Wednesday 14 May 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional

Ada beberapa orang yang pesimis dengan arti kebangkitan nasional. Benarkah bangsa Indonesia pernah merasakan kebangkitan ? Akan tetapi terbukti pada 20 Mei 1908 telah dirintis organisasi pergerakan nasional yang lebih modern dan nasionalis dibandingkan corak perlawanan terhadap penjajahan sebelum tahun tersebut, karena strategi perang para tokoh-tokohnya selalu bisa dibabat oleh kolonial, baik dengan cara licik maupun agresif terang-terangan. Sebelum tahun-tahun ini tersebutlah, P. Diponegoro, Sultan Agung, P. Mangkubumi, Pattimura, Sultan Hasanudin, P. Antasari, dan sezamannya yang bersifat kedaerahan, emosional, senjatanya tradisional.
Sebelum tahun 1908, bangsa Indonesia yang masih terpisah oleh rasa kedaerahan, setelah kejayaan beberapa kerajaan, dilanda penyakit yang kian meradang yang diakibatkan oleh penjajahan. Krisis-krisis atau kepincangan-kepincangan terjadi mewarnai kehidupan di Indonesia, yaitu krisis pangan, krisis persatuan, krisis moral, krisis jati diri bangsa dan sebagainya.
Krisis pangan, di mana penduduk bisa menghasilkan hasil bumi, tetapi diangkut ke Negeri Belanda. Bangsa Indonesia kaya, tetapi kekayaan itu lari dimakan orang lain. Rakyat dikenai pajak dengan tanaman dan tenaga.
Rakyat Indonesia secara politis dikebiri. Kekuasaan lokal dibatasi, sehingga banyak bangsawan yang tidak berdaya melihat penderitaan di sekitarnya. Pribumi adalah orang berpangkat sekian setelah Orang Eropa dan Cina.
Pada tahun 1900 seluruh bisnis perdagangan dan per-bank-an terutama di tangan orang-orang Belanda, dengan orang-orang Cina sebagai perantara dan lintah darat. Pribumi dibatasi pada perdagangan eceran kecil. Banyak orang asing yang datang ke Indonesia.
Krisis moral diwarnai dengan banyaknya pejabat kolonial yang korupsi sehingga keuangan Pemerintahan Negeri Jajahan carut marut.
Menjelang tahun 1900 Belanda mulai memandang liberalisme sebagai sistem penjajahan yang kuno. Yang jelas kongsi-kongsi pengusaha perseorangan tidak mau peduli kepada kepentingan pribumi, karena kapitalisme lebih utama. Dalam era Dr. Abraham Kuyper, yang menjadi Perdana Menteri tahun 1901, adalah penulis selebaran yang diterbitkan pada tahun 1880, yang berjudul "Ons Program" dalam mana ia mendesak bahwa pemerintah harus menjalankan politik tanggung jawab kemakmuran orang-orang pribumi. Gagasan ini ia tumbuhkan dalam "Suara dari Mahkota Kerajaan" tahun itu. Dengan demikian telah dilancarkan apa yang dikenal sebagai Politik Etika (Transmigrasi, Edukasi, Irigasi).
Paham sosialis pertama waktu itu yang telah memasuki Parlemen Belanda dan dengan nyaring memproklamirkan doktrin "Pemerintah Hindia untuk Hindia", dengan melihat tujuan terakhir, pemerintahan sendiri. Tetapi kesan yang lebih mengena sasaran adalah yang diluncurkan oleh C.Th.Van Deventer yang bukan saja membuat rancangan program baru bagi partainya, yang memajukan kemakmuran, desentralisasi dan jumlah lebih besar pegawai Indonesia dalam pemerintahan, tetapi tahun 1899 beliau telah menciptakan sensasi baru dalam tata pemerintahan Belanda dengan mengangkat ide dalam sebuah artikelnya yang berjudul "een eereschuld" (sebuah hutang budi). Beliau mendesak Pemerintah Belanda untuk mengembalikan uang yang dipakai Belanda dalam bentuk batig saldo sejak tahun 1867 yang menjadi tanggung jawab parlemen.
Sentimen-sentimen dari para agamawan, jurnalis, kelompok sosialis telah menyebabkan dijalankannya politik yang lebih manusiawi terhadap rakyat negeri jajahan. Tanam Paksa mulai ditinggalkan diganti dengan desentralisasi dan etis untuk kemakmuran pribumi. Kitab Desentralisasi telah menggariskan delegasi dari Den haag ke Batavia, dari Gubernur Jenderal kepada Departemen-Departemen, dan Pejabat-Pejabat Setempat, dari Pejabat-PEjabat Eropa kepada pejabat Indonesia. Juga berarti pendirian organ yang bersifat otonom yang mengelola masalah-masalah sendiri dalam kerjasama dalam pemerintah. Rencana-rencana desentralisasi nternyata berjalan sesuai Kitab yang ada. Pemerintah Belanda di Den Haag belum sepenuhnya melepaskan kekuasaannya di negeri jajahannya. Bagaikan kucing dilepaskan tetapi tetap dirantai, terutama menghadapi Perang Dunia I.
Pada tahun 1905 Deputi Direktur Civil Service, de Graaf mengangkat masalah penggantian orang-orang Indonesia bagi orang-orang Eropa dan penyatuan kedua pelayanan itu, dalam kaitannya dengan usulnya untuk suatu pembaharuan organisasi teritorial Jawa yang akan memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi pejabat-pejabat lokal. Sampai tahun 1921 tidak pernah direalisasikan.
Pada tahun 1906 De Graaf dengan Peraturan Desa mempersiapkan suatu Pemerintah Desa, mencakup kepala-kepala kampung dan pejabat desa, dan suatu Permusayawaratan Desa yang berwewenang mengatur lembaga desa dan mempersiapkan syarat-syarat, tindakan-tindakan untuk memperbaiki produksi pertanian dan pemeliharaan ternak, dan untuk mendirikan sekolah-sekolah desa, memberi kredit yang sehat dan memajukan kesehatan umum. Inipun menjadi proyek campur tangan dari Pemerintah Belanda kepada pribumi, sehingga otonomi hanya sebutan saja, kenyataannya tidak ada sama sekali.
Politik etis yang dicanangkan oleh Ratu Juliana untuk dilaksanakan pada rakyat tanah jajahan tidak mengena sasarannya. Diskriminasi dalam edukasi masih saja diperlihatkan. hanya orang-orang tertentu saja yang dapat bersekolah. Itupun untuk membantu kepentingan administrasi Hindia Belanda. Sampai pada saatnya di Hindia Belanda timbul penyakit infeksi, sehingga Pemerintah HB membutuhkan dokter pribumi yang lebih murah. Para pangreh Praja kurang tertarik untuk menyekolahkan anak-anaknya di kedokteran, karena sekolahnya hanya ada di Batavia, dan biaya pemondokan di sana tergolong mahal (ma..hal). Akan tetapi lulusan STOVIA menjadi kaum terpelajar bumiputera tertinggi pada masa itu.
Irigasi juga hanya berlaku bagi tanah-tanah yang berhubungan dengan perkebunan milik penjajah. Transmigrasi juga hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang murah dan rajin pada perkebunan-perkebunan pengusaha Belanda. Akan tetapi para cendekia yang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern dari orang-orang Belanda tidak membuang kesempatan. Kepandaian mereka betul-betul digunakan untuk mendobrak tirani penjajahan Belanda, baik secara kooperatif maupun non kooperatif.
Tanda-tanda awal kebangkitan kesadaran nasional mulai memperlihatkan diri di Jawa pada tahun-tahun itu. Pengaruh-pengaruh luar seperti Pemberontakan Boxer di Cina, pemberontakan orang-orang Philiphina menentang Spanyol, dan kebangkitan Jepang tak dapat diragukan memainkan bagiannya, karena mempunyai pengaruh penting pada pikiran kelompok-kelompok ahli sastra di berbagai negeri di Asia Tenggara. Orang-orang Jepang menuntut persamaan hak dengan orang-orang Eropah di Hindia Belanda.
Di Indonesia yang predominan adalah Jawa, dengan 2/3 jumlah berkumpul dalam 1/5 dari seluruh daerah, merupakan gambaran penting tingkat permulaannya. Faktor kebudayaan di sini aktif makin bertambahnya akan kesadaran nilai budaya Jawa.
RA Kartini, putri Bupati/Regen Jepara telah menjadi juara pendidikan bagi para wanita. Akan tetapi dia tidak dapat berjuang lebih banyak lagi karena diapun korban penjajahan yang tiada berdayadan meninggal dalam usia yang masih sangat belia (lahir di Jepara 21 April 1879 dan meninggal di Rembang 17 Juli 1904). Surat-suratnya yang diterbitkan tahun 1911, yang menuntut pembebasan kekuatan semangat seorang pribumi yang mengarah pada pendirian Yayasan Sekolah Kartini bagi wanita.
Fajar baru telah tiba, telah terbit mentari dari ufuk timur, Pada tanggal 7 Januari 1852 telah lahir seorang pemuda bernama dr Wahidin Sudiro Husodo di Mlati, Sleman, Yogyakarta, yang sangat berbudi luhur, peduli kepada nasib rakyat di sekitarnya. Kemudian menjadi dokter di STOVIA. Dia berjuang hingga berusia 65 tahun (Wafat di Yogyakarta 26 Mei 1917). Prihatin dengan kondisi di sekitarnya, penderitaan rakyat, kemiskinan rakyat, pendidikan terbengkalai, tidak ada kebebasan, banyak ketidak adilan, maka dia menganjurkan kepada teman-temannya yang masih muda sekitar 18-22 tahun-an untuk mengadakan perkumpulan pemuda yang lebih modern. Dr. Wahidin Sudira Husada, pensiunan pejabat kedokteran, yang mulai berkampanye untuk kemajuan Jawa pada tahun 1906 yang memandang pendidikan modern menjadi penyelamat bangsa. Akhir tahun 1907 singgah di Jakarta setelah bersafari mencari studiefonds agar anak-anak bumiputera dapat sekolah. Kala itu di STOVIA dia merupakan seorang dokter tua di antara para pelajar STOVIA yang berusia antara 18-22. Sebagai orang yang sudah tua, Dr.Wahidin mampu memberikan sesuatu obor yang menyentuh seorang pemuda yang bernama Soetomo di STOVIA dalam persinggahannya di Jakarta waktu itu. Obor itu lama-lama membakar jiwa pemuda STOVIA kala itu. Yang jelas Dr Wahidin merupakan orangtua yang mampu berdekatan dengan para pemuda dan Dr Soetomo seorang pemuda yang mau mendengar yang tua. Kedua generasi itu hidup dengan latarbelakang kepincangan-kepincangan dalam negeri, terutama dalam bidang pendidikan, pengajaran, perekonomian dan sistem kolonial. Mereka bertemu pada satu visi dan misi untuk memajukan kehidupan bangsa Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran. Mungkin Dr Soetomo seorang pemuda yang memiliki EQ, SQ dan IQ yang tinggi sehingga mampu menangkap, cepat tanggap, keberanian apa yang dimaksudkan oleh Dr. Wahidin Sudira Husada.

Melihat kewibawaan, ketenangan, kewaskitaan, tutur kata yang sareh pada sosok Dr Wahidin Sudira Husada sejak pandangan pertama itu, telah mengundang kekaguman seorang Dr. Soetomo. Pada zaman seperti itu telah ada orang yang berpikiran jauh ke depan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dokter tua itu menggerakkan para cendekiawan untuk bersama-sama mendirikan Budi Utomo (sebelumnya ada dua bakal nama Ekoprojo dan Budi Utomo), pada 20 Mei 1908, mengorganisir sekolah-sekolah yang berbasis nasionalis. Oleh karenanya 20 Mei 1908 di Indonesia telah lahir sebuah organisasi modern yang bersifat nasional, yaitu Budi Utomo, yang berarti pekerti yang utama. Beliau mendapat ilham dari penyair India, Rabindranath Tagore dan sedikit dari Mahatma Gandhi. Dalam bebrapa minggu saja Budi Utomo telah memperoleh anggota 1.200 orang, 700 di antaranya adalah pegawai negeri. Semestinya sosok tua seperti Dr Wahidin Sudira Husada dan sosok pemuda seperti Dr. Soetomo harus selalu muncul di dalam sejarah bangsa Indonesia.
Gedung eks STOVIA yang berlokasi di Jl. Abdul Rahman Saleh 26, Jakarta Pusat itu kini telah menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Memang ironis, pada 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini krisis ekonomi semakin jelas terasa oleh rakyat Indonesia. Harga BBM dan bahan kebutuhan lainnya akan melonjak kalau tidak ada tangan dan tutur mulia yang memberi kebijakan yang berakibat stabilnya harga-harga bahan kebutuhan rakyat Indonesia. Ini berarti perlu kebangkitan Strategi Operasional Stabilitasi harga pasar kebutuhan di dalam negeri. Krisis moral, kerusuhan, kerusakan, kriminal harus segera disirnakan dengan membangkitkan jiwa-jiwa Pancasila yang telah terlupakan. Bangkitkan jiwa Ketuhanan, bangkitkan jiwa kemanusiaan, bangkitkan jiwa persatuan, bangkitkan jiwa kerakyatan, bangkitkan jiwa keadilan. Indonesia yang dulu dikenal besar, macan Asia, kaya raya harus bangkit. Nilai-nilai luhur yang ada Pancasila akan dapat membangkitkan kreatifitas, inovasi, industrialisasi yang lebih manusiawi dan berbudaya, peduli bagi semuanya.
Bangkit itu memerlukan kemandirian, tidak tergantung orang lain
Bangkit itu memerlukan keyakinan diri dan jati diri
Bangkit itu memerlukan keberanian dan nyali
Bangkit itu memerlukan daya kreatif dan inovatif yang tinggi
Bangkit itu memerlukan kerjasama
Bangkit itu memerlukan jiwa sosial dan ke-Tuhan-an
Bangkit itu memerlukan kesanggupan untuk berubah menjadi lebih baik
Bangkit itu memerlukan komitmen
Bangkit itu memerlukan doa dan ikhtiar

Bertepatan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional ini, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan juga kiriman doa bagi para pahlawan Kebangkitan Nasional semoga amal ibadahnya telah menggerakkan generasi muda untuk memajukan bangsa Indonesia diterima menjadi amal jariyah di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa :
Untuk Anda-Anda
Penganjur/Penasehat :Dr. Wahidin Sudira Husada
Ketua :Dr. Soetomo
Wakil Ketua :M. Soelaemann
Sekretaris I :Soeuwarno
Sekretaris II :M. Goenawan Mangunkoesoemo
Bendahara :R. Angka
Komisaris : R.M. Goembrek, M. Soewarno, Moh. Saleh dan M. Soeradji
Sumber :
* Keturunan keluarga Pendiri Budi Utomo
* Djoko Suryo : Sejarah Berdirinya Boedi Utomo dalam Dialog Budaya dan Gelar Seni ke-12
* D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional, 1988

No comments:

Pantai Glagah

Pantai Glagah
Pantai Glagah yang indah, dinding pemecah gelombang, kanal-kanal yang meliuk-liuk, adanya di Jogjakarta Sisi Barat bagian selatan