Tuesday 9 October 2007

Dialog Budaya & Gelar Seni Seri-3: “Yogya Untuk Semesta”

Topik:

“AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA”


MENURUT dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, Kaitjoo “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” atau Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sidang-Sidang BPUPKI diagendakan untuk mencari “Dasar atau Beginsel Negara”. Dalam pidatonya yang menggelegar bak halilintar, Bung Karno menawarkan Pantja Sila sebagai Dasar Negara, yang selain disebut “Weltanschauung”, juga dimaknai sebagai “Philosofische grondslag” seperti cuplikan kata-kata di bawah ini.

”Pantja Sila adalah philosofische grondslag, itulah pondamen, filsafat, pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. . .”
Meminjam istilah filsuf Rousseau, Onghokham berpendapat, Pancasila adalah ’dokumen politik’ sebagai ’kontrak sosial’, kompromi tentang asas-asas negara baru, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis. Selanjutnya mengutip pendapat Eric Hoffer (Riggs, 1994), Pancasila sebagai ideologi adalah motor penggerak masyarakat, sekaligus landasan persatuan dan kesatuan untuk merespons dinamika perubahan sosial.

Bung Karno juga menjelaskan secara gamblang mengapa Pantja Sila dapat ”diperas” menjadi Tri Sila: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan KeTuhanan Yang Maha Esa, serta menyatukannya dalam Eka Sila menjadi Gotong-royong, sebuah kosa-kata aseli Indonesia. Menurut Bung Karno, lebih dinamis daripada kekeluargaan, gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe, dengan pembanting-tulangan, pemerasan-keringat dan perjuangan bantu-membantu bersama.

Di sini jelas, Tri Sila atau Eka Sila adalah murni berasal dari Bung Karno. Sebagai fakta sejarah, penggunaan istilah itu tiada guna untuk diperdebatkan. Yang perlu diluruskan adalah: ketiga istilah itu harus ditempatkan dalam satu kesatuan utuh, tidak boleh dimaknai secara parsial. Hal ini perlu ditegaskan, karena kebanyakan generasi muda sudah tidak paham lagi tentang asal-muasal istilah-istilah itu.
*****
“BAGI bangsa dan negara Indonesia, Pancasila sudah final”, pernyataan semacam ini sudah terdengar lagi bagaikan setitik embun di tengah kegersangan wacana nasional. Kenyataannya pada era reformasi justru kata Pancasila jarang terdengar. Setelah di era lalu selalu diucapkan oleh siapa pun seakan mantra sakti, kini cenderung melupakan Pancasila dalam pidato-pidato resmi.
Mereka seolah ingin melepaskan diri dari stigma masa lalu. Hal ini ditengarai sebagai peringatan dini, bahwa Pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa. Tahun-tahun terakhir ini, Jiwa Pancasila itu memang sedang rapuh. Pada saat kita belajar berdemokrasi sekarang ini, ruang publik terpecah-belah oleh berbagai kepentingan ideologis partai-partai, oleh kepentingan pemilik modal, dan aksi massa masyarakat warga. Korupsi, kerusakan lingkungan, kekerasan menjadi menu media massa sehari-hari.

Menjelang 62 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, perasaan belum merdeka dari tekanan bangsa lain justru amat terasakan. Walaupun penjajahan secara langsung telah berakhir, namun independensi dan kedaulatan sebagai sebuah negara-bangsa tetap menjadi tantangan yang belum selesai. Bahkan, di tengah globalisasi dan pasar bebas, determinasi asing membuat substansi kemerdekaan terasa kehilangan maknanya.

Demokrasi di Indonesia tampaknya memang sedang memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Kebingungan menilai proses demokrasi ini tercermin dari kontroversi yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat bahwa demokrasi berjalan menguat dan yang berpendapat sebaliknya. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa dalam sewindu ini baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.

Sementara itu, nilai-nilai Pancasila ternyata juga tak dipandang penting sebagai acuan kehidupan berbangsa, dan penggunaannya pun dalam kehidupan sehari-hari kian lemah. Kalau berbagai hal, dari kondisi bangsa hingga nilai-nilai yang menjaga semangat nasionalisme dan persatuan ini tak mampu membangkitkan rasa bangga, apalagi yang masih bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia?

Bagaimana mengusahakan agar Pancasila tidak jatuh dalam ekstrem “mantra sakti” di satu sisi, dan “diabaikan” di sisi lain? Bagaimana memperjuangkan agar ia tetap menjadi inspirasi bagi roh keIndonesiaan? Dari mana kita akan memulainya, tidak lain adalah dari pembelajaran sejarah. Dalam Pancasila ditemukan mutiara-mutiara renungan yang terlalu berharga untuk diabaikan. Janganlah Indonesia sampai runtuh sebagai akibat kita lalai mempelajari, merenungkan, dan menghidupi hakikat Pancasila.

Sejak awal mula para pemimpin bangsa ini sepenuhnya mengalami dan menyadari, bahwa membentuk satu negara Republik Indonesia yang berkepulauan dan melingkari khatulistiwa Nusantara ini memerlukan satu visi yang jauh ke depan melampaui batas-batas keaneka-ragaman tata-nilai yang dimiliki oleh suku-suku bangsa kita.
*****

TAMPAKNYA kita perlu bercermin pada kehidupan bangsa-bangsa yang taat dan konsisten terhadap ideologi yang diciptakannya. Bagaimana masyarakat Jepang masih menjunjung tinggi semangat dan nilai-nilai restorasi Meiji, sehingga mereka selalu bekerja keras dalam membangun harga diri bangsanya. Rakyat AS mengaplikasikan ideologi kebebasan sebagai spirit masyarakat, sehingga terwujud kompetisi yang sehat dalam membangun bangsanya.

Kondisi objektif negeri besar yang bernama Indonesia ini, sesungguhnya amat rentan. Memang Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain yang mana pun. Ini perlu dicamkan, bukan untuk menggalang rasa chauvinistis atau kesombongan, tetapi justru untuk membangun kesadaran bertanggungjawab yang rendah hati bagi seluruh rakyatnya. Apabila kita melihat negeri ini “cuma” seperti Singapura, Taiwan, atau Korea Selatan, tanpa maksud mengecilkan keberhasilan mereka, akibatnya bangsa ini bisa salah jalan dalam usaha mencari terapi krisis multi dimensi yang melilitnya.

Indonesia besar bukan hanya dalam angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk. Atau luas negara yang meliputi hampir seluruh Eropa, atau pantai terpanjang di dunia, dan seterusnya. Tetapi, ia juga besar di dalam skala jumlah permasalahan mendasar yang harus dihadapi setiap saat. Artinya, sewaktu-waktu bisa muncul, bahkan meletup dalam besaran yang sulit diduga, yang mengancam persatuan-kesatuan bangsa.

Riset Douglas E. Ramage dalam ”Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance” (1995) mengungkapkan, bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu meributkan masalah ideologi. Indonesia, terutama para elitenya, sangat peka terhadap masalah ideologi sehingga seringkali terpenjara dalam polemik tak berkesudahan.

Namun, meski permasalahan elementer itu begitu besarnya, sejarah telah membuktikan bangsa ini mampu mengatasinya dengan tangan sendiri. Membanggakan, tetapi sarat masalah paradoksal. Betapa tidak, kita kembangkan semangat integralistik dan sepakat membangun bangsa dalam negara kesatuan, tetapi yang kita miliki justru semangat primordial, yang punya potensi disintegratif. Falsafah kita Pancasila dan selalu ingin memelihara semangat gotong-royong serta mengedepankan mufakat dalam musyawarah, tetapi kita seringkali suka melakukan rekayasa.

Setelah hampir 62 tahun merdeka, telah muncul tantangan terhadap Pancasila, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah semakin kompleks. Ini berarti perlu dicari bentuk-bentuk baru, suatu relasi sosial ke masa depan yang lebih baik.
*****


DALAM situasi seperti ini, tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika membuka Seminar Nasional ”Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi” (LPPKB, 2003), bahwa revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai semen perekat persatuan-kesatuan bangsa menjadi teramat penting.

Karena Pancasilalah yang harus menjadi sumber sekaligus landasan dan perspektif dari persatuan-kesatuan bangsa. Dengan landasan Pancasila itu pula, maka usaha untuk lebih memperkokoh rasa persatuan-kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etik, yang bersumber pada kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan paham kebangsaan, kita juga menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya, oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh manusia terhadap manusia lain, bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya.

Sebab Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak azasi manusia. Semangat persatuan-kesatuan kita menentang segala bentuk separatisme, baik atas dasar kedaerahan, agama maupun suku, sebab Sila Persatuan Indonesia memberikan tempat pada kemajemukan dan sama sekali tidak menghilangkan perbedaan alamiah dan keragaman budaya etnik. Oleh sebab itu, bangsa ini harus menentang perilaku membakar, menjarah, menganiaya, memperkosa dan tindak kebrutalan lainnya yang mengarah ke anarkisme, serta berdiri di depan memberantas KKN tanpa membeda-bedakan partai, golongan, agama, ras, atau pun etnik.

Semangat untuk tetap bersatu juga berakar pada azas Kedaulatan yang berada di tangan Rakyat, serta menentang segala bentuk feodalisme dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Karena kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan mendambakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, dan oleh karenanya, juga merupakan gerakan massa yang demokratis. Kecenderungan munculnya tirani mayoritas melalui aksi massa, hendaknya dikendalikan dan diarahkan, agar tidak merusak sendi-sendi persatuan-kesatuan bangsa. Jiwa persatuan-kesatuan juga mencita-citakan perwujudan masyarakat yang adil dan makmur, karena dituntun oleh Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Semangat persatuan-kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila itu adalah nilai-nilai yang diperjuangkan melalui nation and character building oleh para Pendiri Bangsa. Proses itu harus kita lanjutkan dan kita kembangkan serta tidak boleh terhenti sejak kita memutuskan untuk membangun NKRI yang merdeka dan berdaulat dengan tonggak-tonggak sejarah Soempah Pemoeda 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945.
*****
PENGHORMATAN kita terhadap Bung Karno dan para pemimpin bangsa yang lain perlu diwujudkan dengan meneruskan cita-cita perjuangan beliau, memelihara persatuan dan kesatuan nasional, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Kalau Kennedy pernah mengungkapan:

”Ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country”,

maka Bung Karno terkenal dengan ungkapannya:

“Saya sadar bahwa saya akan tenggelam. Namun biarkan saya rela tenggelam agar rakyat Indonesia dengan demikian tetap bersatu, tidak terpecah belah”.

Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru yang dibawa oleh zaman, harus terus-menerus disegarkan dan dihidup-hidupkan, agar Pancasila tetap mampu menjadi a living ideology dalam menjawab tantangan masa depan. Kita hendaknya menjadikan Pancasila suatu filosofi bangsa yang bisa hidup membumi, dengan melakukan pernyataan terus-menerus (continual re-statement) yang secara kontinyu memberikan makna baru melalui penafsiran yang kritis.

Oleh sebab itu, Pancasila dapat berkembang menjadi sesuatu yang dinamis, baik dalam makna maupun realita. Setiap generasi dan kelompok masyarakat dimungkinkan memberikan makna yang berbeda dan mewujudkannya dalam keragaman pula. Tetapi bagaimana pun, Pancasila tetap menjadi sumber semangat, kearifan dan kekuatan bangsa, sehingga menyadarkan bangsa ini setiap menghadapi cobaan, kemelut dan krisis, sekaligus guna merajut kembali persatuan dan kesatuan yang retak, menuju the dream land: Indonesia Baru.

Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno menegaskan:

”. . . tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit jika tidak dengan perjuangan! . . .zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! . . .kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka-Merdeka atau Mati”.

Menyadari hal tersebut, sekaligus untuk memperingati hari Lahirnja Pancasila ke-62 pada 1 Juni 2005 dan ulang tahun ke-106 Bung Karno, Penggali Pancasila, pada 6 Juni 2005, maka Dialog Budaya Slasa Wage, 26 Juni 2007 ini akan mengetengahkan topik ”Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, yang diharapkan dapat memberikan panduan dan contoh-contoh aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Narasumber:
1. Prof. Dr. Sofian Effendi, MA, Rektor UGM 2002-2007
Telaah Sejarah atas Kuliah Umum Bung Karno tentang Pancasila Dasar Falsafah Negara pada 26 Juni 1958-1 Februari 1959 di UGM & internalisasinya pada Jiwa Kerakyatan UGM
2. Dr. Cornelis Lay, MA, Ketua Tim RUUK DIY
Telaah Ideologis & penerapannya dalam bidang Politik
3. Agus Wahyudi, MSi, MA, Ketua Pusat Studi Pancasila UGM
Hasil-hasil Kajian PSP-UGM & penerapannya di Masyarakat

Moderator:
1. Ir. H. Yuwono Sri Suwito, MM
Ketua Dewan Kebudayaan DIY
2. Hari Dendi
Wakil Ketua Dewan Pendidikan DIY

Gelar Seni:
Kolaborasi Karya Kreatif Haryoso, SSn, Sutradara Teater Gadjah Mada dan Bondan Nusantara, Sutradara Kethoprak, menampilkan Fragmen Sidang BPUPKI episode ”Lahirnja Pantjasila”, didukung seniman muda dari ISI/SMKI Yogyakarta

Tempat & Waktu:
Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Pemerintahan DIY
Slasa Wage, 26 Juni 2007
Jam 19.00 sampai selesai


Yogyakarta, 13 Juni 2007

Penanggungjawab/Script Writer,



Hari Dendi


HD/hd.

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan