Thursday 31 July 2008

Unforgettable with Ardhana in Candi Ratu Boko

Acara ini sebenarnya sudah kunanti-nanti sejak 16-17 Juni 2008, bahkan aku saking semangatnya tidak membaca kalau Diklat Custom Service di Candi Boko itu diselenggarakan masih sebulan yang akan datang, sehingga aku tanggal 16 Juni itu sudah ke penyelenggara Dinas Kebudayaan Provinsi DIY untuk membawa bekal, tetapi ternyata saya salah lihat, ternyata undangannya Juli pada tanggal yang sama, hanya beda n sama l.

Tepat pada tanggal 16 Juli 2008 saya segera berangkat ke penyelenggara Diklat customer Service. Kami harus berpakaian olahraga dulu sebelum sampai ke Candi Boko. Di bus kami sudah dalam suasana yang sengaja diciptakan Tim Ardhana. Siapa ardhana ? Ardhana adalah sebuah lembaga Human Development and Communication Center. Ternyata rombongan kami sudah angkatan ke IV setelah sebelumnya telah dilakukan kepada para pimpinan. Pada rombongan kami ini hanya ada 3 perempuan. Kami terbagi dalam dua kelompok, kelompok satu dan dua. Kami diadu diminta menghafal sebuah lagu yang dipandu oleh pihak Ardhana (Mr. Iwan with hat)......"Mana di mana Dinas Budaya Yogya, Dinas Budaya Yogya mau ke Candi Boko..Mana dimana Dinas Budaya Yogya, Dinas Budaya Yogya mau ke Candi Boko...Dinas Budaya Jogja...kompak...Dinas Budaya Jogja oke, Dinas Budaya Yogya servisnya memuaskan........... Kelompok kami mendapat nilai yang lebih sehingga dapat dari bus duluan.

Setelah turun bus kami terbawa oleh suasana yang sengaja diciptakan oleh Ardhana. Suasana yang ceria, menyenangkan, semangat, yang masih mudah tambah muda, yang sudah tua menjadi bersemangat muda. Para trainernya memang banyak yang masih muda. Trainer yang pertama menggebrak lamunan kami yaitu Mrs Elina dengan kerudungnya. Mrs Iwan sengaja memancing apresiasi seni musik kita semua.

Monday 7 July 2008

Ratu Simha, Peletak Dasar Hukum di Kalingga

(Tulisan ini merupakan sambungan fragmen-fragmen sejarah yang saya dramatisasi/prosa-kan menjadi cerita bebas, saya mencoba meraba, merangkai potongan-potongan fakta, karena memang sumber sejarah Kalingga ini tidak banyak, hanya bagian dari Sejarah Mataram Kuno, bukti-bukti materinya mungkin sudah ditelan bumi atau tertiup angin, yang jelas Ratu Simha, penegak hukum itu pernah ada di Jawa)
Pertengahan abad 7 M, di Cho-po (Jawa) ketika itu Merapi menawarkan hawa damai bagi penghuninya. Hanya puncaknya yang selalu mengepulkan asap lembut ke angkasa. Merapi bisa terlihat dari arah manapun. Di sekitarnya berdirilah istana dengan pagar kayu, istana itu dibuat tinggi sehingga Raja bisa melihat pemandangan di sekitarnya, sejauh mata memandang, dalam kesaujanaannya. Komunitas ini telah lahir sudah sejak tahun 500-an, karena lukisan hidup itu telah tertuang jelas dalam prasasti TukMas.
Persawahan yang hijau, panen, gading-gading, emas, merupakan simbol kemakmuran negeri itu. Daerah yang sangat makmur, gemah ripah loh jinawi. Raja tinggal di istana yang singgasananya tinggi. Dia bercengkerama di atas pegunungan sambil melihat pemandangan di sekitarnya. Banyak utusan Kerajaan ini yang berlayar, menyusuri Laut Cina Selatan untuk menemui Kaisar sejak sebelum zaman Dinasti Tang di daratan Cina. Holing atau Kalingga namanya. Setelah Sanaha meninggal, kekuasaan Kalingga dikuasai oleh seorang Raja Perempuan yang dinamai Ratu Simha, atau Si-mo.
Kalingga waktu merupakan tempat para biksu Cina belajar agama Budha, tukar menukar ilmu agama, ilmu perdagangan. Telah lama Kalingga terbebas dari pencurian dan cerita-cerita kejahatan yang lainnya. Oleh karena setiap kejahatan pasti langsung diambil tindakan. Bagi yang berbuat tidak sesuai dengan dharma kebaikan maka ancamannya bisa dipancung, atau dipotong anggota badannya.
Sebagai seorang perempuan, Ratu Simha tidak suka perkosaan terhadap rakyatnya, dilarang ingin memiliki perempuan yang sudah punya isteri, dilarang mengambil barang yang bukan miliknya, bahkan menyentuhnya, dilarang menipu, dilarang mengkhianati negara. Siapapun yang melanggar akan dihukum potong anggota badan, cambuk atau pancung. Setelah hukum itu betul-betul ditegakkan, tak seorangpun berani mengganggu keamanan dan ketertiban. Semuanya berjalan damai dan rakyatpun bisa makan dengan nyaman, walaupun makan dengan tangan, duduk lesehan.
Saat itu rakyat betul-betul merasakan kehidupan yang aman dan tentram, tidak ada kejahatan. Kabar tentang penegakan hukum di Kalingga itu mendapat cibiran dari Raja Ta-che,"Beeh, seorang Raja Perempuan bisa menegakkan hukum di negerinya, tidak ada kejahatan sekecil apapun, wah ini perlu kucobain, aku tidak percaya kalau tidak seorang wargapun yang tidak ngiler dengan emas permata, harta benda, pasti rajanya munafik, demikian juga rakyatnya, tidak mungkin lah, jambret, kecu, pencopet, rompak hilang, apalagi oleh raja perempuan, ndak percaya................."umpat Raja Ta-che."Tetapi itu kenyataannya Tuan, di sana tidak ada perampok, pencuri sekalipun, semuanya berjalan damai...............", jawab utusannya. Raja Tache berkata,"Aku punya rencana, apakah rakyat Kalingga dan Ratunya tidak ngiler lihat pundi-pundi emas yang kupasang...........jangan-jangan karena saking kerenya mereka, jadi tidak tahu uang...munafik, akan kita cobain, .....besok, ada di antara kalian yang memasang pundi-pundi emas di tengah jalan, di setiap mereka lewat pasang tuh pundi-pundi uang....jangan sampai mereka tahu, pura-pura kalian juga dagang di sana".
Betul lain hari ada pundi-pundi emas berada di tengah jalan. Tidak satupun rakyat yang menyentuh pundi-pundi emas itu. Mereka selalu ingat pesan Ratunya agar tidak ingin memiliki apa yang tidak dimilikinya. Tiga tahun lamanya pundi-pundi itu dibiarkan ada di jalanan tanpa ada yang menyentuhnya.
Raja Ta-che meremas-remas tangannya tidak sabar dengan hasil percobaannya,"Kapan aku melihat Raja Perempuan itu kena batunya.........kapan ya..........kemunafikannya mana......."
Pada suatu hari, Putra Mahkota berjalan di kota untuk melihat keramaian. Dia tidak suka ada barang yang mengganggu di tengah jalan, maka ditendangnya pundi-pundi itu, betapa terkejutnya orang-orang di sekitarnya, timbul banyak spekulasi terhadap kejadian itu, pasti dia dianggap mau mencuri atau apa, yang jelas Ratu Simha sangat murka mendengar hal itu. Segera saja semua saksi dan para menteri diundang untuk bersidang.
"Apa benar Putra Mahkota menyentuh dan menendang pundi-pundi emas milik orang lain, ada yang melihatnya........"
"Ya, kami melihat sendiri Putra Mahkota telah menyentuh, tidak hanya itu bahkan menendangnya......"kata para saksi.
"Benar begitu Putra Mahkota, Ananda telah menendang pundi-pundi itu, Ananda tahu apa akibatnya, siapapun yang menyentuh barang orang lain harus dihukum tidak terkecuali kerabat kerajaan sekalipun....................." tanya Ratu Simha kepada pangeran.
"Ya, Ananda mengakui Bunda, hanya saja saya merasa risih melihat ada barang di tengah jalan, menghalangi kereta lewat, gerobag rakyat yang lewat jadi terganggu.............." jawab Putra Mahkota.
"Apapun alasannya, hukum berlaku bagi siapapun, para menteri, kita akan menyiapkan hukum pancung untuk Putraku.........................." kata Ratu Simha dengan tegas.
"Jangan Ratu, kami akan merapatkan dulu proses penghukuman terhadap Pangeran............."
Hari berikutnya para menteri mempersiapkan berkas pembelaan terhadap Putra Mahkota,"Ratu Simha yang kami hormati, sesungguhnya tiada yang salah dalam diri Putra Mahkota, kalau beliau ingin mencuri tidak mungkin menendangnya, jelas-jelas barang itu menghalangi jalan dan selama tiga tahun berada di situ, tidak ada yang mengaku, milik siapa, tidak ada yang tahu, kalau itu ada yang punya, pasti juga diambil, ini sudah tiga tahun tidak ada yang mengambil, mungkin ini ulah musuh Ratu Simha yang ingin menguji sejauh mana hukum di Kalingga ditegakkan.........."
"Maka dari itu Para Menteriku, Pangeran harus dipancung............................" kata Ratu Simha.
"Dalam hal ini tidak ada yang patut dipersalahkan untuk barang yang sengaja diumpankan oleh Raja Musuh."
"Ya, Ratu Simha, ampunilah Pangeran, dia masih muda, tidak bersalah, tiada mungkin orang semulia Pangeran akan mencuri........................................ini baru nasib apesnya Pangeran saja.................." bela Menteri yang lain.
"Kalaupun harus dihukum ya, mohon jangan pancung, atau yang justru mematikan masa depannya, dia calon raja, Ratu, mohon diampuni kesalahannya...."
"Baiklah, hukuman harus tetap dilaksanakan, potong jari kakinya yang telah nakal itu, menendang pundi-pundi itu...............dan tidak mau mendengar nasehat Bunda" perintah Ratu Simha.
Jari kaki Pangeranpun dipotong. Hal ini menunjukkan betapa tegasnya Ratu Simha. Akan tetapi Putra Mahkota ini jarang diceritakan siapa namanya setelah jadi Raja.
Selain berita tentang tegaknya hukum di Kalingga, juga diceritakan tentang seorang biksu Tionghoa yang suka mengunjungi teman sejawatnya yang orang Jawa tulen, Djnanabadra. Mereka bekerjasama untuk menterjemahkan kitab Budha Hinayana dalam bahasa Tionghoa.
Kisah tentang pemerintahan Ratu Sima di Cho-po (Jawa) ini kemudian dilanjutkan oleh Dinasti baru, yaitu Dinasti Sanjaya.

Saturday 5 July 2008

Cikal Bakal Peradaban Merapi

Kalau menyebut Merapi, ada banyak kata kunci yang akan menjelaskannya gunung di tengah Pulau Jawa, milik orang Jawa Tengah dan Yogyakarta, kalau lagi aktif sungguh meresahkan, kalau lagi anggun mempesona, kalau lagi sakit mengeluarkan lendir dan dahak berupa wedus gembel dan lahar, gunung yang sudah tua, labuhan, tempat lahirnya Mbah Maridjan yang rosa, Kaliurang, puncak utaranya Yogya. Merapi terbentuk selama ratusan ribu tahun yang lalu secara periodik. Bahan-bahan material yang terus menggunung, kemudian luruh dengan sendirinya, membentuk perisai Merapi. Setiap Merapi melakukan pembenahan-penyembuhan diri secara alami, akan meresahkan lingkungannya, tetapi ketika masa rehabilitasi itu selesai maka banyak komunitas yang menggantungkan kehidupan di sekitarnya, sehingga lahirnya peradaban yang unggul. Bahan-bahan material yang dilahirkan dari rahim Merapi merupakan kekayaan yang tiada terkira bagi kehidupan. Sungai-sungai sebagai jalan bagi laharnya juga menghasilkan peradaban di sekitarnya. Kalau Yogyakarta masih menjadi hutan-hutan mungkin dulunya masih merupakan kaki Merapi.

Cerita ini terjadi pada sekitar tahun 500 M (berdasarkan prasasti Tuk Mas 500 M). Prasasti Tuk Mas ini berhubungan dengan isi prasasti yang lain (Canggal, Dinoyo, Matyasih, Kelurak, Plaosan Lor, Prambanan, Mungguatan) yang menceritakan Mataram Kuno. Dapat diduga kalau ada perjalanan sambung menyambung antar dinasti di Mataram Kuno.

Data dan berita sebelum masa Mataram Kuno sulit sekali ditemukan. Hanya sebuah prasasti Tuk Mas yang berisi relief kehidupan di dalam gua yang pertama ditemukan. Hal itu belum bisa menjelaskan semua cerita yang ada. Ada cerita besar apa di balik prasasti itu.
Berita Cina Dinasti Tang menceritakan sebuah Kerajaan yang namanya Kaling (kalingga). Problema bahasa meragukan kebenaran cerita. Kehidupan kerajaan itu kira-kira pertengahan abad 7. Kalau tuk mas menceritakan tahun 500 M, itu berarti Kaling telah ada sejak masa itu, hanya saja pada pertengahan Abad 7 itulah Kaling mengalami kejayaan atau ada Kerajaan cikal bakal Mataram Kuno yang lain. Waktu itu kerajaan Tarumanegara (Citarum) sudah jarang diceritakan orang, hanya Holing atau Kalingga.
Ada dugaan kalau Kaling itu merupakan keturunan India, Dinasti Harsya (Kalinga India) yag telah dimusnahkan oleh Kerajaan di India. Imigran dari Kaling, India ini mencoba nasib di wilayah seberang dan membentuk peradaban Kaling di Jawa.
Ada sebuah sumber kalau dulu ada Raja namanya Sanaha. Dalam buku catatan Cina (abad 7-10M) lebih banyak memuata Kerajaan Holing di Jawa. Holing (Kalingga) dinyatakan sebagai kerajaan yang makmur, penghasil beras, emas, gading (barang dagangan). Ibukota kerajaan dipagari kayu dan atap rumai-rumbai. Raja duduk di singgasana gading, istananya bersusun (tinggi), ketika ada pisowanan rakyat duduk di bawah. Rajanya biasanya bercengkerama sambil melihat danau/telaga/lautan di daerah pegunungan pada dataran tinggi Lang Pi go (Dieng). Mungkin yang dimaksud orang Cina tadi adalah rawa Pening atau mungkin Pegunungan Ungaran, masih banyak dugaan. Sering kali utusan Holing datang ke Cina.
Pada waktu itu orang-orang Holing sudah mengenal arak dari endapan air kelapa (mungkin legen) untuk menghangatkan badan. Mereka makan dengan tangan.
Di Kaling juga disebutkan ada Raja perempuan yang sangat sakti, adil, tegas dalam menerapkan disiplin kerajaan. Bagi sipa saja yang mencuri akan dihukum setimpal. Dia tidak mau ada kebatilan di Kerajaan sedikitpun. Mungkin wajarlah kalau di daerah Jawa Tengah banyak bupati perempuan, seperti Ibu Rustriningsih. Waktu itu kira-kira akhir abad 7 M, dia, Simha, Simo, memerintah dengan menegakkan hukum secara tegas, untuk menjaga ketertiban dan ketentraman. Diapun berhasil sehingga tidak seorangpun yang berani menyentuh barang-barang milik orang lain. Cerita ketertiban di Kaling ini tidak dipercayai Raja lain (Ta-che) sehingga dia sengaja mau mencobain warga Kaling. Benar, tidak satupun menyentuh pundi-pundi emas yang dipajang di jalan. Malang tidak bisa ditolak, setelah tiga tahun tidak seorangpun yang menyentuhnya, putra mahkota justru menendang pundi-pundi itu. Betapa Raja Tache tertawa terbahak-bahak berhasil mengerjain Raja perempuan itu mungkin. Ratu Simha dengan tegas menetapkan hukuman mati dipancung kepalanya bagi putra mahkota. Para menteri membujuk Ratu Simha agar tidak menghukum putra mahkota karena tidak mungkin dilakukannya, atau membujuknya agar hukuman diperingan. Hukum harus ditegakkan, jari kaki putra mahkota lah yang dipotong. Menurut catatan perjalanan Itsing (musafir Cina) bahwa pada tahun 644 ada seorang ahli filsafat dari Tionghoa yang bernama Wuining, dia mengunjungi teman sejawatnya yang Jawa tulen, namanya Djnanabadhra. Mereka menterjemahkan naskah Budha Hinayana, ke dalam bahasa Tionghoa.
Penguasa selanjutnya kerajaan di sana yaitu Sanjaya. Sanjaya diceritakan memiliki hubungan dengan Simha, mungkin anak, mungkin saudara. Dalam berita Cina menyatakan bahwa penguasa Mataram Kuno waktu itu beragama Budha, ayahnya beragama Hindu. Ibu dari Sanjaya adalah Raja perempuan yang sangat sakti yang memerintah Holing, yakni Simha. Ada berita lain yang menyatakan dia saudaranya Simha. Tidak pernah ada cerita tentang Sanjaya yang kakinya dipotong oleh Ibunya. Sanjaya-lah peletak dasar Mataram Kuno. (bersambung)

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan