. Di satu pihak ada kelompok ikut arus, tak punya spiritualitas, di lain pihak kelompok ekstrem yang menganggap perubahan sebagai kemunduran spiritualitas.

Rekonstruksi Peradaban
Bagaimana merekonstruksi peradaban baru? Darren E Sherkat dalam ”Religious Socialization: Sources of Influence and Influences of Agency” menyatakan, keluarga adalah agen perubahan keberadaban yang efektif. (Michele Dillon ed., 2003) Dalam keluarga ”dicetak” kepribadian seseorang. Keluarga menjadi tempat orang belajar tata-krama dan sopan-santun. Dalam keluarga mentalitas seseorang dibentuk, prinsip dan nilai-nilai kehidupan ditanamkan. Keluarga menjadi tempat belajar ”berpolitik”, di mana dihadirkan suasana saling menghargai dan mendengarkan, belajar berdiskusi dan berbeda pendapat secara sehat. Keluarga juga menjadi tempat orang belajar dan mengalami cinta, perhatian, toleransi, dan kesediaan untuk berbagi. Keluarga menjadi agen utama rekonstruksi peradaban.

Keberadaban seseorang diwarnai keberadaban keluarganya. Keberadaban publik adalah kompleksitas keberadaban keluarga. Kini saatnya kita menyumbangkan peran masing-masing dengan cara membentuk keberadaban bagi keluarga masing-masing. Jika keluarga-keluarga berantakan, jangan mengharapkan generasi baru yang mempunyai keberadaban lebih baik.

Dengan kata lain, rekonstruksi peradaban baru bangsa Indonesia adalah tanggung jawab dan tugas bersama. Rekonstruksi peradaban bangsa adalah rekonstruksi keberadaban diri dan tiap keluarga. Peradaban bangsa ibarat pelangi yang banyak warna. Tugas kita, menyumbangkan salah satu warna indah.

YOGYAKARTA adalah salah satu anggota keluarga Indonesia. Di tengah kecenderungan terpuruknnya nilai-nilai kemanusiaan itu yang banyak diliputi oleh budaya kekerasan, baik di ranah politik, pemerintahan, hukum, maupun di tataran masyarakat sipil ini, lalu apa kontribusi peran yang bisa disumbangkan oleh Yogyakarta? Persisnya, oleh Budaya Yogya yang bernilai semesta itu?

Yogya Semesta
Untuk dapat membangun jalinan hubungan timbal-balik antara Yogya dan Semesta, serta Indonesia, maka kita perlu memahami dengan baik jiwa dan peran yang disandang Yogyakarta. Dalam banyak kajian pemahaman tentang jiwa dan peran Yogyakarta selalu merujuk pada dua hal mendasar: aspek kesejarahan dan tradisi. Pemahaman kesejarahan dan tradisi itu mendudukkan awal pembentukan Yogyakarta sebagai masa yang sempurna yang telah memberikan landasan berbagai dimensi kebudayaan secara paripurna dengan tokoh sentralnya Pangeran Mangkubumi, Sang Pendirinya.

Berkait dengan itu, adalah menarik untuk mengangkat ilustrasi Revianto Budi Santosa, yang mengabstrasikan Yogyakarta sebagai semesta [3]. Menurutnya, begitulah negri ini diharapkan sebagaimana tersandang dalam namanya Ngayogyakarta Hadiningrat, tempat yang pantas dan prayoga yang menjadi suri keindahan semesta. Pendakuan sebagai negri yang bermatra semesta, berkonsekuensi Yogyakarta memberikan sumbangsih kepada dunia dan juga sekaligus menerima dunia dalam dirinya. Kerelaan untuk berbagi dan menerima paling tidak dalam ranah budaya akan memperkaya khasanah budaya Yogyakarta.

Dengan perkataan lain, “Bringing Yogyakarta to the World, and Bringing the World to Yogyakarta”, sebuah potensi terpendam yang harus digali, dikaji dan diuji untuk dikembangkan serta diisi secara kreatif oleh segenap warga Yogya untuk Indonesia, dengan “Merajut Budaya Yogya, Membangun Peradaban Baru Indonesia” yang bermartabat.


DALAM kerangka pikir seperti itu, Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-5 ini digelar dengan menghadirkan Dr. Ir. (Ars) Revianto Budi Santosa, Dosen Jurusan Arsitektur UII & Dr. Widya Nayati, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, dua nara sumber yang menjadi “tandem” penulisan buku Peringatan 250 Tahun Kota Yogyakarta. Ditambah Prof. Dr. H. Muhammad Machasin, MA, Guru Besar & Anggota Senat UIN “Sunan Kalidjaga”, akan melengkapinya dengan nilai-nilai Islami yang terserap dalam Budaya Yogya.

Dialog dipandu oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti & Hari Dendi. Gelar Seni di bawah arahan Bondan Nusantara, dibantu Drs. Sumaryono, MA & Drs. Sunardi dengan latar “gamelan ringkes” dari siswa-siswa dan lulusan SMKI Yogyakarta. Tempat & Waktu: di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY pada Slasa Wage, 4 September 2007, jam 19.00-22.00.


Yogyakarta, 28 Agustus 2007

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



Hari Dendi


HB/hd.


[1] Budiarto Shambazy, “Gerhana Nurani”, Kompas, 28 Agustus 2007.
[2] M Kristiyanto, “Merekonstruksi Keadaban Baru Indonesia”, Kompas, 14 Maret 2005.
[3] Revianto Budi Santosa, “Menjadi Jogja, Memahami Jatidiri & Transformasi Yogyakarta “, Buku Peringatan 250 Tahun Kota Yogyakarta, Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta & Pusat Studi Kebudayaan UGM, cetakan I, September 2006.

Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-4: “Yogya Untuk Semesta”:

Tulisaan ini merupakan kontribusi dari Romo Hary Dendi

Topik

DENGAN SERAT-SERAT BUDAYA NUSANTARA
MEMBANGUN INDONESIA BERSATU


“Rukun agawe Sentosa, Crah agawe Bubrah”
--Kearifan Jawa

”ACEH harus tetap dengan Indonesia, jika tidak kita telah mengingkari sejarah”, demikian kata Makmun Daud Beureueh, putra tokoh besar rakyat Aceh (Republika, 21 Agustus 1999). Ini adalah pikiran filsafat yang sangat dalam --pikiran yang mencerminkan kemurnian suara hati etnik Aceh-- tetapi juga gambaran suara hati dan ketulusan dari banyak etnik lainnya [1].

Dr. Hasballah M. Saad, tokoh masyarakat Aceh yang lain, mengatakan: ”suku-suku bangsa yang bergabung membentuk negara Indonesia justru menjadi korban pemaksaan, bukannya memperoleh kesempatan mengaktualisasikan diri”. Hal senada disampaikan pula oleh SP Morin, tokoh masyarakat Papua, yang menyatakan: ”Ibarat sudah kawin paksa, istri dipukuli terus. Itu yang menyebabkan munculnya pemikiran lebih baik merdeka saja” (Kompas, 23 Agustus 1999). Demikianlah, kira-kira suasana hati banyak kalangan masyarakat di daerah, yang pada intinya menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran, kesetaraan dan demokrasi serta kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian melatarbelakangi ancaman disintegrasi bangsa yang memicu gerakan separatisme.

Bagi Yogyakarta, keinginan untuk merdeka terpisah dari NKRI selain set-back juga mengingkari Maklumat 5 September 1945, ketika Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan diri menjadi bagian dari Republik. Mungkin jawab yang tepat adalah kembali ke sumber semangat dilahirkannya Republik ini, dengan mencoba mengimplementasikan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya sesuai kemurnian jiwa UUD 1945 Pasal 18.

Semangat Nasionalisme Baru
Nasionalisme menjadi spirit paling kuat untuk mempersatukan keragaman etnik dan budaya dalam sebuah negara-bangsa. Namun, nasionalisme mendapat tantangan dari perubahan global, seperti menguatnya etnisitas dan agama. Mungkin kita perlu merujuk Daniel Bell dalam “The End of Ideology” yang mengatakan, nasionalisme sebagai ideologi telah berakhir. Hal ini juga membuktikan tesis Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man” (1992), bahwa nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan dalam sejarah dunia.
Yugoslavia dan Cekoslovakia telah merasakan betapa etnisitas menghancurkan spirit kebangsaan. Fenomena ini lalu menjalar ke negara lain, salah satunya Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak etnik. Fondasi nasionalisme bangsa Indonesia yang dibangun dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, secara perlahan mendapat kerikil tajam. Setelah Timor Timur lepas, Aceh, Papua dan Maluku, seolah tak sepi dari gejolak untuk memisahkan diri dari NKRI.

Seperti dikemukakan Ghia Nodia (1992), nasionalisme ibarat satu koin dengan dua sisi, politik dan etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik, tetapi substansinya tidak lain adalah sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Karena itulah, etnisitas menjadi spirit baru bagi pencarian kehidupan bersama dalam komunitas tertentu.

Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, perwujudan nasionalismenya tidak sekadar politik dan etnisitas, tetapi juga unsur agama. Pada awal kemerdekaan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra (1999), kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dijinakkan faktor Islam sebagai agama mayoritas. Islam menjadi supra identitas dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas.

Meski demikian, menguatnya gerakan separatisme Aceh yang dulu dimotori GAM seakan meruntuhkan tesis Azra bahwa Islam berhasil menjadi faktor signifikan dalam membangun nasionalisme. Justru Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Aceh, tidak bisa mempertahankan kesetiaannya kepada bangsa Indonesia. Meski Aceh sudah diberi kebebasan memberlakukan syariat Islam, gerakan separatisme tetap berlangsung. Artinya, Islam sebagai agama tidak lagi menjadi faktor pemersatu bangsa. Terbukti keragaman etnisitas kini tidak bisa lagi disatukan oleh Islam sebagai agama mayoritas.

Dalam konteks inilah, saat terjadi gerakan separatisme di beberapa daerah, maka yang diperlukan adalah bangunan nasionalisme baru, yang tidak lagi menonjolkan loyalitas kepada bangsa semata, tetapi penciptaan keadilan (sosial, ekonomi, dan politik) bagi seluruh masyarakat. Kesetiaan masyarakat etnik kepada suatu bangsa tanpa dibarengi upaya menyejahterakan masyarakat berdasar kekayaan alam yang melimpah, tidak akan berpengaruh pada makin kuatnya loyalitas kepada bangsa. Justru yang diyakini adalah penjajahan baru atas bangsanya sendiri.

Serat-Serat Budaya Nusantara
Untuk membangun “Indonesia Bersatu” dapat dilakukan dalam dua pendekatan yang saling terkait. Pertama, melalui pendekatan geokultural, agar setiap kelompok budaya saling menyapa dan mengenal, untuk saling memberi dan menerima. Sekaranglah saatnya kita mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang tidak sebatas tawar-menawar politik, tetapi dengan tawaran kehidupan budaya yang lebih hangat.

Mochtar Pabottinggi [2], misalnya, yang berasal dari etnis Bugis-Makassar, memimpikan bagaimana kelompok etnisnya belajar dari etnis Jawa dan Minang. Dari sistem nilai Jawa, etnis Bugis bisa mendewasakan prinsip siri’, agar tidak terkungkung pada masalah-masalah sempit kekeluargaan, melainkan menjangkau hal-hal yang lebih penting, lebih mulia dan lebih besar artinya bagi bangsa. Dari etnis Minang, orang Bugis dapat belajar tentang prinsip musyawarah, karena mereka terbiasa menyelesaikan persoalan secara kaku, pantang berubah, sebab siri’ memerlukan pemenuhan seketika. Dari sistem nilai Jawa, orang Bugis dapat belajar tentang relativisme nilai-nilai serta internalisasi dan preservasi kekuatan di dalam kalbu.

Kelompok etnis Jawa dan Minang pun dapat belajar dari sistem nilai Bugis-Makasar dalam penekanan kesetiaan pada kata (kana). Orang Bugis tidak suka melebih-lebihkan kata. Ucapan akkanaka (saya berkata) memiliki bobot yang sangat matter-of-fact dalam tradisi historiografi Bugis-Makasar. Demikian juga, masyarakat etnik yang lain agar dapat belajar dari budaya malu (al-haya’) dan berkata yang benar (quli al-haq), dua integritas pribadi Muslim Aceh yang khas [3]. Setiap pejabat publik hendaknya merasa malu jika melakukan kesalahan, dan siap mengundurkan diri dari jabatannya. Budaya malu ini sangat efektif penerapannya pada bangsa Jepang dan Korea.

Kedua, bahwa proses yang pertama tersebut harus ditujukan agar seluruh kekayaan budaya-budaya etnik lokal terjalin dalam “serat-serat kebudayaan”, membentuk batang tubuh Kebudayaan Indonesia Baru yang kokoh, laksana sebatang pohon kelapa yang berdiri tegak oleh serat-serat kayu, akar memikul batang, di mana batang menunjang daun dan buah.

Hingga kini banyak pakar masih melihat pluralitas sistem nilai etnis kita tak lebih sebagai “mozaik” yang indah dipandang. Terutama bagi para ahli antropologi asing, mozaik itu merupakan gudang yang tiada habis-habisnya untuk digali. Tetapi mozaik itu sedikit sekali artinya bagi diri bangsa pemiliknya sendiri. Sebaliknya Umar Kayam berbicara tentang “serat-serat kebudayaan Nusantara”, yang mengandung konotasi pluralitas yang saling memperkuat, seperti serat-serat pada batang pohon nyiur atau anyaman benang-benang pada tenunan. Implementasi kebijakan yang diderivasikan dari filosofi itu adalah, bagaimana ragam kekayaan budaya etnik dan adat-istiadat itu menjadikannya jalinan “serat-serat budaya” Indonesia yang terekat erat.

Indonesia Bersatu
Alangkah besarnya manfaat jika pluralitas budaya yang diwariskan oleh tradisi-tradisi besar itu teranyam menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Kita semua tentu sepakat bahwa “Indonesia Bersatu” adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab.
Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya dari generasi ke generasi. Semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai yang kita miliki yang mengalir di pembuluh darah masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya-budaya etnik hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas. Yang pada akhirnya kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan.

Dalam kaitan ini kita juga bisa berbicara dalam hubungan Islam-Kristen dan Melayu-Cina. Sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. Dengan begitu kita bukan hanya akan hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak/kewajiban individual-sosial yang lebih tinggi. Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian.

Dengan kita mau menghargai, menerapkan dan mengembangkan pencapaian masyarakat etnik, beserta nilai-nilai spiritualitasnya yang memuat ajaran moral yang tinggi dan akhlak yang luhur, tentu mereka akan merasa bangga memiliki negeri yang namanya Indonesia ini.

Keseluruhan proses itu selalu dilakukan melalui sebuah dialog budaya yang mengembangkan sikap toleransi, serta saling menghargai dan isi-mengisi dengan belajar dari konsep kearifan Jawa, seperti tertera dalam motto di awal tulisan ini: “Rukun agawe Santosa, Crah agawe Bubrah”.

Dialog Budaya
Bertolak dari pemikiran tersebut, sebagai kelanjutan Dialog Budaya Seri-3 dengan topik ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, maka Dialog Budaya Seri-4 nanti pada Slasa Wage, 31 Juli 2007 mengetengahkan topik ”Dengan Serat-Serat Budaya Nusantara Membangun Indonesia Bersatu”, yang akan dibahas oleh tiga orang narasumber yang kompeten.

Narasumber:
1. Mohammad Sobary
Budayawan - Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform
2. Prof. Dr. Bakdi Sumanto
Budayawan – Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM
3. Prof. Dr. Wuryadi, MS
Ketua Dewan Pendidikan DIY – Guru Besar FIPA UNY

Moderator:
1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
Budayawan – Dekan & Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UNY
2. Hari Dendi
Wakil Ketua Dewan Pendidikan DIY

Gelar Seni:
Kolaborasi Karya Kreatif Bondan Nusantara, Sutradara Kethoprak, bersama RM. Kristiadi, Pengarah Acara Budaya TVRI Yogyakarta, menampilkan Teater Tradisional, didukung seniman muda dari ISI/SMKI Yogyakarta

Tempat & Waktu:
Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY
Slasa Wage, 31 Juli 2007
Jam 19.00 sampai selesai


Yogyakarta, 20 Juli 2007

Penanggungjawab/Script Writer,



Hari Dendi


HB/hd.


[1] U. Ginting, “Otonomi Daerah”, Masyarakat Transparansi Indonesia, 3 Oktober 1999.
[2] Mochtar Pabottinggi, “Hak-Hak Individu dan Sosial di Indonesia”, Yayasan Paramadina.
[3] Ameer Hamzah, ”Budaya Malu dan Berkata Benar dalam Masyarakat Aceh”, Serambi Minggu,
12 Desember 2003.
Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-3: “Yogya Untuk Semesta”

Topik:

“AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA”


MENURUT dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, Kaitjoo “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” atau Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sidang-Sidang BPUPKI diagendakan untuk mencari “Dasar atau Beginsel Negara”. Dalam pidatonya yang menggelegar bak halilintar, Bung Karno menawarkan Pantja Sila sebagai Dasar Negara, yang selain disebut “Weltanschauung”, juga dimaknai sebagai “Philosofische grondslag” seperti cuplikan kata-kata di bawah ini.

”Pantja Sila adalah philosofische grondslag, itulah pondamen, filsafat, pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. . .”
Meminjam istilah filsuf Rousseau, Onghokham berpendapat, Pancasila adalah ’dokumen politik’ sebagai ’kontrak sosial’, kompromi tentang asas-asas negara baru, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis. Selanjutnya mengutip pendapat Eric Hoffer (Riggs, 1994), Pancasila sebagai ideologi adalah motor penggerak masyarakat, sekaligus landasan persatuan dan kesatuan untuk merespons dinamika perubahan sosial.

Bung Karno juga menjelaskan secara gamblang mengapa Pantja Sila dapat ”diperas” menjadi Tri Sila: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan KeTuhanan Yang Maha Esa, serta menyatukannya dalam Eka Sila menjadi Gotong-royong, sebuah kosa-kata aseli Indonesia. Menurut Bung Karno, lebih dinamis daripada kekeluargaan, gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe, dengan pembanting-tulangan, pemerasan-keringat dan perjuangan bantu-membantu bersama.

Di sini jelas, Tri Sila atau Eka Sila adalah murni berasal dari Bung Karno. Sebagai fakta sejarah, penggunaan istilah itu tiada guna untuk diperdebatkan. Yang perlu diluruskan adalah: ketiga istilah itu harus ditempatkan dalam satu kesatuan utuh, tidak boleh dimaknai secara parsial. Hal ini perlu ditegaskan, karena kebanyakan generasi muda sudah tidak paham lagi tentang asal-muasal istilah-istilah itu.
*****
“BAGI bangsa dan negara Indonesia, Pancasila sudah final”, pernyataan semacam ini sudah terdengar lagi bagaikan setitik embun di tengah kegersangan wacana nasional. Kenyataannya pada era reformasi justru kata Pancasila jarang terdengar. Setelah di era lalu selalu diucapkan oleh siapa pun seakan mantra sakti, kini cenderung melupakan Pancasila dalam pidato-pidato resmi.
Mereka seolah ingin melepaskan diri dari stigma masa lalu. Hal ini ditengarai sebagai peringatan dini, bahwa Pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa. Tahun-tahun terakhir ini, Jiwa Pancasila itu memang sedang rapuh. Pada saat kita belajar berdemokrasi sekarang ini, ruang publik terpecah-belah oleh berbagai kepentingan ideologis partai-partai, oleh kepentingan pemilik modal, dan aksi massa masyarakat warga. Korupsi, kerusakan lingkungan, kekerasan menjadi menu media massa sehari-hari.

Menjelang 62 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, perasaan belum merdeka dari tekanan bangsa lain justru amat terasakan. Walaupun penjajahan secara langsung telah berakhir, namun independensi dan kedaulatan sebagai sebuah negara-bangsa tetap menjadi tantangan yang belum selesai. Bahkan, di tengah globalisasi dan pasar bebas, determinasi asing membuat substansi kemerdekaan terasa kehilangan maknanya.

Demokrasi di Indonesia tampaknya memang sedang memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Kebingungan menilai proses demokrasi ini tercermin dari kontroversi yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat bahwa demokrasi berjalan menguat dan yang berpendapat sebaliknya. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa dalam sewindu ini baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.

Sementara itu, nilai-nilai Pancasila ternyata juga tak dipandang penting sebagai acuan kehidupan berbangsa, dan penggunaannya pun dalam kehidupan sehari-hari kian lemah. Kalau berbagai hal, dari kondisi bangsa hingga nilai-nilai yang menjaga semangat nasionalisme dan persatuan ini tak mampu membangkitkan rasa bangga, apalagi yang masih bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia?

Bagaimana mengusahakan agar Pancasila tidak jatuh dalam ekstrem “mantra sakti” di satu sisi, dan “diabaikan” di sisi lain? Bagaimana memperjuangkan agar ia tetap menjadi inspirasi bagi roh keIndonesiaan? Dari mana kita akan memulainya, tidak lain adalah dari pembelajaran sejarah. Dalam Pancasila ditemukan mutiara-mutiara renungan yang terlalu berharga untuk diabaikan. Janganlah Indonesia sampai runtuh sebagai akibat kita lalai mempelajari, merenungkan, dan menghidupi hakikat Pancasila.

Sejak awal mula para pemimpin bangsa ini sepenuhnya mengalami dan menyadari, bahwa membentuk satu negara Republik Indonesia yang berkepulauan dan melingkari khatulistiwa Nusantara ini memerlukan satu visi yang jauh ke depan melampaui batas-batas keaneka-ragaman tata-nilai yang dimiliki oleh suku-suku bangsa kita.
*****

TAMPAKNYA kita perlu bercermin pada kehidupan bangsa-bangsa yang taat dan konsisten terhadap ideologi yang diciptakannya. Bagaimana masyarakat Jepang masih menjunjung tinggi semangat dan nilai-nilai restorasi Meiji, sehingga mereka selalu bekerja keras dalam membangun harga diri bangsanya. Rakyat AS mengaplikasikan ideologi kebebasan sebagai spirit masyarakat, sehingga terwujud kompetisi yang sehat dalam membangun bangsanya.

Kondisi objektif negeri besar yang bernama Indonesia ini, sesungguhnya amat rentan. Memang Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain yang mana pun. Ini perlu dicamkan, bukan untuk menggalang rasa chauvinistis atau kesombongan, tetapi justru untuk membangun kesadaran bertanggungjawab yang rendah hati bagi seluruh rakyatnya. Apabila kita melihat negeri ini “cuma” seperti Singapura, Taiwan, atau Korea Selatan, tanpa maksud mengecilkan keberhasilan mereka, akibatnya bangsa ini bisa salah jalan dalam usaha mencari terapi krisis multi dimensi yang melilitnya.

Indonesia besar bukan hanya dalam angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk. Atau luas negara yang meliputi hampir seluruh Eropa, atau pantai terpanjang di dunia, dan seterusnya. Tetapi, ia juga besar di dalam skala jumlah permasalahan mendasar yang harus dihadapi setiap saat. Artinya, sewaktu-waktu bisa muncul, bahkan meletup dalam besaran yang sulit diduga, yang mengancam persatuan-kesatuan bangsa.

Riset Douglas E. Ramage dalam ”Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance” (1995) mengungkapkan, bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu meributkan masalah ideologi. Indonesia, terutama para elitenya, sangat peka terhadap masalah ideologi sehingga seringkali terpenjara dalam polemik tak berkesudahan.

Namun, meski permasalahan elementer itu begitu besarnya, sejarah telah membuktikan bangsa ini mampu mengatasinya dengan tangan sendiri. Membanggakan, tetapi sarat masalah paradoksal. Betapa tidak, kita kembangkan semangat integralistik dan sepakat membangun bangsa dalam negara kesatuan, tetapi yang kita miliki justru semangat primordial, yang punya potensi disintegratif. Falsafah kita Pancasila dan selalu ingin memelihara semangat gotong-royong serta mengedepankan mufakat dalam musyawarah, tetapi kita seringkali suka melakukan rekayasa.

Setelah hampir 62 tahun merdeka, telah muncul tantangan terhadap Pancasila, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah semakin kompleks. Ini berarti perlu dicari bentuk-bentuk baru, suatu relasi sosial ke masa depan yang lebih baik.
*****


DALAM situasi seperti ini, tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika membuka Seminar Nasional ”Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi” (LPPKB, 2003), bahwa revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai semen perekat persatuan-kesatuan bangsa menjadi teramat penting.

Karena Pancasilalah yang harus menjadi sumber sekaligus landasan dan perspektif dari persatuan-kesatuan bangsa. Dengan landasan Pancasila itu pula, maka usaha untuk lebih memperkokoh rasa persatuan-kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan paham kebangsaan, kita juga menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh manusia terhadap manusia lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya.

Sebab Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak azasi manusia. Semangat persatuan-kesatuan kita menentang segala bentuk separatisme, baik atas dasar kedaerahan, agama maupun suku, sebab Sila Persatuan Indonesia memberikan tempat pada kemajemukan dan sama sekali tidak menghilangkan perbedaan alamiah dan keragaman budaya etnik. Oleh sebab itu, bangsa ini harus menentang perilaku membakar, menjarah, menganiaya, memperkosa dan tindak kebrutalan lainnya yang mengarah ke anarkisme, serta berdiri di depan memberantas KKN tanpa membeda-bedakan partai, golongan, agama, ras, atau pun etnik.

Semangat untuk tetap bersatu juga berakar pada azas Kedaulatan yang berada di tangan Rakyat, serta menentang segala bentuk feodalisme dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Karena kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan mendambakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, dan oleh karenanya, juga merupakan gerakan massa yang demokratis. Kecenderungan munculnya tirani mayoritas melalui aksi massa, hendaknya dikendalikan dan diarahkan, agar tidak merusak sendi-sendi persatuan-kesatuan bangsa. Jiwa persatuan-kesatuan juga mencita-citakan perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, karena dituntun oleh Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Semangat persatuan-kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila itu adalah nilai-nilai yang diperjuangkan melalui nation and character building oleh para Pendiri Bangsa. Proses itu harus kita lanjutkan dan kita kembangkan serta tidak boleh terhenti sejak kita memutuskan untuk membangun NKRI yang merdeka dan berdaulat dengan tonggak-tonggak sejarah Soempah Pemoeda 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945.
*****
PENGHORMATAN kita terhadap Bung Karno dan para pemimpin bangsa yang lain perlu diwujudkan dengan meneruskan cita-cita perjuangan beliau, memelihara persatuan dan kesatuan nasional, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Kalau Kennedy pernah mengungkapan:

”Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country”,

maka Bung Karno terkenal dengan ungkapannya:

“Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan saya rela tenggelam agar rakyat Indonesia dengan demikian tetap bersatu, tidak terpecah belah”.

Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru yang dibawa oleh zaman, harus terus-menerus disegarkan dan dihidup-hidupkan, agar Pancasila tetap mampu menjadi a living ideology dalam menjawab tantangan masa depan. Kita hendaknya menjadikan Pancasila suatu filosofi bangsa yang bisa hidup membumi, dengan melakukan pernyataan terus-menerus (continual re-statement) yang secara kontinyu memberikan makna baru melalui penafsiran yang kritis.

Oleh sebab itu, Pancasila dapat berkembang menjadi sesuatu yang dinamis, baik dalam makna maupun realita. Setiap generasi dan kelompok masyarakat dimungkinkan memberikan makna yang berbeda dan mewujudkannya dalam keragaman pula. Tetapi bagaimana pun, Pancasila tetap menjadi sumber semangat, kearifan dan kekuatan bangsa, sehingga menyadarkan bangsa ini setiap menghadapi cobaan, kemelut dan krisis, sekaligus guna merajut kembali persatuan dan kesatuan yang retak, menuju the dream land: Indonesia Baru.

Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno menegaskan:

”. . . tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit jika tidak dengan perjuangan! . . .zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! . . .kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka-Merdeka atau Mati”.

Menyadari hal tersebut, sekaligus untuk memperingati hari Lahirnja Pancasila ke-62 pada 1 Juni 2005 dan ulang tahun ke-106 Bung Karno, Penggali Pancasila, pada 6 Juni 2005, maka Dialog Budaya Slasa Wage, 26 Juni 2007 ini akan mengetengahkan topik ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, yang diharapkan dapat memberikan panduan dan contoh-contoh aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Narasumber:
1. Prof. Dr. Sofian Effendi, MA, Rektor UGM 2002-2007
Telaah Sejarah atas Kuliah Umum Bung Karno tentang Pancasila Dasar Falsafah Negara pada 26 Juni 1958-1 Februari 1959 di UGM & internalisasinya pada Jiwa Kerakyatan UGM
2. Dr. Cornelis Lay, MA, Ketua Tim RUUK DIY
Telaah Ideologis & penerapannya dalam bidang Politik
3. Agus Wahyudi, MSi, MA, Ketua Pusat Studi Pancasila UGM
Hasil-hasil Kajian PSP-UGM & penerapannya di Masyarakat

Moderator:
1. Ir. H. Yuwono Sri Suwito, MM
Ketua Dewan Kebudayaan DIY
2. Hari Dendi
Wakil Ketua Dewan Pendidikan DIY

Gelar Seni:
Kolaborasi Karya Kreatif Haryoso, SSn, Sutradara Teater Gadjah Mada dan Bondan Nusantara, Sutradara Kethoprak, menampilkan Fragmen Sidang BPUPKI episode ”Lahirnja Pantjasila”, didukung seniman muda dari ISI/SMKI Yogyakarta

Tempat & Waktu:
Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY
Slasa Wage, 26 Juni 2007
Jam 19.00 sampai selesai


Yogyakarta, 13 Juni 2007

Penanggungjawab/Script Writer,



Hari Dendi


HD/hd.

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan